[CERPEN] MENYESAP KENANGAN




“Nggak mau… nggak mau…,” tolaknya sambil menahan tawa.

Sekuat tenaga kutarik tangannya, bermaksud menyeretnya masuk ke sebuah kafe kopi bermerek terkenal. Tapi, mana bisa aku mengalahkannya. Tanpa mengeluarkan tenaga pun, hanya bertumpu pada kaki-kakinya yang panjang dan kokoh, dia tak tergoyahkan.


Lelakiku itu, tak akan suka jika kuajak minum kopi di kafe mana pun yang menjual kopi bermerek asing. Sedangkan aku, adalah penggila kopi “branded”. Setiap kali aku ingin membeli kopi di kafe langgananku, aku selalu menggodanya seperti tadi. Lucu saja melihat tingkahnya, seperti anak kecil yang dipaksa masuk ke ruang dokter gigi.

Sementara aku sibuk dengan urusanku di depan petugas kasir, dia menungguku sambil berdiri bersandar di dinding samping pintu masuk. Sebelah kakinya menekuk bertumpu pada dinding, dua tangannya masuk ke saku jeans belelnya, sementara mulut sibuk mengulum permen rasa kopi. Aku sudah sangat hapal kebiasaannya.

Aku keluar dengan segelas Iced Americano berukuran besar. Sengaja aku bertingkah pura-pura tak melihatnya. Berjalan melewatinya sambil menyesap minuman di tanganku. Dia tertawa dan mengejarku. Kaki-kakinya yang panjang mengiringi langkahku. Kedua tangannya masih di dalam saku.

“Suka banget, sih, sama Iced Americano,” cetusnya usil. Padahal sudah sangat sering dia melihatku menyesap minuman ini.

“Ini, minuman cowok-cowok ganteng di drama-drama korea, tahu?” sahutku dengan nada disebal-sebalkan.

Mana mungkin aku sebal betulan pada cowok jangkung, berambut ikal setengah gondrong, dengan raut wajah keturunan Arab itu. Kemudian, tawanya membahana. Tak peduli pandangan orang-orang yang berpapasan dengan kami.

“Jadi, aku nggak ganteng dong karena nggak suka minuman macam itu.”

“Tapi kan kamu juga suka kopi.”

“Bukan kopi macam begitu.”

“Apa bedanya.”

“Itu mah kopi banci.”

“Aku nggak suka istilah itu.”

Tawanya membahana lagi. Dia selalu tahu cara menggodaku.

“Aku juga nggak suka istilah itu.”

“Terus kenapa kamu katakan.”

“Suka lihat kamu cemberut.”

“Tambah cantik? Klise sekali kamu….”

Tawanya membahana sekali lagi sebelum kami menaiki angkutan kota yang akan membawa kami ke kampus.

“Nanti kubuatkan kopi yang keren, kalau kamu bersedia datang ke tempatku.”

Tiba-tiba lidahku kelu. Aku membuang pandangan ke luar jendela, sembari menyedot minuman yang semakin hambar karena es-es yang sudah mencair.

***

Belum lama aku mengenalnya, baru satu tahun terakhir ini. Dia seniorku di kampus. Anak semester enam. Kami bertemu di kantin kampus. Saat itu, aku baru pertama kalinya menginjakkan kaki di kantin kampus, karena terpaksa menunggu jam kuliah berikutnya yang jaraknya tak begitu lama dari kuliah sebelumnya.

Tanpa prasangka aku memesan “kopi putih”.  Pesanan yang membuatku shock karena yang datang ke hadapanku adalah kopi susu, yang berbahan bubuk kopi hitam dengan campuran susu kental manis. Aku paling tidak bisa minum kopi dengan ampas yang masih mengambang di permukaan.

Aku tak tahu bagaimana raut wajahku saat itu, yang pasti ekspresiku mengundang tawa terbahak dari sudut kantin. Aku menoleh mencari asal suara tawa itu. Dan aku melihatnya untuk pertama kalinya. Seorang cowok yang sedang memandangku dengan wajah geli. Aku melengos. Di mana lucunya, sih, kalau tidak bisa minum kopi seperti itu.

Kemudian setelah aku minta maaf pada Ibu kantin, dan berjanji akan tetap membayar pesananku tadi, aku mengeluarkan bekal andalanku, kopi putih sachetan. Kuserahkan bungkusan mungil itu dengan takzim pada si Ibu. Tak sangka perbuatanku itu mengundang tawa yang lebih keras lagi. Aku menoleh dengan tatapan tajam bernada kenapa-sih-kamu-ganggu-tahu.

