K
|
utatap lembaran
kalender di depanku. Bersih. Tak ada bulatan merah melingkar di angka 30
bulan ini. Tidak seperti tahun-tahun
sebelumnya, tahun ini aku malas membuat ritual yang sudah menjadi
kebiasaan. Menandai hari
kelahiranku. Percuma, toh yang akan kudapatkan
masih sama saja. Tak kan ada kejutan berupa kado yang terbungkus
kertas cantik dan pita mungil.
Suamiku mungkin bukan tipe yang romantis.
Selama sepuluh tahun masa perkawinan kami, belum pernah sekalipun dia
memberi kejutan pada hari ulang tahunku.
Biasanya, beberapa hari sebelumnya dia sudah ingat kalau aku akan
berulang tahun. Tapi herannya tepat pada hari H, dia selalu lupa untuk
mengucapkan selamat. Kalau sudah
begitu aku yang harus mengingatkan dulu, barulah sambil tertawa dia meminta
maaf karena lupa tapi bukan berarti melupakan begitu selalu katanya. Kemudian dia akan mengecup kedua pipi dan
keningku. Hanya itu. Hmmhh…..
* * *
Dering telepon dari ruang tengah mengagetkanku. “Assalamu’alaikum…,” sapaku agak malas. “Wa’alaikum salam… Rast? Apa kabar?”
sahut suara diseberang sana . “Heyy Dian ya… aku baik-baik saja….apa kabar
kamu?” seruku terkejut mendengar suara khas yang sudah lama tak kudengar. Setelah saling bertukar kabar, kami pun tenggelam
dalam obrolan yang seru pelepas rindu.
Dian kenalan lamaku. Kami pernah
sama-sama ikut dalam salah satu grup arisan. Kota
tempat kami tinggal memang terbilang kecil tapi letaknya tidak begitu jauh dari
kota Jakarta . Tak terlalu mengherankan jika gaya hidup ibu-ibu di kota
ini sedikit banyak terimbas juga oleh gaya hidup
kota besar macam Jakarta .
Apalagi jika mereka menyandang label “menengah ke atas”, ajang-ajang gaul
semacam perkumpulan arisan pasti dengan senang hati mereka ikuti. Tentu saja bemacam-macam motivasi ada disana.
Aku dan Dian adalah produk perantauan di kota ini. Niat kami sama, ingin menambah teman di kota yang dulu terasa
sangat asing ini. Motivasi itulah yang
mengantarkan kami bergabung dengan salah
satu grup arisan di kota
ini.
“Aku ingat besok kan
hari ulang tahunmu… ada rencana apa nih?” tiba-tiba Dian menembakku dengan
topik yang sedang ingin kuhindari. “Ah
nggak punya rencana apa-apa, sama seperti tahun-tahun kemarin… bete deh…,”
sahutku malas.
Renyah kudengar suara tawa
Dian. “Ya udah daripada manyun ikut aku
yuk… besok ada acara di rumah Mbak Las, masih ingat dia kan ? Dia mau buka arisan lagi… katanya
anggotanya banyak yang baru. Gimana tertarik nggak?”
Aku berpikir sejenak. “Boleh, aku
ikut…”
“Oke kalau begitu, besok aku jemput
jam 5 sore."
Sebetulnya malas juga kembali ke komunitas itu. Rasanya aku kurang klop dengan gaya hidup macam ibu-ibu
seperti mereka. Kalau bahasa gaulnya sih
terlalu ke-borju-borju-an. Aku yakin arisan itu sebenarnya bukanlah tujuan
utama mereka. Rata-rata mereka datang ke
arisan ingin adu pamer kekayaan.
Walaupun tidak semua anggota seperti itu, ada juga yang memang tujuannya
murni untuk menambah kenalan saja. Ah
sudahlah, tak ada ruginya juga aku datang.
Lumayan bisa ketemu teman-teman lama. Hitung-hitung cari hiburan
daripada aku uring-uringan dirumah karena ulang tahunku yang sepi.
