“Jadi kau tetap pada pendirianmu, Nyai Mirah?” Perempuan cantik
itu bertanya pada ibunya. Dia menghela napas, sorot matanya mencorong dan
wajahnya tampak memerah.
“Iya, Den Ayu,
saya mohon maaf.”
“Nyai Mirah, kau sudah menyia-nyiakan
kepercayaanku. Kau tidak takut akan akibatnya?”
“Saya lebih takut
pada Gusti Allah, Den Ayu,” sahut ibu dengan kepala menunduk.
“Cih! Kau sudah
termakan kata-kata Ustaz uzur itu rupanya.
Baiklah, memangnya cuma kau dukun susuk terbaik di daerah ini. Akan kutemukan seratus dukun susuk yang jauh
lebih mumpuni daripada dukun susuk seperti kau!”
Susi masih mengingat peristiwa itu. Raut wajah marah perempuan yang dipanggil Den Ayu ketika meninggalkan rumahnya pun masih terbayang di benaknya. Gadis yang sedang mekar remaja itu menghela napas, seraya mengusap lengan kursi jati tua yang sedang didudukinya.
Tak ada yang bisa
menerka berapa usia Den Ayu Rara Anom, nama lengkap perempuan yang sedang dilamunkannya. Generasi sepuh bersaksi
kalau Rara Anom sudah menjadi sinden dan penari tayub sejak mereka berusia
muda.
Hanya ibunya, dan tentu saja dirinya saja yang paham bagaimana Rara Anom
menjaga kemudaannya. Rahasia itu
diturunkan sejak dua generasi sebelum ibunya.
Dan Susi mengetahui rahasia itu secara diam-diam, karena dulu semasa
kecil ia sering mengintip saat Rara Anom mengunjungi ibunya. Sampai akhirnya ibunya
tak mau lagi melayani permintaan Rara Anom. Ibunya sudah bertaubat dan
bersumpah tidak akan melakoni lagi pekerjaan yang dilarang agama itu.
Mata Susi
menyipit. Dua belas tahun yang
lalu, dia dibawa ayahnya ke rumah Uwak, begitu ia memanggil kakak tertua ibunya di kota. Ia dititipkan untuk tinggal
dan bersekolah di sana. Susi tak
mengerti mengapa orang tuanya membuat keputusan seperti itu.
Malam sebelum keberangkatannya,
Susi tak sengaja menguping percakapan kedua orang tuanya.
“Bu, kabarnya Den Ayu sudah lama tidak tayuban. Apakah penolakanmu itu penyebabnya?” Suara
ayahnya memecah malam.
“Entahlah, Pak. Sudah waktunya dia bertaubat dan mohon ampun
pada Gusti Allah,” sahut ibunya pelan.
“Dia tentu tak mau
kehilangan pamornya, Bu,” kata ayahnya lagi.
“Bukan hanya pamor
saja, Pak. Tapi dia sedang...” suara
ibunya berubah menjadi bisikan. Susi
kecil tak bisa menangkap apa yang dibicarakan ibunya lebih lanjut lagi.
“Yah, semoga dia
tidak nekad dan mencari....” suara ayahnya terdengar sayup karena kantuk membuatnya tak lagi berada di dunia nyata.
Susi memandang
halaman rumahnya yang luas. Dulu dia
senang bermain di situ bersama teman-temannya. Mereka bermain apa saja. Aanjangan [1] sambil menari dan nembang. Teman-temannya bilang
tarian dan suaranya bagus, dan dengan penuh keyakinan mereka sering mengatakan kalau sudah
besar Susi pasti seperti Den Ayu. Pujian mereka membuatnya bangga dan menyimpannya sebagai impian.
Susi senang
mendengar pujian teman-temannya itu. Anehnya,
ibu melarangnya menari dan nembang jika berada di luar rumah. Bahkan, ibu melarangnya menonton acara wayang
dan tayuban jika Rara Anom ditanggap orang.
Susi tidak pernah mengerti alasannya.
Sekarang dia sudah
menjadi remaja, 18 tahun usianya. Sudah
menamatkan pendidikannya di Sekolah Menengah Karawitan. Bertahun-tahun ia tinggalkan desanya tanpa ada sekali pun
kesempatan untuk menengoknya. Bukan tak ingin,
tapi Uwak tidak pernah memberi izin jika Susi berniat pulang setiap liburan
tiba. Susi tidak tahu bahwa larangan itu pun karena orang tuanya yang meminta.