Setelah itu, tak kupedulikan lagi wajah menjengkelkan di sudut kantin. Namun, hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh kejutan. Aku melihatnya lagi ketika kebetulan lewat di depan ruang serba guna. Unit Kesenian Mahasiwa Sumatera sedang berlatih. Aku melihatnya sedang melatih tarian Saman. Tanpa sadar aku menghentikan langkah dan menonton latihan mereka. Terhipnotis oleh gerakan dinamis dan lagu yang penuh semangat, sampai tak sadar ada yang berdiri di sampingku sembari menyodorkan minuman kopi kalengan.

“Namaku Tandi,” katanya singkat. Tapi senyum di wajahnya tak bisa kulupakan sampai berhari-hari kemudian.

“Aa… aaaku… Tania.” Aku menyesal kenapa harus segugup itu. Tanganku gemetar menyambut minuman yang disodorkannya.

“Aku tahu,” sambutnya sambil tersenyum lagi. Mungkin merasa geli melihat tingkah gugupku.

“Taniaaa… cepat… kuliah mau mulai!”

Saved by the yell. Untung saja ada rombongan teman sekelasku yang lewat di dekat situ dan mengingatkan. Kalau tidak, aku masih saja berdiri di situ mati gaya entah sampai kapan.

“Aa… aaaku… permisi dulu.”

Tanpa menunggu jawabannya aku berlari menuju rombongan temanku tadi. Dan setelah duduk di ruang kuliah, baru aku sadar kalau aku tidak mengucapkan terima kasih untuk kopi kalengan yang diberinya.

Dia mendekatiku. Aku tahu, dan aku tak menolaknya. Tandi, bukan tipe cowok idamanku. Karena seleraku pada lawan jenis terbangun akibat kesukaanku pada drama-drama korea dengan pemeran utama prianya yang tampan dan kelimis. Tapi anehnya, aku merasa nyaman dan aman ketika berada di dekatnya.

Dan sekarang, begini lah kami. Bersama dan tak terpisahkan selama satu tahun terakhir ini. Walau…

“Hei, kok ngelamun, sih.”

Sosoknya yang jangkung menjulang di hadapanku. Aku yang sedang duduk di bangku taman kampus yang rendah, tampak seperti liliput.

“Nggak ngelamun,” elakku bandel.

“Oke, nggak ngelamun. Meditasi mungkin.” Tawa gelinya membarengi aku bangkit dari duduk.

Tak lama suara adzan berkumandang.

“Ah, sudah waktu ashar. Kamu mau nunggu di sini atau gimana?”

“Yaaa… kemana lagi, nunggu di sini aja deh.” Aku kembali duduk bersila di bangku rendah dari semen polos yang tak dicat. Kutengadah memandangnya sambil tersenyum.

“Tinggal dulu ya,” katanya sambil mengacak rambutku.

Tapi, setelah beberapa menit aku merasa bosan. Kuputuskan untuk menyusul Tandi. Aku bangkit dan bergegas menuju masjid besar di seberang area kampus.

Aku menaiki tangga masjid. Kusisir dindingnya yang terbuat dari kaca tembus pandang. Aku melewati area khusus perempuan. Sebaris perempuan berpakaian serba putih melaksanakan shalat dengan khusuk. Ah, seandainya…

Kuteruskan langkah menuju ke area laki-laki. Aku melihat punggung yang kokoh itu. Aku bersimpuh. Kami hanya terhalang kaca setebal 5 inci. Kuikuti setiap gerakannya. Tenang namun bertenaga. Tandi kini duduk bersimpuh. Dia akan segera mengakhiri shalatnya. Aku segera bangkit dan pergi.

Aku duduk di tangga teratas. Menantinya menuntaskan ibadahnya. Tak pelak lamunan menggiringku pada satu peristiwa.

Makan malam keluarga menjelang hari raya. Semua anggota keluargaku datang. Mas Anton dan istrinya juga bayi mereka yang menggemaskan. Mbak Aike dan suaminya, Mas Gary. Dia berkebangsaan Amerika, tapi sangat njawani, penginnya dipanggil Mas. Kemudian Mama, dan Papa, serta aku.

“Hei, Tania, pacarnya mana, kok nggak diundang,” goda Mas Anton.

“Apaan, sih.” Kutendang kaki Mas Anton sambil melotot padanya. Sudah punya buntut juga masih aja suka jahil.

“Tania belum ada pacar, iya kan?” Papa bertanya tapi tak mengharapkan jawaban.

“Iyalah, baru tingkat satu jangan dulu pacar-pacaran deh, nanti aja kalau udah lulus,” sambung Mama.

