Kupandangi
lautan berwarna cokelat itu. Cairannya amat kental. Kalau saja rasanya manis,
tentu anakku akan sangat senang berkubang di sana. Tapi yang ini, kerbau pun akan tenggelam jika
nekat berkubang di situ.
Rumah-rumah
hanya tinggal separuh badan saja yang terlihat.
Tak ada satu pun yang berpenghuni.
Jika malam datang, kampung menjadi sepi seperti kuburan. Tak ada lagi
tawa ceria anakku dan kawan-kawannya bermain di bawah purnama, tak ada lagi ramai
celoteh perempuan-perempuan yang duduk mencangkung di beranda, tak ada lagi lelaki-lelaki
yang bergerombol-gerombol membincangkan berita, atau berdua-dua menghadapi
sekotak papan catur mencoba melepaskan penat dunia.
Kini
tak ada lagi dan tak akan ada lagi pemandangan serupa itu. Suara-suara tawa dan rasa gembira terbenam
dalam lautan berwarna coklat. Pahit.
Pandangan
mataku buram. Hatiku dipenuhi
dendam.
* * *
“Bu…Bu!
Ayo cepat Bu… kita harus mengungsi!”
Aku
menarik tangan istriku, istriku membetot tangan anakku. Kami berjalan cepat-cepat. Kulihat wajah istriku sangat cemas. Si Tole, anakku tenang-tenang saja, belum mengerti
apa yang sedang terjadi.
Tangan
dan kaki anakku belepotan cairan kental berwarna cokelat. Tadi dia dan kawan-kawannya sedang asyik
bermain. Sudah beberapa hari ini cairan
cokelat itu memenuhi parit-parit di sekitar rumah kami, bahkan sekarang sudah mulai
masuk ke halaman. Entah darimana
datangnya. Kanak-kanak seperti dia tak
perlu berpikir kenapa, yang penting ada permainan baru yang mengasyikkan.
“Mas…
kita mau kemana?”
“Ke
tempat penampungan saja, yang penting kita aman dulu.”
Maghrib
sudah menjelang ketika kami sampai di tempat penampungan, pasar setengah jadi
yang tak jadi ditempati karena mahalnya harga kios di sana. Sudah banyak orang. Rupanya mereka sudah beberapa hari lebih dulu
menginap. Suasananya ramai sekali. Hiruk-pikuk.
Aku jadi pusing.
Lewat
waktu isya kami baru dapat bagian barak.
Istri dan anakku segera leyeh-leyeh
di atas selembar tikar tipis yang sempat kubawa dari rumah. Panas udara mengundang ribuan nyamuk untuk datang
berpesta pora. Mata anakku
terpejam-pejam menikmati desiran angin halus dari sepotong kardus tipis. Sayup-sayup kudengar keluarga di barak sebelah
mengobrol.
“Bune,
lumpur itu sudah masuk ke rumah kita.”
Terdengar
helaan napas. Berat dan sarat dengan sedih.
“Terus
kita piye pakne.”
“Aku
juga ndak tahu…”
Aku
beradu tatap dengan istriku, kemudian pandangan kami tertuju pada si Tole anak
kami yang kini tertidur.
Matahari
pagi yang menerobos kisi-kisi kayu membangunkanku. Istriku tak ada. Anakku sedang membongkar buntalan yang kubawa
semalam. Isinya tumpah ruah. Baju-baju dan surat-surat berhamburan tak
karuan di tengah-tengah barak Sepertinya
dia tak menemukan yang dicarinya. Sebentar
kemudian dia menangis.
“Kenapa
menangis, Le?”
“Mmmainaanku
ndak adddaa…”
Dia
terisak dengan airmata dan ingus yang saling berlomba keluar dari
lubang-lubangnya.
Aku
menghela napas. Membelai kepalanya
dengan penuh kasih sayang.
“Maafkan
bapakmu ya, Le… bapak ndak sempat
membawa mainanmu.”
Aku
beringsut ke depan kios. Duduk
mencangkung, bersender ke dinding papan. Anakku tak mau diam, dia terus saja
menangis.
Terbayang
di mataku mainan itu. Satu-satunya
mainan sungguhan yang dia punya. Mainan
yang baru kubelikan semalam sebelum mengungsi.
Betapa
dia segera lupa pada mobil-mobilan kardusnya begitu kusodorkan mainan itu. Bahkan ketika dia tertidur, dia masih memeluk
mainan itu, sementara di sekitarnya berserak mobil-mobilan kardusnya, kapal
kulit jeruk bali, pistol kayu dan beraneka bentuk lipatan dari kertas koran.
Selama
enam hari aku dan anak-istriku menginap di tempat penampungan. Kami tak bisa
pulang. Kabarnya aliran cokelat itu
semakin deras merendam rumah kami, bahkan di daerah lain rumah-rumah sudah
hampir tenggelam. Sementara di sini pun
kami tak mendapat bantuan yang layak.
