Ada
berapa banyak perbedaan yang tercipta di dunia ini? Perbedaan keyakinan, warna
kulit, strata sosial, pendidikan, sudut pandang, dan masih ada berjuta perbedaan
lagi.
Perbedaan,
empuk dijadikan bahan diskusi. Namun, belakangan perbedaan begitu mudah menjadi
masalah. Ada yang menyikapinya dengan manis dan ringan, ada juga yang
“menggunakan otot”, sehingga tak heran jika perbedaan dengan gampang membuka
gerbang permusuhan.
Bahkan
orang bisa saling bunuh, karena membela sudut pandang yang diyakininya tentang
satu perbedaan. Mulai dari “sekadar” membunuh karakter lawannya, sampai
benar-benar menghilangkan nyawa manusia lain. Anda pikir perang itu soal apa?
Bicara
soal perbedaan, saya teringat pada satu film yang mengangkat isue rasialisme,
yang terjadi di wilayah Mississipi,
Amerika, pada tahun 60-an. Saat itu perbudakan masih dipraktikkan, walau pada
tingkatan yang sedikit lebih halus.
Yang akan
saya ulas adalah bagaimana karakter-karakter dalam film itu menyikapi perbedaan
dengan cara yang berbeda-beda. Barangkali ada yang belum menonton filmnya, saya
sertakan sinopsisnya berikut ini:
Tahun 1963, Euginia "Skeeter" Phelan kembali ke kota kelahirannya Jackson, Mississippi, setelah menyelesaikan kuliahnya di Universitas Mississipi. Ia berniat untuk menjadi penulis profesional, dan menjajaki cita-citanya itu dengan menjadi penulis kolom di koran lokal.
Ketika Skeeter menghadiri acara main bridge yang diadakan di rumah salah satu teman sosialitanya, Elizabeth Leefolt, ia bertemu dengan Hilly Holbrook. Di antara teman-temannya hanya ia yang masih lajang, dan hal ini selalu diributkan oleh ibunya. Rata-rata teman perempuannya pergi kuliah hanya untuk mencari suami.
picture : wegotthiscovered.com |
Keluarga Leefolt mempekerjakan Aibileen, seorang pembantu berkulit hitam yang telah bertahun-tahun bekerja sebagai pengasuh anak. Pada masa itu, anak-anak kulit putih kebanyakan dibesarkan oleh pembantu kulit hitam mereka daripada oleh ibu kandungnya.
Dalam pertemuan itu, Hilly-si pemegang kendali di perkumpulan sosialita- memberitahukan rencananya soal pemisahan toilet pribadi untuk para pembantu. Alasannya, orang kulit hitam itu membawa penyakit yang berbeda dengan mereka (kulit putih). Dengan gembira ia juga memberitahukan bahwa inisiatifnya itu telah mendapat dukungan dari Dewan Kota. Skeeter tak habis pikir, dan mulai melihat sesuatu yang “aneh” sedang terjadi di kota kelahirannya.
Skeeter ingin menulis buku yang isinya mengupas sudut pandang para pembantu kulit hitam. Gagasan itu terinspirasi dari hubungan pribadinya yang erat dengan Constantine, pembantu di rumahnya yang sudah mengasuhnya sejak bayi. Pembantu tua itu kabarnya diberhentikan pada saat ia sedang jauh dari rumah, dan ibunya tak mau berterus-terang mengenai alasan dipecatnya Constantine.
picture : oherterich.wordpress.com
Skeeter menawari Aibileen untuk menjadi narasumber. Awalnya, Aibileen ragu dan ketakutan. Hal tersebut bukannya tanpa risiko. Menulis tentang majikannya yang notabene berkulit putih, pada masa itu, di Mississipi, termasuk pelanggaran hukum.
Namun, Aibileen menyaksikan bahwa kaumnya semakin tertindas. Teman-temannya mendapat perlakuan tak menyenangkan. Minny, sahabatnya- pembantu di rumah Hilly- dipecat gara-gara menggunakan toilet di dalam rumah pada saat terjadi angin puting beliung. Ditambah lagi kenangan menyakitkan tentang anaknya yang meninggal saat bekerja dan mendapat perlakuan tak layak. Aibileen pun memutuskan bekerja sama dengan Skeeter. Kemudian Minny dan teman-temannya yang lain pun mengikuti langkahnya.
picture : youtube.com |
Akhirnya cerita yang ditulis Skeeter pun selesai. Sebuah penerbit di New York menerima naskah tersebut dan menerbitkannya menjadi sebuah buku. Diluar dugaan buku yang diberi judul "The Help" itu (yang juga dijadikan judul film) menjadi incaran banyak orang, termasuk warga Jackson.