Kemarin Uwaknya
tak sempat mencegah keinginan Susi. Gadis yang sudah sangat berat rasa rindunya pada kampung halaman itu, pergi diam-diam dari rumah selepas sholat subuh. Ia nekat pulang ke kampungnya tanpa
pamit.
Susi turun di terminal bis yang sudah banyak berubah. Bangunannya
lebih bagus tapi tampak tidak terawat. Susi berjalan menyusuri jalan pasar yang
sekarang tampak lebih moderen. Jajaran
kios-kios kayu beratap terpal, telah digantikan oleh bangunan-bangunan
permanen. Lumayan, pasar ini jadi kelihatan lebih rapi dan bersih.
Susi berjalan sambil
setengah melamun. Terkenang-kenang pada
suasana desanya semasa ia kecil dulu. Ia tersadar dari lamunan ketika bahunya bersinggungan dengan bahu seseorang yang
berjalan dari arah berlawanan.
Duk!
“Eh, kalau jalan
jangan sambil ngalamun atuh. Dasar!”
Susi sudah akan meminta
maaf. Tapi ketika melihat siapa yang
menghardiknya, Susi terkesiap. Ia bahkan lupa mau berkata apa.
“Eh, malah
melotot. Kamu teh sadar sedang berhadapan dengan siapa?” Perempuan itu sekarang
sudah berkacak pinggang. Sebelah tangannya memegang payung dari kain renda berwarna
putih.
“Maaf... Den
Ayu.” Tergagap Susi pun bersuara.
“Lho, kamu teh kenal sama saya? Eh, nanti dulu... sepertinya saya pernah
lihat kamu. Di mana ya?” cerocos perempuan yang dipanggil Den Ayu itu.
Tentu saja Susi
mengenali perempuan yang sekarang berdiri di hadapannya dengan sikap pongah
itu. Sorot matanya masih mencorong. Rambut panjangnya juga masih lebat. Rambut panjang sepinggul diikat jadi satu,
kemudian dibentuk gelungan kecil dekat ubun-ubun, selebihnya dibiarkan
tergerai. Gelung kecil itu diberi tusuk
konde dari emas.
Wajah daun sirihnya
masih kencang, halus dan mulus. Kulit
kuning langsat bagai daging durian yang sedang ranum. Rara Anom masih seperti dulu, tak ada yang
berubah.
“Saya Susi,
puterinya Nyai Mirah, Den Ayu,” jawab Susi dengan suara pelan.
Mata itu
terbelalak. Sepertinya kaget.
“Jadi kamu anaknya
Nyai Mirah?” ketus tanya Rara Anom.
“Iya, Den Ayu,” sahut Susi lagi.
“Saya nggak pernah lihat kamu, ah. Kemana
kamu selama ini?” selidik Rara Anom.
“Saya tinggal di
kota, Den Ayu. Bersama Uwak,” jawab
Susi.
“Sekolah? Sekolah
apa?” tanya Rara Anom penuh rasa ingin tahu.
“Karawitan, Den
Ayu.” Jawab Susi pelan.
“Nembang?” Rara
Anom terperangah.
Susi
mengangguk. Rara Anom menatap wajahnya
lekat.
“Kamu teh cantik juga...,”
ujar Rara Anom lagi. Punggung jari
telunjuknya mengelus pipi Susi.
Susi kaget dengan
perlakuan Rara Anom barusan. Ia melihat
sinar aneh berkilat di mata Rara Anom. Saat itu ia merasa ada yang berdesir di
hatinya. Perasaan tak enak seketika menyelusup di hati Susi. Ia pun memilih untuk segera
berpamitan. Tanpa menunggu persetujuan
Rara Anom, Susi buru-buru berlalu dari tempat itu. Yang dia tidak
tahu, di belakang punggungnya, Rara Anom menyungging senyum. Sinis sekaligus puas.
Pertemuannya
dengan Rara Anom di pasar siang itu, tak diceritakan pada orang tuanya. Susi menghela napas lagi. Peristiwa itu mengganggunya. Semenjak hari pertama kedatangannya ke desa kelahirannya, hati Susi tak tentram. Ia merasa bakal ada kejadian buruk yang akan menimpa dirinya.
"Neng Susi, lagi
apa sendirian di situ? Melamun ya...”
Tiba-tiba sebuah
suara menyadarkan Susi dari lamunannya.
“Eh, Bu Munah, mau
kemana ini ramai-ramai?” tanya Susi sambil tersipu malu ketahuan sedang
melamun. Disapanya juga beberapa ibu yang
bergerombol bersama Bu Munah, di depan rumahnya.
