"HUJAN BULAN JUNI": NOVEL RASA PUISI

gramedia.com


Judul Buku : Hujan Bulan Juni
Penulis : Sapardi Djoko Darmono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Juni, 2015
Jumlah Halaman : 135 halaman
ISBN : 978-602-03-1843-1


tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu


tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

(Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono)


Katakanlah saya penggila segala jenis karya tulisan, tapi tidak untuk puisi dan esai. Saya itu bodoh kalau sudah berurusan dengan puisi. Membacanya saja saya sulit, bagaimana menulisnya…

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono sepertinya hits sekali di kalangan penikmat puisi. Dan sependek pengetahuan saya soal puisi, “Hujan Bulan Juni” inilah yang ratingnya cukup tinggi.

Nah, karena membaca puisi saya tak mampu, begitu Eyang SDD mengubah wahana puisi itu menjadi sebuah novel, tertariklah saya. Penasaran.

Pertanyaannya: apakah ada kaitannya antara isi novel dengan judulnya?  Kalau secara harfiah sih, nggak ada. Ada sekali-sekali disebut "hujan", "bulan Juni", tapi sebatas itu saja, yang dibahas malah bulan April ketika musim sakura berbunga. Hehe…

Tapi, saya sih berpendapat penulis hanya memindahkan ruh puisi yang berjudul sama itu ke dalam cerita yang lebih panjang, yaitu tentang penantian (cinta) dan kerinduan.

Novel ini bercerita secara flashback tentang dua tokoh bernama Sarwono─lelaki Jawa tulen beragama Islam─dan Pingkan─berdarah campuran Jawa dan Menado, beragama Nasrani.  Dari keyword-keyword itu sudah tertebak lah konflik yang terjadi kan? Yap, konfliknya adalah pergulatan cinta akibat perbedaan: suku dan keyakinan.

Sarwono sudah menyukai Pingkan─adik dari sahabatnya, Toar─sejak duduk di bangku sekolah menengah. Pingkan bukan tidak tahu akan perasaan Sarwono padanya. Hanya saja, Sarwono memang tidak pernah secara lisan bilang: I love you. Laki-laki itu mengungkapkan perasaan cintanya melalui bahasa tubuh atau pernyataan berselubung candaan.

Namun, siapa pun yang melihat kebersamaan mereka─kemana pun Sarwono pergi selalu ada Pingkan, sampai-sampai penelitian ke luar daerah pun Sarwono minta didampingi Pingkan─pastilah tak sulit menebak ada perasaan spesial di antara mereka.

Namun di tengah perjalanan cinta mereka yang sederhana itu, Sarwono mendapat tentangan dari “The Pelenkahus” (Pelenkahu adalah nama klan keluarga Pingkan). Mereka tidak setuju Pingkan menikah dengan Sarwono. Walau demikian, Sarwono boleh merasa tenang sedikit karena sudah mengantongi restu dari ibu Pingkan.

Selain itu, bumbu konflik diwarnai dengan kebimbangan Sarwono melepas kepergian Pingkan ke Jepang. Gadis itu mendapat rekomendasi untuk belajar di Kyoto.  Sarwono galau bukan hanya disebabkan ia akan berjauhan dengan pujaan hatinya, tapi di Kyoto ada Katsuo, ex mahasiswa Jepang yang sempat studi banding di prodi Pingkan. Dan mereka dikabarkan sempat “dekat”.  Belum lagi Hiro, dosen muda yang merekomendasikan Pingkan, yang bersikap sangat baik pada Pingkan. Sarwono curiga kalau Hiro juga menaruh hati pada Pingkan.

Pingkan menanggapi kecemburuan terselubung Sarwono dengan cuek tapi menikmati. Walau akhirnya kepergian Pingkan tak dapat dicegah lagi, Sarwono tetap menyimpan harapan pada Pingkan, sekaligus kecemburuannya setiap kali Pingkan mengirimkan fotonya, karena tampak Katsuo selalu berada di dekat gadis itu. Sepeninggal Pingkan, Sarwono menyibukkan diri dengan terlibat dalam proyek penelitian yang mengharuskannya pergi keliling Indonesia.

