FREEDOM WRITERS: DEDIKASI SEORANG GURU

wikipedia.org

Judul Film : Freedom Writers
Tahun Release : 2007
Produksi : MTV Films
Distribusi : Paramount Pictures
Sutradara : Richard LaGravenese
Pemain : Hilary Swank, Patrick Dempsey, Scott Glen,dll


Dulu jamannya belum berlangganan tv kabel, saya hobi banget berburu dvd (bajakan).  Kadang-kadang di antara film-film baru, nemu aja dvd film-film indie yang asyik, atau film yang udah lewat masa tayangnya. Dan salah satunya film ini, yang langsung menjadi one of my favorite.


Karena baru aja ditayangkan lagi sama HBO, saya jadi pengen sharing soal film ini. Film ini berkesan buat saya karena tokoh utamanya seorang guru dengan prinsip: ingin anak didiknya maju (bukan stagnan apalagi mundur ).  Dan ia mewujudkan prinsipnya itu dengan cara yang unik.

Erin Gruwell, guru baru di SMA Wodrow Wilson. Ditempatkan di kelas Bahasa Inggiris. Kelas yang diajarnya bukan kelas unggulan, melainkan kelas anak-anak bermasalah,yang berasal dari berbagai latar belakang keluarga yang bermasalah juga, dengan issue serius berkaitan dengan “warna kulit”.

Mereka sangat individualis, cenderung saling curiga satu sama lain. Hal itu disebabkan oleh  pergaulan di lingkungan  mereka yang keras. Mereka tumbuh di tengah perang antar geng. Menyaksikan, saudara, sahabat dan teman meninggal sudah menjadi makanan sehari-sehari.
Awalnya Erin tak mendapat respons dari murid-muridnya. Mereka sangat pasif. Sikap mereka menunjukkan “siapa elu?” Sekolah hanya sekadar tempat singgah yang aman untuk beberapa jam, suruhan orang tua, kewajiban yang tak ada manfaatnya.

Suatu hari Erin membuat semacam permainan. Ia membuat garis di tengah ruangan. Anak-anak dibagi dua di antara garis tersebut. Erin mengajukan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Misal, siapa yang temannya tertembak oleh anggota geng.  Siapa yang merasa haru maju mendekati  garis.  Beberapa kali Erin mengajukan pertanyaan, beberapa kali juga banyak  anak berkerumun di depan garis. Lambat laun anak-anak itu disadarkan bahwa mereka punya banyak kesamaan.

freedoom-writers foundation.com

Erin heran mengapa murid-murid di kelasnya (SMA) tidak pernah diberi bahan bacaan yang setara dengan level mereka. Ia mengajukan agar mereka diberi bahan bacaan yang lebih tinggi tingkatannya, semacam Diary Anne Frank atau buku baru. Tetapi Erin ditentang oleh Ms. Campbel asisten Kepala Sekolah. Ia beralasan anak-anak itu memang tidak punya minat membaca. Sudah dicoba diberi bacaan yang lebih ringan, tetapi buku yang diberikan sekolah kalau tidak hilang mereka rusak. Jelas aja mereka malas, bacaan yang diberikan selevel bacaan anak kelas 5 SD. Menurut Erin itu penghinaan terhadap intelektualitas mereka.
Kemudian Erin membagikan buku tulis yang dibeli dengan uang pribadinya. Ia meminta murid-muridnya menulis apa saja tentang hidup mereka di buku itu. Seplah-olah buku itu adalah diary mereka.  Ketika buku itu dikembalikan, Erin membaca buku itu satu per satu. Melalui suara pemeran-pemvel-eran murid-murid yang menjadi narator, kisah mereka dibacakan. Ada anak korban KDRT, diusir dari rumah oleh ibunya sendiri, menjadi pengedar narkoba untuk menghidupi keluarga, dll. 
Erin juga membeli novel untuk dibaca murid-muridnya. Lagi-lagi dari uang pribadinya., karena pihak sekolah tidak mau membantu dengan dalih tidak ada anggaran untuk membeli buku baru. Ia terpaksa bekerja paruh waktu untuk menambah pemasukan demi kepentingan murid-muridnya. 
Yang menarik, saat salah satu murid bertanya apa arti kata “holocaust". Erin tidak menjelaskan lewat teori saja. Dengan bantuan ayahnya, ia membawa murid-muridnya “piknik”. Mereka mengunjungi museum holocaust. Di sana mereka tidak hanya melihat kronologi pembantaian satu ras manusia oleh manusia lain. Mereka juga mendengar penuturan kisah para korban yang selamat dari pembantaian.