Kami
mulai kekurangan air bersih. Kesehatan
kami terancam. Tenaga kesehatan tak
sebanding dengan jumlah pengungsi yang terus bertambah.
Aku
mulai resah. Pergi bekerja tak lagi
tenang. Sudah dua malam anakku demam.
Badannya panas tapi keringat dingin terus saja membanjir. Mulutnya tak henti-henti merintih. Dia menginginkan
mainannya.
“Pak…
ambilkan mainanku Pak…”
“Ndak bisa Le… rumah kita terendam
lumpur.”
“Mainanku
Pak… nanti aku tak punya lagi.”
Ngilu
hatiku melihatnya seperti itu. Pagi ini
pun badannya terus saja menggigil, mulutnya tidak berhenti meracau. Sebutir pil
dari petugas kesehatan tak memberikan reaksi apa-apa.
Istriku
tak henti-henti menangis. Aku tak tahan
lagi!
Aku
bangkit. Kulangkahkan kakiku menjauh dari barak. Tak kuhiraukan suara istriku
yang memanggil-manggil.
* * *
Maka
disinilah aku, berdiri di bukit ini memandangi lukisan buram tentang rumahku
dan suasana purnama yang mati. Perih
hati semakin tajam.
Segala
yang kumiliki tenggelam dalam lautan cokelat sialan. Terampas tak meninggalkan
sisa termasuk sebuah rasa. Terduduk aku
karena sakit yang tiba-tiba saja menohok ulu hati.
Seminggu
yang lalu…
“Selamat Pak, hari ini rumah Bapak sudah
lunas.”
Lidahku
kelu. Terbata kuucapkan terima kasih. Bertahun-tahun sudah perjuanganku
mendapatkan rumah itu, kini terbayar dengan surat-surat yang ada dalam map
berwarna merah di genggamanku. Kubayangkan seri wajah istriku.
Dalam
perjalanan pulang kulihat mainan itu di etalase sebuah toko. Mainan berbentuk robot dengan pedang dan
tameng di tangan kiri dan kanannya. Gagah sekali. Tole pasti suka. Setelah
bertahun-tahun, aku baru saja mampu membelikan mainan untuk anakku. Mainan
sungguhan. Rasanya sangat luar
biasa. Aku yakin anakku Tole akan merasakan
rasa yang sama.
Namun
rasa yang luar biasa itu tak bisa kunikmati lama-lama. Baru semalam wajah-wajah
terkasih itu berseri, esoknya kami sudah harus mengungsi.
Terbayang
lagi Tole anakku, terbaring lemah dengan badan menggigil tergolek di tikar
tipis, memanggil-manggil mainannya.
Anakku… kuhabiskan satu dekade untuk menunggumu.
“Pak…
ambil mainanku… nanti aku tak punya lagi.”
Rintihan
Tole mengiris gendang telingaku. Tidak! Anakku tak boleh kehilangan rasa itu. Aku bangkit dengan pandangan nanar.
Kupaksa
kakiku melangkah kedalam kolam cokelat itu.
Kuarungi lautan cokelat itu demi anakku.
Akan kutemukan mainan robotnya dan akan kubawa dia padanya. Agar anakku dapat tidur dengan tenang sambil
memeluk robotnya seperti seminggu yang lalu.
Lautan
cokelat itu memelukku rapat. Langkah
kaki terasa semakin berat.
Terengah-engah aku berjuang ditengah kepungan aliran cokelat pahit,
semakin lama kakiku melemah dan paru-paruku serasa terjepit. Ketika semuanya
hampir saja menyeretku dalam pusaran hitam yang tak berujung, kudengar ada
suara yang berseru-seru dan tangan-tangan yang menggapaiku.
“Man!
Giman! Sadar tho!
Plak!
pipiku ditampar. Kubuka mataku perlahan karena silau.
“Kowe arep opo? Arep modar?!
Kang
Pardi tetanggaku menghardik. Aku diam.
“Eling Man! Ojo mikir sing aneh-aneh. Pikiri
si Tole.”
Badanku
lunglai. Tiba-tiba saja aku ingin tertawa karena hidup terasa sedang
mencandaiku. Airmataku berderai-derai
entah oleh tawa, entah oleh tangis.
* * *
Kupandangi
lautan berwarna coklat itu. Dulu, aku
suka sekali bermain lumpur. Aku suka lumpur di musim hujan. Aku berbecek-becek,
berciprat-cipratan dan main luncuran dengan kawan-kawan.
Tapi
aku tak suka lumpur yang ini. Lumpur yang ini membunuh rasa…
2 Comments
Puk puk, sabar yo, Le.
BalasHapusOhohoh.
BalasHapus