HORMATI GURUMU SAYANGI TEMAN...




Hormati gurumu, sayangi teman 
Itulah tandanya kau murid budiman

Dua bait lagu itu terngiang di telinga, di tengah panasnya kota Serang, saat saya sedang duduk manis di samping sopir angkot, yang sedang nunggu penumpang di depan sebuah sekolah.

Kok bisa tiba-tiba lagu itu muncul di alam pikiran saya? Ya, gara-gara satu lagi sketsa kehidupan yang saya saksikan. Jadi, ceritanya begini.


Ketika duduk di angkot itu saya melihat orang-orang-- ibu-ibu dan bapak-bapak yang menjemput anaknya, juga pedagang-pedagang di dekat situ-- pandangannya fokus ke seberang jalan. Ada apa sih? Saya jadi ikut-ikutan memindahkan pandangan ke arah sana juga.

Di seberang jalan itu, ada seorang pemuda sedang berselisih dengan seorang bapak yang sudah sepuh, di dekat mereka ada dua sepeda motor yang diparkir sekadarnya. Saya jadi berdiskusi dengan sopir angkot tentang kemungkinan sebab musabab terjadinya perselisihan itu. Tabrakan? menurut analisis sopir angkot, agak mustahil kalau tabrakan beradu muka, karena jalan di situ satu arah. Senggolan? bisa jadi seperti itu.

Sikap si pemuda yang berangasan sungguh mengganggu saya. Melihat ekspresi bapak sepuh yang menahan kesal, saya yakin si anak muda bicara dengan suara keras dan nada tidak sopan. Kemudian si anak muda menunjukkan gelagat akan memukul si bapak, orang-orang yang (mungkin) sedang berusaha menengahi segera menahan si pemuda. Astaghfirullah...

Ngenes. Hati kok ikut sakit ya lihat bapak sepuh itu diperlakukan buruk seperti itu. Anak muda itu, begitu teganya berlaku demikian kepada orang tua. Apakah dia tidak punya ayah atau kakek yang ingin diperlakukan dengan baik oleh orang lain?


Hubungan dengan lagu yang tiba-tiba saya ingat itu apa?

Dulu, semasa sekolah dasar (jangan tanya tahun berapa, yang pasti Indonesia sudah merdeka :D), saya ingat ada pelajaran budi pekerti. Selain pelajaran-pelajaran dasar yang ada di buku cetak, guru yang mengajar juga sering mengajarkan pesan-pesan moral/budi pekerti lewat lagu. Di antaranya lagu itu. Saya sudah lupa lengkapnya lagu itu, hanya ingat dua bait itu saja.

Hormati gurumu ... sayangi teman ...

Kata "gurumu" bisa ditafsirkan secara luas sebagai orang-orang yang lebih tua dari kita, tidak hanya sebatas guru atau orang tua kandung. "Sayangi teman" tentu saja menghargai siapa saja yang sebaya dengan kita, tidak sebatas hanya teman-teman dekat atau yang dikenal saja.

Itulah pemahaman saya terhadap lagu tersebut. Kejadian antara si pemuda dan bapak sepuh itu, memicu saya untuk mengingat lagu itu kembali dan mengenang pendidikan yang saya dapat di masa lalu. Kenapa pendidikan budi pekerti itu harus menjadi mata pelajaran tersendiri, lepas dari pelajaran PMP (sekarang PPKN) dan agama?

Betul, pelajaran budi pekerti pun ada dalam pelajaran PMP dan agama, tapi lapisannya menjadi tipis karena bercampur dengan materi lain. Jika pelajaran budi pekerti dikhususkan menjadi mata pelajaran tersendiri, lapisannya akan lebih tebal. Dan sekarang, pelajaran itu, menjadi bekal saya hidup bermasyarakat dan menjadi dasar sikap saya berinteraksi dengan orang lain, yang lebih tua, sebaya, maupun yang lebih muda. Sayang sekali sudah sejak lama pelajaran budi pekerti (khusus) sudah dihilangkan dari kurikulum.

Bagaimana dengan si anak muda? Entah. Saya tak ingin menghakimi pendidikan budi pekerti macam apa yang dia dapat, bahkan bisa jadi dia tak pernah mendapatkannya sama sekali.

Bercermin pada sikap si anak muda itu, saya instrospeksi diri. Memikirkan sudah sekuat apa usaha saya menanamkan karakter yang baik pada anak-anak di rumah. Pekerjaan yang berat tapi harus terus dilakukan. Jika tidak, apa saya kuat menanggung malu ketika anak saya menghardik bapak/ibu sepuh di jalan hanya karena persoalan sepele.


Disclaimer:
Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia dengan akhlak sesempurna Nabi Muhammad saw, bukan maksud hati mengklaim diri sebagai manusia berbudi pekerti tinggi. Please, don't get me wrong. Diri ini pun sedang memaksimalkan diri menjadi manusia yang tidak "pikasebeleun batur" ^ : ^

0 Comments