“Ini Neng, mau ke
rumah Juragan Tisna. Mau bantu-bantu. Kan beliau mau punya hajat. Ngunduh mantu,” sahut Bu Munah lagi.
“Oh, ramai atuh ya Bu. Nanggap wayang sama tayub nggak?” tanya Susi
penasaran.
“Pasti atuh, Neng. Juragan Tisna kan ehm-nya Den Ayu. Nggak akan
kelewat atuh,” timpal Bu Munah usil. Disambut tawa ibu-ibu yang lainnya.
“Ah, Bu Munah bisa aja. Awas lho ada yang mendengar.” Susi
tersenyum.
“Eh, iya, ya... ya
sudah atuh ya. Bu Munah permisi dulu.” Bu Munah seperti
tersadar kemudian buru-buru mengajak ibu-ibu yang tadi bersamanya untuk
cepat-cepat berlalu dari situ.
Susi kembali
termenung. Bertahun-tahun larangan itu
sudah menjadikan langkahnya terkunci. Larangan
orang tuanya untuk mendekat ke arena di mana ada pagelaran wayang atau
tayuban. Larangan yang membuat rasa
penasarannya terpompa dan semakin menggelembung.
Kenapa? Kenapa dia
tidak boleh menonton pertunjukan itu? Susi ingin sekali melihat penampilan Den
Ayu Rara Anom. Tak puas rasanya hanya mendengar cerita dari teman-temannya
saja. Dia ingin menyaksikan sendiri kehebatan Rara Anom. Kali ini rasa penasaran Susi tak bisa lagi
dibendung. Diam-diam ia merencanakan
sesuatu.
Biru malam sudah
semakin tua. Susi minggat dari rumah. Dan
sekarang disinilah ia, di tengah kerumunan orang-orang yang bernafsu ingin menonton
penampilan Rara Anom. Selendang putih
menutupi kepalanya.
Ia bisa melihat Rara
Anom duduk di tengah panggung. Dia
memang pantas dinobatkan sebagai primadona.
Kecantikannya luar biasa. Membius.
Menjelang tengah
malam suasana semakin terasa panas. Suara
emas Rara Anom masih mendayu-dayu mengiringi tarian para penari. Tepat waktu tengah
malam, gamelan berhenti seketika. Kemudian
mengalun lagi dengan irama lambat yang terasa asing di telinga Susi. Berulang kali Susi mengelus selendang putihnya. Gerak-geriknya menandakan ia sedang gelisah.
Rara Anom turun
dari panggung. Para penari tayub pun
menyingkir. Rara Anom berdiri di tengah
arena. Selendang hitam terkalung di
lehernya yang jenjang. Mulutnya
komat-kamit seperti sedang merapalkan sesuatu.
Tangan kanannya yang memegang topeng berwarna putih terentang. Tangan kirinya memegang selendang. Badannya yang semampai agak membungkuk dengan kepala tertunduk.
Kemudian suara
emasnya mengalun. Bening. Menggetarkan.
Suaranya seperti bukan dari alam nyata.
Alunan nada yang mengandung kekuatan magis.
Susi merasa dadanya berdebar.
Rara Anom mulai ngibing[2]. Gerakannya begitu gemulai. Sempurna.
Susi terkesiap. Suasana magis semakin
kental. Susi merasa dirinya tersirap
dalam alunan tembang dan gerak tarian Rara Anom, walau akal sehatnya masih bekerja.
Namun, ketika
melihat sekelilingnya, ia melihat sesuatu yang aneh. Orang-orang berdiri terpaku. Pandangannya kosong. Seolah-olah mereka semua telah disihir menjadi
mayat-mayat hidup. Begitu pula dengan
para penabuh gamelan. Mereka memainkan
instrumen dalam keadaan trance.
Sekarang
dilihatnya Rara Anom mengenakan sebuah topeng berwarna putih. Garis topeng putih itu menyiratkan kecantikan
yang bisu dan keanggunan yang dingin.
Susi sampai bergidik melihat topeng itu. Tiba-tiba
telinganya menangkap sesuatu. Suara
ringkik kuda. Deg! Jantungnya berdegup
lebih kencang.
Samar-samar dia
pernah mendengar tentang kejadian serupa ini. Cerita
turun-temurun yang disampaikan dengan suara berbisik. Orang tua-tua bilang, ada saatnya arwah-arwah
karuhun[3]
itu turun gunung untuk hadir di perhelatan jika mereka berkenan. Mereka bisa diundang dengan tembang-tembang
tertentu. Mungkinkah tadi
Rara Anom menyanyikan salah satu tembang itu?