“Aduh, Mama, kasihan dong Tania. Yang naksir pasti udah pada antre,” bela Mas Gary.

Semua jadi tertawa mendengar guyonan Mas Gary. Tak ada yang tahu kalau aku jadi susah menelan makanan di kerongkongan, dan nyaris tersedak kalau tidak buru-buru kudorong dengan setengah gelas air.

“Ingat ya, Tan, kalau nanti punya pacar jangan mau dulu diajak ke rumahnya, kalau cowokmu itu belum resmi dikenalkan pada Mama dan Papa.” Mbak Aike ikut-ikutan usil.

“Aih, Aike, masih ingat pesan Mama ya. Benar itu, Tania. Nggak bagus kalau belum apa-apa sudah main-main ke rumahnya, kalau nggak jadi (menikah maksud Mama) nanti kamu malu sama keluarganya,” timpal Mama.

“Ah, Mama kuno… anak-anak sekarang mana mau begitu,” balas Mas Anton.

Aku hanya bisa tertunduk. Beberapa kali Tandi mengajakku ke tempat tinggalnya. Dia, tinggal di asrama mahasiswa Aceh. Tapi aku selalu menolaknya. Padahal dia janji, kalau aku datang ke asramanya, dia akan membuatkanku kopi yang keren. Dia selalu bilang kopinya kopi keren.

Aku tak ingin mengecewakan Mama. Walau aku sangat ingin mengunjungi tempat tinggal Tandi, tapi… itu artinya aku harus mengenalkan Tandi pada orang tuaku sebagai calon suamiku. Dan itu tak mungkin terjadi.

“Aduh, ngelamun lagi…”

Suara Tandi memecah ketidaksadaranku pada sekeliling. Aku menoleh. Rambut ikalnya masih setengah basah. Titik-titik embun menggelantung di lentik bulu matanya. Wajahnya segar. Pemandangan yang menyenangkan. Setiap kali melihatnya sehabis shalat, hatiku turut menjadi tenang.

Tandi sudah menyelesaikan ikatan terakhir di sepatu kedsnya. Dia berdiri.

“Yuk,” katanya sambil meminta tanganku. Kupasrahkan tanganku pada helaannya. Kami beriringan menuruni tangga masjid dan berjalan menuju kantin di sebelah selatan masjid.

***

Aku harus pulang

Sebaris kalimat pendek yang muncul di layar telepon selulerku, cukup membuatku bergegas meraih kunci mobil dan kemudian terbang menuju asramanya di tengah gerimis malam kota Bandung. Melupakan pesan Mama. Melupakan janji pada diri sendiri untuk tidak mengecewakan Mama. Firasatku berkata, ini kesempatan terakhirku bertemu Tandi. Jadi, aku harus pergi.

Dia membuka pintu asrama tanpa wajah terkejut. Sepertinya dia menanti kedatanganku. Beberapa orang penghuni asrama lain yang sedang berkumpul di ruang televisi, seakan-akan mengerti keadaan kami. Serempak mereka meninggalkan ruangan, masuk ke kamar masing-masing.

Kami duduk berhadapan di meja makan. Tandi menatapku dalam, dengan mata berbayang kelam. Jantungku berdebar. Menanti apa yang akan terjadi pada kami.

“Aku akan menepati janjiku,” katanya. Dia bangkit menuju kamarnya.

Ketika datang lagi, di tangannya Tandi membawa kantung kecil dari bahan karung goni. Dari dalamnya, dia mengeluarkan kaleng berwarna tembaga.

Tandi menjerang air. Sambil menunggu air mendidih, dia menyiapkan gelas mungil dan menaruh kertas penyaring di atasnya. Kemudian menaruh seujung sendok bubuk kopi dari dalam kaleng. Harum kopi mengisi udara.

Tak lama kemudian air pun mendidih. Dengan takzim, Tandi menuang air mendidih di atas gelas. Perlahan dan penuh perhitungan. Mengapa aku merasa aura kesedihan sedang mengurung kami berdua.

Tandi menyodorkan gelas kecil itu ke hadapanku. Aroma kopi yang khas menyergap hidungku. Aroma yang tak pernah kudapatkan di kafe kopi dengan brand asing favoritku.

“Cobalah…,” ujarnya.

Aku membawa gelas itu mendekati hidung. Kuhirup aroma kopi yang menguar itu dalam-dalam sembari kupejamkan mata. Nyaman.