Tidak hanya sampai di situ, Erin yang bekerja paruh waktu di sebuah hotel kecil, mengadakan acara makan malam guna mempertemukan murid-muridnya dengan saksi mata peristiwa holocaust, korban yang selamat dan bermigrasi ke Amerika. Dari mereka, murid-muridnya mendapat pengalaman luar biasa karena bisa saling bertukar pikiran dengan para bapak dan ibu yang sudah sepuh-sepuh itu. 
Melalui peristiwa itu, anak-anak semakin sadar dan perlahan issue “warna kulit” mulai menghilang di antara mereka. Perjuangan Erin mendapat hasil positif. Murid-muridnya berkembang dengan baik. Hubungan antar pribadi mereka pun membaik. Kelas mereka pun sekarang kompak. Bahkan Ben, satu-satunya anak “kulit putih” di kelas itu sekarang sudah berbaur, dulu ia dikucikan karena ia “kulit putih”. 
Sayang sekali di tengah kesuksesan merangkul anak didiknya, Erin harus menghadapi masalah rumah tangga. Suaminya tak bisa menerima kesibukan Erin membagi waktu antara mengajar dan bekerja paruh waktu di hote. Akhirnya Erin kelelahan memperjuangkan pengertian dari sang suami. Ia hanya bisa pasrah ketika keputusan suaminy untuk bercerai tidak bisa diperbaiki lagi. Padahal suaminya itu Patrick Dempsey yang ganteng maksimal  (nggak ada hubungannya sama film ini sih). 
Namun, Erin tak lama-lama terkubur dalam kesedihan. Ia mempunyai proyek besar bersama murid-muridnya. Setelah membaca buku diary Anne Frank, Marcus, salah satu muridnya yang antusias, mengusulkan agar kelas mereka mengundang Ms. Miep Gies, perempuan yang menampung Anne Frank di rumahnya ketika menjadi "buruan" tentara Jerman. 
Mereka mencari dana sendiri dengan mengadakan bazaar makanan, pagelaran tari, disco party. Erin sangat bangga dengan perkembangan murid-muridnya . Akhirnya, hari yang dinantikan pun tiba, Miep Gies, yang jauh-jauh datang dari Belanda hadir di ke kelas mereka. Miep Gies memberikan inspirasi kepada murid-murid di kelas, terutama Marcus dan Eva, keturunan latin yang harus memberikan kesaksian di sidang pengadilan ayahnya. 
Erin Gruwell akhirnya mendapat pengakuan positif atas dedikasinya selama ini. Tentangan dari sejawatnya, Margaret Campbel, tak berarti apa-apa. Ia menyatukan tulisan murid-muridnya menjadi satu buku berjudul The Freedom Writers Diary, yang menjadi dasar dibuatnya film ini.

theatlantic.com

Saya sangat suka film ini, selain sangat mengharukan, banyak pesan perjuangan di dalamnya. Anti rasialisme itu sudah pasti, perjuangan anak-anak berkehidupan keras menuju perubahan untuk menjadi lebih baik, dedikasi seorang guru yang ingin memajukan murid-muridnya. Yang terakhir ini yang luar biasa. Metode mengajar Erinyang keluar dari kurikulum bakusangat inspiratif. 

Pengorbanannya demi murid-murid layak diapresiasi dan diteladani. Mendidik lewat gemar membaca dan melatih murid-murid untuk aktif menyuarakan perubahan pribadi dan dunia di sekitar mereka lewat tulisan itu penting.

Saya rasa film ini bisa memberikan inspirasi bagi bapak/ibu guru kita ya. Bahwa tidak selamanya kurikulum baku yang diterapkan sekolah/instansi pendidikan itu cocok untuk menangani anak-anak didik kita. Sesekali diperlukan kreativitas, perlu perjuangan dan pengorbanan pribadi. Mungkin kah?




bookdespository.com



4 Comments

  1. wah jadi pengen nonton...harus nyari bajakannya nih soale tv langganan baru aja putus karena emaknya ini ga bisa mengendalikan anak2 yang jadi suka nonton heheh

    BalasHapus
    Balasan
    1. hyakakak... emmm... kerjaanku juga jibaku aja sama anak bontot rebutan remot. tapi gak tahu deh, agak susah kali ya nyarinya, abis keluaran lama banget. DVD punyaku juga dipinjem temen gak balik lagi T_T

      Hapus
  2. Ini masukin list tontonan, minta Epi cariin ah XD

    BalasHapus
  3. Sok coba cari donlotannya, kalo udah ketemu bagi ya, dvd saya ilang dipinjem gak balik lagi

    BalasHapus