Sekali lagi
ringkik samar itu tertangkap telinganya. Ah, tak salahkah yang dilihatnya? Topeng putih di wajah Rara Anom menyungging
senyum. Bagaimana mungkin?
Suara derap kaki
kuda semakin dekat. Susi terkesiap
melihat seekor kuda besar berbulu putih melayang begitu saja di atas kepala penonton.
Dari atas kuda
putih itu melompat turun seorang lelaki.
Raut wajahnya membuat dada Susi berdebar semakin kencang. Tampan.
Ketampanan yang sempurna, nyaris tak bisa diterima dengan akal. Ketampanan yang tak mungkin dimiliki oleh seorang
manusia.
Rara Anom
menyambut lelaki gagah itu. Gerakan tari
Rara Anom semakin tampak sempurna. Setiap gerik menunjukkan perasaannya. Tariannya
adalah persembahan asmara, pengabdian, dan rasa takut kehilangan. Begitu dalam dan mesra.
Susi
tersentak. Jelaslah sudah. Inilah sebabnya. Inilah yang menjadi bahan percakapan orang
tuanya pada malam itu. Rara Anom jatuh
cinta. Dia ingin mempertahankan cintanya
yang tentulah teramat besar pada lelaki itu.
Untuk itu dia perlu meneruskan kemudaannya, dengan cara apa pun.
Ketika susuk sudah
tak mungkin lagi, harus ada cara lain yang ditempuh. Susi pernah mendengar
desas-desus tentang sebuah ilmu hitam untuk mempertahankan kemudaan. Caranya dengan menghisap sari kehidupan seseorang
yang berusia muda, akan lebih baik jika dia masih perawan.
Dan bagi orang
seperti Rara Anom, korbannya tidak bisa orang sembarangan. Harus yang mempunyai bakat menari dan nyinden
seperti dirinya.
Ingatan Susi
berlari pada Salamah, sahabat masa kecilnya. Menurut kabar, Salamah pernah berminat
menjadi murid Rara Anom. Salamah berbakat
seperti dirinya, tetapi kemudian dia harus mati muda dengan cara yang
mengerikan. Mungkinkah Salamah telah
menjadi tumbal Rara Anom?
Irama gamelan
semakin ritmis, mengurung alam dalam suasana mistis. Tiba-tiba Susi merasa napasnya sesak. Entah
bagaimana selendang putih yang dipakainya kini menjerat lehernya. Susi tersengal-sengal, sementara tangannya
berusaha melepaskan cekikan selendang putih.
Usahanya nyaris
tak mendatangkan hasil. Semakin lama
napasnya semakin lemah, kini tubuh Susi terkapar di tanah. Tubuhnya berguling-guling, kakinya
menandak-nandak. Aliran darah ke kepala
terhambat. Kepalanya terasa mau
pecah. Muka Susi nyaris biru, lidahnya
sudah terjulur keluar. Tak seorang pun
yang hirau akan keadaannya. Orang-orang
itu masih seperti tadi. Terpaku dengan
pandangan kosong.
Dalam keadaan
kritis seperti itu, sepasang tangan yang kokoh menahan tubuhnya. Bapaknya
membawa Susi menjauh dari tempat itu. Menjelang subuh
keadaan normal kembali. Orang-orang yang
menonton sudah kembali sadar, kemudian mereka membubarkan
diri seperti tidak terjadi apa-apa.
Siangnya, Susi
sudah berada di dalam bis yang membawanya kembali ke kota. Susi tak ingin kembali lagi ke desanya. Apalagi bertemu dengan Rara Anom. Susi pergi dengan membawa rahasia Rara Anom yang diceritakan oleh ibunya.
Impian masa kecilnya menjadi seperti Rara Anom musnah sudah. Dibalik
kecantikannya dan namanya yang tersohor sebagai sinden dan penari tayub tanpa tanding, Rara Anom menyimpan riwayat hitam yang kejam. Dan Susi pun nyaris
menjadi tumbalnya.
antologi
books
buku
cerpen
Dua Sisi Susi
fiksi
fiksi Indonesia
kumpulan cerpen
My Work
omnibus book
omnibus book Indonesia
universal nikko
3 Comments
Nice story, teh Ina. Jadi terinspirasi. :)
BalasHapusmakasih Beta, pengen bisa nulis cerpen yang "Femina style" hihihi
HapusBagus bangeeeeetttttt.... subhanallah
BalasHapus