Seseorang nulis komentar di postingan saya di Facebook: kan orang Indonesia gampang komen. Masa iya sih? udah ada hasil surveynya gitu? hehe.
Ngukurnya gampang aja, coba deh kalau ada issue (nasional) pasti medsos langsung riuh-rendah. Seru. Beberapa issue berhasil saya lewatkan dengan damai. Artinya saya nggak terpancing nulis status berkaitan dengan issue-issue itu. Sebut aja issue yang paling santer soal pemberian ASI dan polemik ibu bekerja. Wotefer lah ya, masa-masa itu udah saya lewati dengan damai dan saya ini bagai ancestor di dunia per-asian (udah pengalaman menyusui empat kepala mau apa lagi), udah khatam juga dunia kerja-kerjaan. Mau sharing atau mau nambahin panas suasana sih bisa-bisa aja, tapi ah malas *heuheu*
Sekarang yang sedang hangat membara adalah issue Full Day School. Eh, saya ikutan bikin status, ceritanya berpendapat lah ya, walau belum jelas apakah saya akan pro atau kontra, hehe... *double agent* habis pikiran saya lagi random sih.
Tapi di sini, bukan FDS-nya yang pengin saya obrolin. Keriuhannya itu lho. Ada yang pro, banyaknya yang kontra sih (sejauh status yang saya baca). Setelah dua golongan ini, ada golongan ketiga yaitu status-status yang fokusnya mengomentari dua golongan tersebut.
Begitu nemu status-status ketiga ini lah kewajaran saya terusik. Saya jadi teringat satu cuplikan dialog dalam satu drama yang mengandung nasihat. Tapi udah lupa di drama yang mana.
Jadi ada orang tua yang ngasih pesan pada seorang anak muda begini,
"Kamu akan menemukan banyak persoalan dalam hidup ini. Jika kamu menemukan pendapat yang sama, sampaikan dengan diam-diam. Dengan begitu, kamu tak akan melukai orang yang tak sependapat denganmu."
"Jika kamu tak sependapat mengenai satu persoalan. Cukup dengarkan saja orang yang mengeluhkan persoalan itu. Mengertilah mungkin ia sedang mengalami masa-masa yang sulit. Jika kamu mengatakan pendapatmu, ada seseorang yang akan terluka."
"Tetapi, jika kamu tak senang pada keduanya, atau tak ingin berpendapat apa pun, jangan berkata apa-apa. Cukup diam saja. Karena jika kamu mengatakannya, kamu akan melukai lebih banyak orang."
Hati-hati ah... jangan sampai termasuk ke dalam kelompok yang ketiga. Karena sering saya menemukan, status-status mereka (mungkin maksudnya) netral tapi kok akhirnya mentertawakan situasi yang ada. Menampakkan kalau mereka nggak acuh, atau nggak (pengin) paham situasinya dan nggak peka. Maka, sebaiknya memang diam saja. Bisa jadi saya juga pernah begitu... *segera insyaaaaf*
Satu lagi yang sering saya temukan dalam perseteruan issue di medsos, adalah kata nyinyir. Sungguh saya nggak suka pada kata itu. Dan kenapa harus ada di KBBI sih ^ : ^. Karena kata yang satu ini sering dipakai untuk memberi label pada orang lain. Nggak fair ah, belum tentu juga kita bebas nyinyir, toh?
Lalu bagaimana dong? entah... living in the socmed age ini kayak living in the wild. Sebetulnya how to survive di medsos kan banyak teorinya. Tapi, kalau menurut saya sih yang paling sederhana ikutin aja nasihat ketiga. Paling aman. Damai di hati... damai di bumi.
Saya mau menerapkan lagi prinsip bersosmed yang silence-silence bersahaja, supaya kehidupan bermedsos saya bisa saya lewati dengan "tiis ceuli herang mata", artinyaaa... *silakan buka kamus bahasa sunda di Google*
Love,
2 Comments
Ehm, berarti yang parah tipe ketiga ya, Mbak, lebih melukai banyak orang :(
BalasHapuskayaknya gitu, soalnya seolah-olah mereka netral tapi komentarnya itu justru jadi nge-judge orang.
BalasHapus