Namun kesuksesan Skeeter dan kawan-kawan harus menuai kepedihan. Skeeter diputuskan oleh kekasihnya yang tak senang dan menuduh gadis itu mengusik kehidupan yang menurutnya baik-baik saja. Aibileen pun akhirnya harus menerima kenyataan, dirinya dipecat oleh Elizabeth atas desakan Hilly. Aibileen angkat kaki dari rumah Elizabeth.
picture : collider.com
Di akhir film ini, Skeeter, Aibileen, dan Minny digambarkan mendapat kebahagiaan. Aibileen yang merasa bebas memutuskan untuk menjadi penulis. Skeeter pun berbaikan dengan ibunya, yang selama ini selalu bertentangan dengannya. Kemudian Skeeter mendapat tawaran pekerjaan bagus di New York dan akhirnya hijrah ke sana. Minny bekerja untuk keluarga Foote yang memperlakukannya lebih baik, dan memutuskan membawa anak-anaknya tinggal di rumah keluarga Foote, meninggalkan suami yang suka menyiksanya.
Saat
terlibat dalam satu perbedaan, ada orang yang hanya sebatas cerewet ringan dalam
membicarakan seseorang, ada juga yang cerewet tapi pakai pedas sampai level 15
(saya kurang suka menggunakan kata nyinyir dan menghujat). Oke, saya juga pernah
koook berada di posisi itu…*duh malu hati*
Di film
“The Help” karakter seperti itu, diwakili oleh Hilly Holbrook. Keras kepala,
selalu merasa benar, tidak toleran, manipulatif, pendapatnya harus selalu didengar
dan dituruti oleh orang-orang yang diklaim sebagai pengikutnya.
Namun,
ketika saya melihat orang lain melakukan hal yang sama, kok risih ya. Ternyata,
memang begitulah cara kerjanya. Ketika saya berada di luar lingkaran masalah,
saya bisa melihat dengan kepala lebih enteng, dan kalau saya (ingin) berkomentar,
saya lakukan tanpa memihak.
Beradu
argumentasi dengan orang yang keras kepala itu melelahkan dan hanya membuang
energi saja. Apalagi jika yang bersangkutan mendapat dukungan penuh dari para
suporternya. Capek deh… mending jaga kewarasan diri sendiri saja.
Dan orang
yang menyadari untuk bersikap demikian adalah Skeeter. Ia bisa menghayati
perbedaan dari sudut pandang yang berbeda, kemudian memilih “jalan halus” untuk
memberikan wacana baru terhadap perbedaan yang sedang terjadi, agar bisa diterima
dengan cara yang lebih baik.
Skeeter menulis
sebuah novel. Lewat sebuah karya
Skeeter ingin memberitahukan pada dunia luar “suara” orang-orang kulit hitam,
sekaligus “melawan” budaya yang telah diwariskan turun temurun dari generasi ke
generasi. Novel itu “berbicara”, sehingga lambat laun dunia luar mengerti bahwa
para pembantu kulit hitam itu pada dasarnya orang-orang yang setia dan baik
hati, jika diperlakukan dengan lebih manusiawi. Jika diberi penghargaan yang
layak sebagai manusia.
picture : plazanoir.com |
Novel “The
Help”, membawa gelombang perubahan. Dalam film, digambarkan melalui
perubahan sikap ibu Skeeter, tangis penyesalan Elizabeth setelah Aibileen tanpa
ragu meninggalkan rumahnya, dan Hilly yang tampak terpukul setelah Aibileen
memberikan “wejangan” dengan sedikit keras. Nyatanya, mereka diam-diam membaca
novel yang ditulis Skeeter.
Cerita tentang
Skeeter ini hanya contoh. Novel hanyalah salah satu media. Namun yang saya
sadari, sebuah karya dalam bentuk apapun: tulisan, film, musik, pertunjukan teater,
lukisan, dengan beragam tema- salah satunya tentang perbedaan- dapat menjadi media
untuk diresapi sehingga membawa perubahan bagi yang menghayatinya.
So, media manakah yang Anda pilih dalam menyikapi perbedaan (yang kadang
menjengkelkan), untuk menyampaikan aspirasi yang Anda pikir dapat membawa
perubahan? Otot atau karya?
Menjadi
Hilly atau Skeeter?
#4TahunKEB
#KEBerkarya
berkarya untuk perubahan dalam perbedaan
karya
KEB
lomba
obrolan ringan
perbedaan
perubahan
2 Comments
Birkan karya yang berbicara. Hehehe. Ogah banget ngotot yang malah tidak ada gunanya.
BalasHapussetuju :D
Hapus