Ending novel ini agak kurang memuaskan hati saya, kenapa?  Karena akhir cerita ini ditutup dengan puisi. Di depan sudah ngaku, saya itu gagap puisi. Nah, kalau endingnya dikasih puisi, pembaca harus  menafsirkan ending kisah cinta Sarwono dan Pingkan lewat puisi yang berbunyi:
Kita tak akan pernah bertemu:
Aku dalam dirimu
Tiadakah pilihan
Kecuali di situ?
Kau terpencil dalam diriku
Lha terus piye?

Apakah lewat puisinya itu akhirnya Sarwono menyatakan cintanya pada Pingkan? Apakah puisi itu sebentuk lamaran Sarwono pada Pingkan? Atau sebaliknya. Di novel, bagian ini disebut penulisnya sebagai “Surat Takdir”. Maksudnya takdir seperti apa? Bersatu atau berpisah? Silakan menafsirkan sendiri, hehehe…

Selain konflik percintaan yang didasari perbedaan suku dan keyakinan. Kisah novel ini juga diwarnai krisis jati diri dari tokoh-tokohnya. Pingkan yang merasa galau sebab kesahihannya sebagai “Jawa” karena ia lahir dan dibesarkan di Solo, ternodai oleh paksaan mengaku “Menado” karena darah ayahnya yang mengalir di tubuhnya adalah darah Menado.  Sedangkan Sarwono merasa galau karena takut dianggap “liyan” jika kelak ia bergabung dengan keluarga besar Pingkan karena  ia “Jawa dan Islam”.

Anyway, konflik dalam novel ini sebenarnya sederhana saja. Tapi, cara bertuturnya yang njelimet agak membuat pusing. Banyak sekali paragraf bersayap. Kesannya kok jadi  melantur kemana-mana. Kenapa begitu ya? Barangkali di situlah keunikan seorang Sapardi.

Namun demikian, saya kok suka aja. Soalnya, dari paragraf-paragraf bersayap itu banyak juga pengetahuan baru, misalnya yang berkaitan dengan kehidupan asisten-asisten di  prodi yang disibukkan oleh proyek penelitian, ada sentilan sejarah, cerita daerah, cerita pewayangan, bahkan konflik antar agama di daerah Ambon.

Awalnya saya menebak seting waktu cerita di novel ini sekitar tahun 70an atau 80an, tetapi dengan disebutkannya sinetron (walau agak aneh karena me-refer-nya ke Grace Kelly dan Audrey Hepburn, kok bukan Aliando dan Prilly Latuconsina ya :D), juga penggunaan teknologi WA (Whatsapp) sebagai media komunikasi antara Sarwono dan Pingkan, saya jadi sadar kalau cerita ini mengambil seting masa sekarang.

Saya juga sempat curiga kalau novel ini ditulis oleh seorang ghost writer, bukan oleh Eyang SDD sendiri. Pasalnya, walau di beberapa dialog terkesan zadul, gaya bertutur di novel ini (buat saya) cukup ngepop mengingat usia Eyang SDD yang sudah tiga perempat abad. Kalau tidak keseleo soal Grace Kelly dan Audrey Hepburn tadi, saya pasti tetap mengira ini novel hasil GW deh. Tapi kecurigaan saya dipatahkan oleh deskripsi selera musik Sarwono. Ia penggemar musik jazz yang bersumber dari komposisi musik klasik. Favoritnya adalah John Williams, Charlie Byrd, Joaquin Rodrigo (nah looo siapa tuh? :D). Kalau GW-nya pemuda/pemudi masa kini mungkin pilihan musiknya agak Bon Jovi kali ya.

Tapi saya suka selera humor yang penulis munculkan di beberapa segmen. Selain istilah “The Pelenkahus”,  penulis sering mengkiaskan kecemburuan pada laki-laki yang naksir Pingkan sebagai Matindas.  Dalam cerita rakyat Menado, Matindas adalah seorang seniman muda, kekasih dari Putri Pingkan Lumelenoan. Cerita rakyat itulah yang diyakini Pingkan sebagai asal usul nama Pingkan yang diberikan orang tuanya.