* * *
Dari tempat parkir sudah tampak keramaian di dalam rumah. Rumah Mbak Las kelihatannya semakin megah
saja. Sepertinya bisnisnya semakin maju.
Mbak Las memang termasuk pengusaha wanita yang tangguh. Setelah bercerai dari suaminya yang keempat,
akhirnya dia memilih hidup sendiri dan menjalankan usahanya dengan
mandiri.
“Kalau punya uang, apa sih yang
nggak bisa dibeli...” begitu selalu katanya dengan kerling mata penuh
arti. Aku sempat tak bisa menangkap
maksudnya. Tapi setelah salah seorang teman
yang membisiki maksud Mbak Las itu, aku hanya bisa beristighfar.
Dian minta izin untuk menemui kenalannya yang melambai ke arahnya. Kemudian aku mengambil
minuman dan menghampiri yang punya hajat.
“Eh Dik Rasti… lama kok nggak kelihatan…,” sapanya sambil mengadukan pipi
kiri dan kanannya yang tebal ke pipi-pipiku.
“Ada kok
Mbak… sibuk sama anak-anak…,” sahutku.
Mbak Las sama sekali tak berubah sejak terakhir kami bertemu. Badan gemuk dan muka tembam dengan riasan ala
artis mau naik panggung.
Gelang selebar jengkalan
tangan melingkar disetiap pergelangannya yang gempal. Warna kuning emasnya sangat kontras dengan kulitnya
yang gelap. Kalung dengan rantai besar
melilit di lehernya yang berlipat tiga. Sejenak
aku takut dia akan kehabisan napas karena tercekik kalung itu.
“Ayo Dik, aku kenalkan sama anggota baru
kita…" Aku mengikuti saja arah tarikan tangannya tanpa bisa berkata
apa-apa.
* * *
“Tahu nggak…. lakinya si Jessi sekarang udah mulai main-main sama daun
muda. Nggak tanggung-tanggung lagi, anak
SMA gitu…” kudengar seorang perempuan berbaju oranye api berkata.
“Oh… pantesan, kemarin-kemarin kayaknya gue malah
pernah ngeliat si Jessi jalan sama berondong juga....”
“Balas dendam nih ye…”
Dan mereka pun tertawa-tawa
dengan hebohnya. Kuteguk minuman yang
ada ditangan. Sama sekali tidak lucu.
“Laki gue pernah bilang, dia
ngeliat Pak S yang petinggi partai I itu lagi nyawer di diskotik dangdut…” perempuan separuh baya berbaju terusan bertali spagheti turut berceloteh bak penyiar infotainment.
Dalam hati aku berkata, ”Bu… kalau suami ibu melihat Pak S di diskotik itu, berarti suami ibu juga
ada disitu dong…”. Aku tersenyum
sinis menyaksikan kebodohan perempuan itu.
“You tahu nggak, mahasiswi yang
berfoto telanjang itu… dia kan
mainannya Dirut PT. X. Yang paling kasian sih istrinya itu, Jeng
Vonny”.
“Iya… begitu ketahuan, dia sampai-sampai
nggak berani lagi keluar rumah saking malunya…”
Lalu mereka tertawa-tawa lagi dengan suara nyinyir
nenek-nenek sihir.
Sudah lima
belas menit aku berada dalam kelompok ini.
Suara-suara itu terus saja bersahut-sahutan menebar bau anyir aroma gosip
ke udara di sekelilingku. Dengung suara
nyamuk-nyamuk pelahap aib itu menulikan telinga dan menyumbat aliran darah ke
otakku. Tiba-tiba aku merasa mual. Sebelum tanganku refleks menepuki
nyamuk-nyamuk itu, buru-buru aku minta ijin untuk undur diri. Aku butuh udara segar.