Kubuka mata dan kupandangi si pembuatnya. Dia tersenyum. Tapi bukan senyum ceria seperti biasanya. Mengapa seperti kulihat ada luka di balik senyumnya. Aku disergap rasa takut.

“Minumlah…”

Aku tak ingin membantah perintahnya. Kutiup pelan cairan hitam itu untuk meredakan panas. Kemudian menyesapnya dari pinggiran gelas pelan-pelan. Rasa yang tak kukenali menyerbu syaraf-syaraf perasa di lidah.

Tidak ada rasa pahit. Aku heran, tidak seperti kopi-kopi yang pernah kuminum. Kopi ini tidak meninggalkan rasa pahit di lidah, ada rasa gurih yang samar, dan harumnya yang membuat nyaman. Aku terpesona.

“Aku tahu kamu bakal suka.” Tandi menghela napas.

“Kamu akan pulang gara-gara kopi ini?” tanyaku.

“Kamu seperti paranormal. Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Kegelisahanmu seminggu terakhir ini.”

Tandi menunduk. Tangannya memutar-mutar kaleng kopi.

“Kebun kopi kami… kami tak ingin kehilangan kebun kopi kami. Kebun kopi itu milik rakyat.” Tandi tengadah. Matanya berkilat. Aku mengira, dia sedang menahan air mata yang akan jatuh.

Kupeluk cangkir mungil itu dengan dua telapak tangan. Tak tahu harus bicara apa.

Kemudian dari bibirnya keluar runtutan cerita tentang kebun kopi di tanah kelahirannya. Kebun kopi warisan zaman penjajahan itu, yang dipelihara dengan tenaga, darah, dan air mata, sampai  menghasilkan biji-biji kopi berkualitas tinggi yang terkenal sampai ke mancanegara. Sekarang kebun kopi rakyat itu akan diambil alih oleh pemerintah daerah. Mereka berencana bekerjasama dengan pihak asing, dan akan melabeli biji-biji kopi itu dengan merek asing. Jika tidak menurut, petani-petani kopi itu akan dikenai pajak lahan yang tinggi. 

“Bodoh!” kepalan tangan Tandi menghantam meja.

Aku bisa merasakan kekecewaan dan kemarahannya. Identitas sebuah bangsa sedang dipertaruhkan. Aku sangat tahu bagaimana cintanya Tandi pada tanah kelahirannya, termasuk kopi-kopinya itu.

“Para petani mengancam akan membakar seluruh area perkebunan kopi kami. Itu tak boleh terjadi. Gila!” Tandi tertawa, namun terdengar getir di telingaku.

Terjawab sudah pertanyaan-pertanyaan yang kutahan selama seminggu kemarin, karena sikap Tandi yang tak seperti biasanya. Berawal dari sebuah panggilan telepon di awal minggu, ketika kami tengah makan siang di warung nasi dekat kampus. Percakapan yang tak kumengerti karena Tandi berbicara dalam bahasa daerahnya. Namun dari rahang mengeras dan wajahnya yang tegang, aku tahu sesuatu yang tak menyenangkan sedang mengganggunya. Selera makan kami pun menguap.

Kemudian suatu sore Tandi membawaku ke kawasan bukit di daerah Dago atas. Di tepian tebing, saat warna langit sudah mulai kemerahan, Tandi meniup bangsi. Melagukan kegelisahan dan kerinduan pada tanah kelahirannya.

“Pulanglah….”

“Aku mungkin tak akan kembali.”

Aku tak bisa lagi berkata-kata. Mataku mulai perih. Kuteguk habis cairan hitam yang mulai dingin. Aku gemetar. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.

“Aku pulang.”

“Tunggu. Kuantar ya, ini sudah lewat tengah malam.”

Aku tak menolaknya. Tandi bergegas mengambil jaket.

Sepanjang jalan kami tak berbicara. Tandi tampak tenang mengemudikan mobilku. Aku gelisah di sampingnya. Sesekali Tandi menoleh. Seolah-olah ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja. Mana mungkin aku baik-baik saja. Aku akan kehilangan orang yang kusayangi. Tak perlu meraung-raung untuk menunjukkan kehancuranku, bukan?

Di depan pagar rumahku kami berdiri berhadapan dengan canggung. Ketika akhirnya Tandi meraih tubuhku ke dalam pelukannya, tangis tak bisa kupendam lagi. Tapi tak lama. Aku harus tabah. Aku sudah tahu bahwa suatu saat perpisahan akan terjadi, namun sekarang ini rasanya terlalu cepat.
“Maafkan aku, Tania. Aku tak bisa bersamamu lebih lama lagi,” bisiknya.

