KARENA GELISAH MAKA SAYA MENULIS


Kalimat di atas saya kutip dari kalimat yang diucapkan salah seorang guru menulis saya. Bagi saya, kegelisahan yang tidak dituangkan, mengganggu ketentraman jiwa. Batin bergejolak. Segala pertanyaan, pernyataan, kesal, marah, harus bagaimana, berdesakan di kepala.


Dua peristiwa yang paling membuat saya gelisah adalah ketika pilpres dan aksi damai tanggal 4 November kemarin. Apa yang membuat saya gelisah?

Ketika pilpres, terus terang saya bingung menentukan pilihan, waktu itu saya cenderung memilih golput. Namun, ketika para ulama besar ramai-ramai mendukung salah satu kandidat dengan ikhlas, maka saya pun menentukan pilihan. Pertimbangan saya, para ulama itu tidak akan sekadar memilih. Proses itu tentu sudah melewati pemikiran yang mendalam dengan ilmu-ilmu yang mereka miliki.

Tahun ini, satu kejadian memicu sejarah. Jujur, ketika kejadian itu mencuat, saya tidak mengambil sikap apa pun. Malah saya menganggap hal itu biasa aja. Karena saya menganggap toh yang mengucapkannya juga "si anu", yang jelas-jelas bukan orang yang patut di-concern-in (bagi saya). Bahkan, ketika timeline mulai ramai pun saya masih nggak terpengaruh. Kalau yang mengucapkan kata-kata itu dari golongan JIL, reaksi saya akan berbeda.

Namun, sikap saya goyah ketika melihat Aksi Damai II tanggal 4 November. Saya kacau... melihat sedemikian banyak umat muslim yang berbondong-bondong berjuang, berkorban harta, bahkan berkorban nyawa (meninggal karena kecelakaan di tol Cipali). Hati gemetar... mata menghangat... melihat foto-foto lautan warna putih di bundaran HI itu.

Betapa salah saya bersikap.

Kemudian... rentetan postingan yang membuat hati patah. Pertama, postingan teman di Path, foto bus rombongan dari Solo yang mengalami kecelakaan di tol Cipali. Captionnya menertawakan. Disambung dengan status-status di Facebook. Saya bertahan dan berusaha tak terpengaruh. Saya tak peduli ketika suara miring teman-teman muslim membela "si anu". Tapi pertahanan saya bobol ketika teman-teman mulai menulis status-status bernada hujatan, hinaan, dan pelecehan terhadap para ulama-ulama dan imam-imam yang turun ke jalan dalam aksi itu.

Sedih dan takut, itu yang saya rasakan.

Sedih ketika teman-teman sudah mulai kehilangan kepercayaan pada ulama-ulama kita. Sedih karena menganggap yang mereka lakukan adalah kebodohan. Mau aja ditunggangi sebuah partai untuk menjegal "si anu" atau mendongkel "si beliau" dari posisinya sekarang. Prasangka buruk yang luar biasa.

Saya menulis banyak status menyuarakan opini dari perasaan saya yang kacau-balau itu. Walau saya sadar... ilmu pun masih cetek. Level ke-Islaman saya  pun masih rendah. Sosok kemuslimahan saya pun masih jauuuuuh dari ideal. Dosa-dosa ini kalau kata orang Sunda mah geus salaput hulu (udah sampe kepala), luber malah. Tapi hati saya sakit.

Saya tidak tahan ketika mereka mengatakan aksi itu adalah tindakan yang sia-sia, bodoh, dangkal, dsb. Ilmu kita mungkin belum sampai jika kita nggak bisa mengerti kenapa mereka bisa sampai turun ke jalan, meneriakkan tuntutan untuk satu tujuan. Tapi tolong jangan mencerca. Ruh jihad fi sabilillah mereka nggak bisa dibandingkan dengan logika: lebih baik waktunya dipakai mencari nafkah buat keluarga.

Kita mungkin nggak akan mengerti mengapa seorang Muhammad Ridwan Abdurrahman rela berperang ke Syuriah, kemudian meninggal di sana. Tapi jangan lantas kita berbicara, bodoh banget pergi jauh-jauh cuma nyodorin nyawa.

Ilmu kita belum sampai untuk mengerti ketika kakak sang syuhada berkata dengan bangga bahwa adiknya telah syahid dan menjemput bidadari. Mungkin yang ada dalam pikiran kita, hanya seorang pemuda yang mati konyol. Bisa jadi Abu Jibril (ayah Ridwan), lebih bangga anaknya menjadi syuhada daripada jadi menteri.

Dan kemudian saya melihat foto Abu Jibril yang pingsan karena gas air mata, diberi tulisan "pingsan karena nggak kebagian nasi bungkus".  Wow, luar biasa sekali mental illness orang yang membuat meme serupa itu. Mental illness yang sama jika ada muslim yang melihat meme tersebut adalah sesuatu yang kocak.

Jika ilmu kita belum sampai untuk mengerti kenapa ada yang bersibuk-sibuk mengumpulkan dana untuk Palestina, tapi jangan terus berkomentar, "disini juga masih banyak yang butuh ngapain jauh-jauh ke sana."

