Sebetulnya saya orangnya yang nafsi-nafsi gitu, kamu mau berhijab, berjilbab, berkhimar terserah... enggak menutup aurat pun bukan masalah buatku, itu problemmu.
Tapi gara-gara thread panjang seorang biduan, eh, penulis di Twitter, dan merasa kurang sreg dengan komentar dukungan yang melenceng dari esensinya, saya ingin melepaskan penat pada persoalan tersebut di sini.
Singkat cerita, latar belakangnya begini: seorang penulis (cukup ternama) sebut saja si Kakak, mengadukan nasibnya pada rakyat Twitterland soal ditegurnya yang bersangkutan oleh "polisi moral", demikianlah dia menyebutnya, karena dia tidak mengenakan busana muslimah di kawasan sebuah masjid. Lengkapnya cari sendiri deh.
Modus playing victim seperti ini akan teruuuuuus kita temukan, tapi tetep bakal bikin gemes. Apa pasalnya yang bikin gemes saya, saya coba ungkap dengan (mudah-mudahan) bahasa yang lentur, ,
yang saya rangkum dari berbagai pendapat komentator, dan saya sepakat:
Persoalan pertama, ketidaktaatan pribadi sering dibenturkan dengan syariat, dengan dalih masih multitafsirlah, masih perdebatan ulamalah, urusan saya dengan Tuhan lah. Rata-rata, yang saya amati selama ini, kelompok yang belum siap berjilbab mengambil referensinya dari bapaknya Mbak Najwa nih, tapi coba tanya kenapa dua putrinya berjilbab dan yang dua lagi tidak. Jika mereka meyakini pendapat ayahnya benar, semua putrinya bakalan nggak berjilbab. Tapi ada dua di antaranya yang ringan mematuhi hukum yang ditentukan Allah SWT.
Persoalan kedua, ketidakdisiplinan berpikir. Mau bukti? Ada statement enggak papa enggak berjilbab yg penting rajin sholat. Di sini poin misleadnya, yang rajin sholat ini meyakini dong kalau batas aurat itu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, makanya sholat pakai mukena toh? Why hanya pada saat sholat aja, karena Allah melihat? Bukankah Al Bashir, Mahamelihat kita di mana pun kita berada, sedang sholat maupun tidak. Yang berabe udah enggak berjilbab enggak sholat, tapi paling nyolot kalau ada urusan beginian.
Persoalan ketiga, tameng hidayah itu rahasia Allah, oke fine, tapi saat kamu kena tegur karena enggak mematuhi peraturan, diam, syukur-syukur bisa muhasabah. Sayangnya si Kakak ini menggiring opini, satu dia menyatakan masjid sudah tidak nyaman lagi untuk orang-orang tidak berjilbab, dua agama sudah tidak ramah lagi. What?!
Kemudian direspon lagi dengan statement bodoh: sejak kapan agama mengatur cara berpakaian. Oh, kalau saya ketawa, tentu yang sepakat dengan pernyataan ini bakal tersinggung, walau saya bilang agama (khususnya Islam) memang mengatur segala lini kehidupan mulai dari kepala sampai ujung kaki, mulai bangun tidur sampai tidur lagi, mulai dilahirkan sampai mati.
"Lho, saya nggak tahu ada peraturan itu"
"Sejak kapan ada peraturan itu?"
Jika itu dalihmu Kanjeng Ratu, akan lebih elok jika si Kakak ini meminta maaf aja yang tulus dan berterus terang tidak mengetahui ada peraturan tersebut. Sangat disayangkan si Kakak malah menggiring opini menjadi yang tidak berjilbab dilarang sholat di masjid tersebut. Faktanya, kejadian peneguran tersebut terjadi setelah si Kakak selesai menunaikan sholat, bukan? Jika memang tidak boleh dari sejak datang mau sholat pun sudah dilarang dong, Kakak.
Persoalan keempat, adalah keangkuhan enggak mau menerima teguran karena melanggar peraturan. Sehingga tanpa berpikir lagi, si Kakak membawa persoalan lain sebagai tameng "ketidakbersalahannya" enggak seberapa dibanding dengan kasus yang sedang menerpa masjid tersebut. Offside, Kak.
Saya jadi teringat pengalaman menyekolahkan anak di SDI Al Azhar, di depan sekolah terpampang papan bertulisan: "Kawasan Wajib Berbusana Muslimah". Ibu-ibu yang belum mengenakan jilbab sehari-harinya, bakal tampak sibuk pasang jilbab di mobil tiap antar jemput anaknya, dan masuk ke wilayah dalam sekolah. Selesai. Nggak ada yang demo atau marah-marah dengan peraturan tersebut.
Kenapa sekarang dipersoalkan? Seorang Michelle Obama aja merendahkan hatinya dan dengan ringan mengikuti peraturan ketika akan memasuki Masjid Istiqlal, lalu apa yang membuat si Kakak ini angkuh menolak sebuah peraturan?
Hikmahnya, sadarilah tidak ada manusia yg bisa melampaui Al Hakam, yang Maha menetapkan hukum. Sejauh mana kamu mampu menentang hukum-Nya dengan argumentasi level manusiamu, akhirnya kamu pun lelah, menyerah, semoga menjadi jalan bermuhasabah bukan terus memendam amarah.
love,
0 Comments