“Maafkan aku juga Tandi, aku tak akan pernah bisa mengajakmu melangkahi pintu pagar ini,” ujarku dalam hati.

“Baik-baik ya, Tania. Kutinggalkan ini bersamamu.” Tangannya menyusupkan kantung kecil berbahan goni ke genggamanku.

Aku memandangnya dengan mata basah. Tak sanggup lagi berkata-kata. Tandi memintaku masuk. Tapi aku ingin melihatnya pergi, untuk terakhir kalinya. Akhirnya dia membiarkanku melepasnya sampai bayangannya hilang ditelan gelap dini hari.

***

Aku menatap layar iPad yang tergeletak di meja di depanku, berdampingan dengan gelas kecil mungil berisi cairan hitam. Aku sesap cairan hitam dengan mata tak beralih dari layar iPad. Lidahku sudah akrab dengan rasa ini. Tak ada rasa pahit yang tertinggal, hanya ada rasa gurih yang samar, seiring aroma harum yang membuat nyaman.

Aku sedang rindu padanya. Setiap kali kumerasa rindu, aku menyeduh kopi keren kecintaannya. Kopi yang akan dibelanya sampai mati. Identitas dirinya sebagai anak tanah Gayo.

Di layar iPad itu, aku melihatnya. Sebuah blog yang dibuatnya seiring perjuangannya dulu. Perjuangan yang membawanya pada kesuksesan. Dukungan datang dari pecinta kopi dari berbagai penjuru dunia. Donasi mengalir tak henti untuk yayasan yang didirikannya. Perkebunan kopi rakyat itu selamat. Aliran kopi yang sudah bercampur dengan darah tak akan bisa digantikan dengan sekian dolar per meter persegi.

Suatu hari, Tandi berdiri di hadapanku. Memintaku kembali. Aku melihat Tandi sudah tenang. Hidupnya sudah kembali mudah. Jika aku memasuki kehidupannya, akan ada beban baru untuknya. Aku tak ingin melihat hidup lelaki kecintaanku menjadi susah. Aku memilih berkata tidak.

Tak ada yang perlu diperjuangkan. Karena aku tak ingin Tandi berjuang untuk kedua kalinya. Kami tak mungkin bersatu jika aku tak ingin. Aku tak ingin karena aku belum rela mengkhianati keyakinan dan keluargaku.

Kami sudah selesai. Aku tetap merindukannya sesekali. Biar saja seperti itu. Aku menyesap kenangan lewat rasa yang ditinggalkanya. Lewat aroma bubuk kopi dalam kaleng berwarna tembaga bersarung kain goni yang ditinggalkannya dulu, yang tak lagi kuseduh karena aku tak ingin menghabiskan rinduku.


Aku tersenyum menatap senyumnya. Tandi, seorang perempuan berkerudung dan dua anak lelaki, berdiri di depan pohon kopi dengan buah cherry-nya yang lebat. Kuusap lembut bandulan kalungku. Bandul mungil berbentuk simbol keyakinanku, terbuat dari emas yang ditutupi batu-batu hitam sepanjang permukaannya. Hadiah dari Tandi.

***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

12 Comments

  1. Teteeeh ini sub konfliknya banyak ya.
    Ah aku sedih sama ending-nya :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. dua hungkul ah, hihi... kenapa ya saya kok kepikiranna teh beda keyakinan aja, ini yang kedua kalinya tema ini saya tulis :D

      Hapus
  2. Konfliknya beda keyakinan yah mbak? dan si perempuan memilih tidak menerimanya? Ih ciamik syekali... btw, salam kenal yah mbak. ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. hai Vinny, salam kenal kembali. Iya kesitu, dari awal sebetulnya kan udah ada clue-cluenya, terima kasih ya udah baca :D

      Hapus
  3. jangan marain banci karena kopi :"(

    BalasHapus
    Balasan
    1. eheheehe, iya gatau deh asalnya siapa yang bikin istilah kopi banci, makanya kutulis aja karena aku gak suka juga sih istilah itu :)

      Hapus
  4. aku juga suka kopi banci lo hihihi

    keren mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku juga sih hehehe... makasih udah mampir Mbak Avy

      Hapus
  5. Salam kenal mak... suka deh ama alur cerita nya... semoga beruntung yaaa ����

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal juga Dian, aamiin... makasih

      Hapus
  6. Huaaaa... keren. Aku baper bacanya. Teringat kisah-kisah lama. Huhuhuhu... Gudlak, Teh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. pangalaman paramitra? hahaha... familiar gak sama setting tempatnyah... kampus Nia etaaa

      Hapus