PAMIT ...



"Assalamualaikum, Mbak aku mohon pamit yaaa, hari ini adalah last day-ku di ......"

Deg!



Membaca barisan kalimat awal yang masuk ke nomer whatsappku bikin mata menghangat dan kemudian airmata luruh tak tertahan.  Akhirnya, kabar buruk itu sampai juga.  Namun tak menyangka yang memberi kabar adalah Editor yang selama ini kerap bekerjasama.  Duh ...

Walau baru empat buku yang sudah kami kerjakan bersama dan terbit dalam kurun waktu kurang dari setahun, tetapi saya merasa dekat dengannya.  Dia masih muda, perjalanan karirnya (seharusnya) masih panjang.  Masih ada dua naskah yang sedang kami kerjakan, namun dengan adanya kejadian ini terpaksa harus dipending untuk sementara waktu.

Hampir lima belas menit, kami berbalas pesan via whatsapp, inginnya menelepon tetapi takut malah membuat suasana semakin melow.  Saya maksudnya.  Dia tampak tegar, kalimat-kalimatnya menyiratkan keceriaan, lengkap dengan ikon-ikon lucu.  Saya memberikan hiburan dan dorongan semangat sedikit dan banyak doa untuknya.  Dia mengucapkan terima kasih, sebelum mengakhiri obrolan, kami saling berjanji untuk tetap keep in touch dan bertukar harapan jika ada kesempatan dan rejeki, untuk saling bertemu.  Yes, kami belum pernah bertemu muka secara langsung.

Saya yang berterima kasih, Mbak.  Dirimu Editor buku anak pertama yang langsung menerima come back-ku ke dunia buku anak.  Nggak tanggung-tanggung langsung order tiga naskah, serial anak yang sangat digemari, tokoh keluarga kelinci itu lho.  Tak sangka, kok repeat order ... hehehe ... terima kasih untuk kepercayaannya, yang sukses menjadi booster kepercayaan diriku untuk kembali menekuni buku bacaan anak.

Demikianlah, wabah Corona ini menciptkan situasi yang teramat serius.  Semua lini kena dampaknya tanpa ampun, termasuk penerbitan buku.  Bagaimana hubungannya, saya malas menerangkan, soalnya bikin saya sedih ... teringat buku-buku yang tidak bisa terjual seperti dalam situasi ekonomi yang normal.

Padahal, satu minggu sebelumnya, saya mendengar banyak teman-teman penulis yang mendapat durian runtuh dari perusahaan penerbitan yang lain.  Mereka membukukan angka royalti yang cukup fantastis untuk para penulis.  Dari pantauan status dan komentar di FB, ada yang nyaris pingsan melihat deretan angka yang masuk ke rekening: SEMBILAN digit.  Nah, lho ... baca ini apakah langsung pengen jadi penulis bacaan anak? 😂.  Terus apa hubungannya dengan cerita sebelumnya? 

Iya, saya jadi berpikir perusahaan besar belum tentu bisa survive dalam kondisi seperti ini.  Perusahaan yang notabene  kurang menjadi idaman  penulis-penulis besar, membuktikan lebih survive.  Kerennya lagi tingkat amanahnya itu.  Bayangkan mereka mengantongi keuntungan milyaran dan tetap membayarkan hak para penulisnya, padahal dalam situasi ekonomi yang semakin meroket ke bawah ini, bisa saja mereka menangguhkan demi kepentingan perusahaan dulu, toh para penulis juga tidak tahu.  

Selain itu, dua kejadian tersebut mengubah sudut pandang saya sebagai penulis terhadap perusahaan penerbitan.  Sering lho saya berkecil hati soal prosentase royalti.  Buku bacaan anak itu royaltinya paling kecil dibanding royalti novel dan buku-buku umum, jadi kadang-kadang suka merasa gimana gitu ...

Tetapi, setelah mengalami langsung pedihnya melepas Editor yang terkena dampak kebijakan perusahaan terkait kondisi yang sedang kurang baik ini, saya berpikir ulang.  Saya tidak akan berkecil hati lagi soal royalti, tentu saja pihak penerbitan lebih pantas untuk mendapatkan bagian yang lebih besar, sebab mereka bertanggungjawab menghidupi banyak karyawannya.  Jika mereka survive tentu  saya pun sebagai penulis ikut aman, bukan? Jadi, kumerasa menemukan jalan ninjaku supaya perusahaan penerbitan pun sehat: gak rewel soal royalti 😁

Sedangkan saya yang faktornya hanya untuk kepentingan sendiri, harus mulai menggenjot semangat lagi supaya lebih produktif menulis dan bersinergi dengan perusahaan penerbitan supaya kompak.  Semoga hubungan mutualisme yang harmonis pun terjaga.

Dan, untuk Mbak Editorku, kuikhlas melepasmu pergi, seiring doa semoga dimudahkan dan diberi kelancaran dalam perjalanan berikutnya.  Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa, semoga dirimu pun menemukan hikmah yang indah di balik ujian ini, Mbak.


Love,








1 Comments

  1. Aku jg ngerasain moment2 sedih perpisahan pas msh kerja dulu. Juga pas aku yg akhirnya resign. Sedih, namanya perpisahan udah identik begitu :D. Kecuali yg pindah orangnya nyebelin, baru disukuri :p.

    Tapi dari sana jd belajar mengikhlaskan, berbesar hati saat anak buah kita memilih kluar demi masa depan LBH baik. Akupun walo berat tiap ank buahku ada yg resign, tp aku ngerti itu demi mereka mendapat gaji LBH baik. Ya kali aku paksa stay. :).

    Semoga nanti mendapat editor yang bisa sama2 klik ya mba ;)

    BalasHapus