Eyang SDD menyisipkan sempalan lucu ketika Sarwono berhasil tidur dalam perjalanan pulang ke Solo dan bermimpi nonton ketoprak berjudul “Matindas Gandrung”. Kok jadi lucu? Soalnya sempat disentil Pingkan bersikeras mencampuradukkan cerita rakyat Menado menjadi cerita wayang Jawa. Ya, walaupun cerita wayang itu bisa dicarang-carang (dikarang-karang maksudnya), ya tetap ada pakemnya. Masa seorang Matindas yang berdarah Menado itu tiba-tiba masuk dalam cerita pewayangan Jawa.  

Coba bayangkan jika Gatot Kaca tiba-tiba muncul dalam cerita Matindas, membantunya memerangi Raja Bolaang Mongondow yang akan merebut Minahasa, kan lucu juga. Setelah itu masih diteruskan dengan Sarwono tidak punya keberanian untuk menyaksikan lanjutan kisah itu dalam mimpinya, takut-takut kalau ada cerita carangan lanjutan yang berjudul “Gugurnya Matindas” (hal 119). Hahaha…

Namun, Sapardi tak bisa lepas dari sisi romantismenya. Penafsirannya tentang kasih sayang, yang digambarkan dalam kalimat-kalimat puitis, berhasil menyentuh hati saya yang terdalam.

… bahwa kasih sayang beriman pada senyap. (hal 44-45)

Ada lagi kehebatan novel ini, Sapardi seringkali menulis paragraf panjang tanpa koma. Benar kata Teguh Affandi di Goodreads, hanya Sapardi yang diizinkan menulis novel seperti ini.  Kalau kita eh saya? Sudah pasti dikepruk Editor :D:D 

Ah, pokoknya walau pun sempat pusing (pusingnya nggak lama-lama kok, novelnya kan tipis), membaca novel ini adalah pengalaman seru buat saya. Percayalah!



Profil Penulis Buku :


kompas.com







10 Comments

  1. Balasan
    1. eish wajib... hehehe banyak muatan filsafatnya :D

      Hapus
  2. Penyair favorit dan puisi favorit :) belum sempet beli novelnya nih... jadi penasaran. ;)

    Nah ini niii.... :D
    >>Ada lagi kehebatan novel ini, Sapardi seringkali menulis paragraf panjang tanpa koma. Benar kata Teguh Affandi di Goodreads, hanya Sapardi yang diizinkan menulis novel seperti ini. Kalau kita eh saya? Sudah pasti dikepruk Editor :D:D <<
    bangettss ya makk.. pasti kena sensor, 25 kata tanpa koma itu sudah disemprit

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya pasti... hahaha... mungkin Editor memperhitungkan paragraf itu sebagai puisi jadi ya sah sah aja :D

      Hapus
  3. pengen beliii....penasaran teh...

    BalasHapus
    Balasan
    1. sok geura... hahaha... awalnya memang "puyeng" lama-lama asyik juga, dan bodor :D

      Hapus
  4. Kadang aku masih agak susah "mencerna" karya sastra halus semacam ini. Kenapa ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama sih, tapi memang begitu bahkan kata Linda Christanty karya sastra yang baik itu yang nggak bisa sekali baca, berulang-ulang baca baru ngerti. ah buang2 waktu ya :D
      tapi novel ini gaya bahasanya gak nyastra banget kok

      Hapus
  5. Sama mak, saya juga susah mencerna makna puisi. nggak kenal juga sama penulis novel yang satu ini hehee.. yang saya suka justru cara bertutur mak Ina dalam mereview novel ini. saya lg blajar buat reveiw yang bagus mak. trims

    BalasHapus
  6. iya saya mah bengong aja tiap baca puisi di kompas, tapi suka sok-sok-an nulis puisi segala :D
    makasih Mak Eva... silakan diambil positifnya (kalau ada itu juga) :D

    BalasHapus