Aku kehilangan minat untuk bergabung kembali dengan kelompok arisan
ini. Kucari-cari Dian, tapi tak berhasil
kutemukan, begitu juga dengan teman-teman lamaku yang lainnya. Mungkin mereka juga sudah malas untuk ikut
lagi kegiatan arisan seperti ini. Aku
mengambil minuman dengan cita rasa yang lebih segar dan berjalan ke arah taman
belakang rumah. Kuteguk minumanku, rasa mual dan sesak sedikit berkurang. Kulangkahkan kaki ke bangku taman. Angin lembut sore hari menerpa mukaku. Segar.
Sayup-sayup dari balik rumpun bougenville aku mendengar suara perempuan
sedang berbicara. Suaranya kedengaran
seperti setengah menangis dibalut amarah.
“Mas tidak usah menyuruh-nyuruh
saya pulang! Mas sendiri sudah tidak ingat pulang!” teriaknya.
Tapi tak kudengar jawaban dari lawan
bicaranya. Rupanya dia berbicara
di telepon genggamnya. “Aku tidak peduli! Aku sudah muak dengan
sms-sms yang masuk ke HP-mu!”.
“Ceraikan saja aku Mas…. Aku sudah
tidak tahan dengan perempuan-perempuan simpananmu itu.” suaranya
melemah.
Aku tercekat. Sedikitpun tak ada maksud menguping pembicaraan
itu. Sesaat kemudian tak kudengar lagi
suaranya, hanya isakan lirih yang memilukan hati. Aku terpaku dikursi taman. Sedangkan
perempuan itu di sana... kesakitan dibalik rumpun bunga bougenville yang
rimbun.
“Lussi… Luuus… dimana sih kamu!” terdengar suara perempuan lain lagi
memanggil-manggil. Rumpun bougenville
itu bergerak. Kulihat seorang perempuan
berperawakan mungil dengan paras yang sangat cantik namun pucat keluar dari
balik rumpun itu. Bergegas-gegas sambil
membenahi mukanya, menghampiri arah suara yang memanggilnya. Aku dilewatinya begitu saja.
Terus saja kuperhatikan tingkah perempuan bernama Lusi itu. Ketika dia sudah berada di dekat temannya,
wajahnya sudah kembali berseri dan dia tampak tertawa-tawa mendengar obrolan
temannya. Kelihatan seperti tidak ada
masalah sama sekali.
“Dunia ini
panggung sandiwara…. dan kamu adalah
salah satu pelakon terbaiknya, Lusi," cetus batinku.
Angin sore hari yang lembut mengantarkanku pada lamunan. Penggalan-penggalan lakon manusia yang baru
saja tersaji, kembali bermain-main di mataku.
Ada satu
benang merah yang menghubungkan lakon-lakon tadi. Cerita pendek tentang suami-suami yang sudah
tidak bisa lagi menunjukkan kesejatian sebagai seorang suami. Aku tercenung. Bayangan suamiku sendiri melintas begitu
saja. Tiba-tiba aku ingin tersenyum dan
menangis sekaligus, namun ada kesejukan meniupkan rasa tenang dan bahagia
menyelinap dalam hatiku.
Tepukan Dian membawa kesadaranku kembali. Aku mengangguk saja ketika dia
mengajakku pulang.
* * *
Kuhabiskan sepertiga malam miladku dengan persembahan airmata
syukur. Akhirnya kudapatkan kado
itu. Bukan sebentuk kotak terbungkus
kertas cantik dan pita mungil, melainkan seorang lelaki pilihan terbalut iman
dan kesetiaan.
Suamiku mungkin bukan tipe yang romantis, tapi selama sepuluh tahun kami
bersama dia telah membuktikan bahwa dirinya adalah suami sejati bukan suami
dalam cerita-cerita pendek yang kudengar di rumah Mbak Las. Dengan do’a dan
cinta yang dihadirkannya untukku setiap hari, adakah kado yang lebih baik yang
bisa melebihi itu semua?
Di akhir ritual syukurku, kusisipkan do’a semoga aku diizinkan menikmati
keindahan kado itu sampai akhir hidupku kelak.
<Cerpen pertama yang dimuat di media: Radar Banten>
0 Comments