Terus terang, memahami hal-hal demikian bagi saya pun berat karena berbenturan dengan logika. Namun, saya menyadari sepenuhnya bahwa jika kita terus mengedepankan logika, keimanan kita akan terkikis. Kita lupa ada yang ghoib yang mengawal kehidupan kita di dunia ini. Bukan ghoib yang mengarah ke hal-hal mistik.

Kemudian status-status bernada... entahlah apa yang ada di pikiran penulisnya, semacam: "kok jadi banyak ustaz atau ahli agama dadakan ya". Analisis saya, si penulis ketika membaca sesuatu tentu menyadari, yang dibacanya itu sesuai dengan ajaran agamanya, makanya dibilang ustaz atau ahli agama. Saya yakin yang dibacanya tentang kebenaran. Tapi mengapa ada penolakan dan ketidaksukaan diberi kabar kebenaran?

Kedua, keluhan-keluhan bahwa timeline penuh dengan status panas. Benarkah? timeline saya diselingi berita kelahiran, berita yang sedang liburan, berita yang menang lomba, dan artikel-artikel lainnya. Hati-hati...

Tahukah Anda yang menulis dua hal bernada demikian dampaknya bisa luar biasa. Kenapa? orang-orang akan mulai menarik diri. Mulai malu mengeluarkan pendapat yang mengarah pada kebaikan, karena takut "mengganggu" timeline orang lain. Karena takut dicap sok agamis, sok paling beriman, sok paling benar sendiri. Bahkan teman-teman yang saya anggap lebih dalam ilmunya dari saya, memilih untuk tidak ikut-ikutan dan diam. Ini sangat menakutkan buat saya.

Hal tersebut sempat saya rasakan ketika jaman pilpres. Saya merasa tersindir habis-habisan setiap kali ada yang menulis status yang bertentangan dengan apa yang saya tulis (padahal entah untuk siapa). Saya tidak percaya diri. Dan kemudian saya meng-insyafkan diri untuk diam dan mulai pelan-pelan menarik diri dari dunia perstatusan yang berbau agama, bangsa dan negara  :)))

Begitulah, saya jadi korban perang pemikiran yang salah satu pemicunya adalah status-status demikian. Melemahkan hati dan pikiran. Kita jadi segan untuk saling menasihati. Kita enggan lagi untuk berbagi demi kebaikan. Kita... menjadi orang-orang yang merugi. Kita lupa, ada hidup setelah mati.


Love,


6 Comments

  1. Sedih teh, kalau tidak setuju demo ya tak mengapa, tapi jangan mencerca,menghujat, bahkan menertawakan ketika demo memakan korban, ada penyusup hingga rusuh, duhh sedih..tega banget ya ada meme seperti itu ya teh :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. begitulah Dew, lingkungan kita makin ngeri... meme Ustad Abu Jibril itu "belum seberapa" ada yg lebih ngeri lagi. Harus waspada dan makin mempertebal ilmu aja deh sekarang mah buat tameng...

      Hapus
  2. Nice artikel...aku baca pelan pelan. Walau aku jauh disini, tapi selalu ngikutin berita di tanah air. Semoga ujungnya baik semua. Terlepas dari penistaan agama, aksi kemaren itu memang jelas aksi politik untuk menggulingkan Ahok dan pak Jokowi. Ini yang aku sedihkan. Jakarta dan Indonesia mulai berbenah, negara tetangga mulai kawatir karena perekonomian kita meningkat dimata dunia. Tapi karena egoisme lawan lawan politik mereka memanfaatkan kesempatan itu dengan memakai agama. Nggak fair. Islam agama yang indah. Jangan dicampur adukkan dengan politik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mbak, yang membuat rumit memang orang-orang yang memiliki kepentingan :(

      Hapus
  3. Ini tulisan bagus yang patut kita renungkan
    Namun yang jelas, yang selalu harus saya pegang adalah saya hanya akan berkomentar terhadap sesuatu yang memang betul-betul saya kuasai. Entah ilmunya atau orangnya.
    Yang saya lihat sekarang adalah banyak orang yang "reaktif" tanpa di dukung pengetahuan yang mumpuni.
    (Jujur saya itu paling takut dibohongi)
    (Saya pernah di suatu masa, begitu mengidolakan seorang teman, namun dengan berjalannya waktu saya mulai tau ada satu dua kelakuannya yang tidak "pas" di hati)(mulai saat itu saya cenderung tidak ingin membenci atau menyanjung sesuatu atau seseorang dengan membabi buta)
    Saya hanya membenci atau menyanjung "sikap dan perilaku" nya tertentu saja. buka keseluruhan orangnya.

    (wah komen saya jadi panjang nih ... maap)

    Salam saya

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya Om sewajarnya aja ya, saya juga banyak belajar dari beberapa peristiwa yang mengguncang tanah air... alhamdulillah sudah bisa lebih menahan diri, walau masih ska geregetan dalam hati :D kalau sudah terlalu sesak baru bersuara lagi :D:D

      Hapus