“Mak…kampanye iku opo artine, Mak?”
“Mbuh…”
“Duit miliar iku wakeh tah, Mak?”
Kembali celoteh bening itu terdengar lagi, namun suara parau yang
sarat kantuk milik seorang perempuan tua memangkas tanya yang terlontar dari
mulut kecil bocah lelaki.
“Mbuh... wis ,
turu… bengi-bengi omong-omongane ngaco bae sira”
Si bocah lelaki beringsut sedikit, mencari ruang untuk sekedar bisa
membalikkan badan. Di sebelahnya tubuh
kering perempuan yang sudah melahirkannya tampak mulai mengendur. Dada tipisnya turun naik seiring tarikan napas-napas
yang tersisa dari kerja kerasnya seharian.
***
![]() |
foto: storimages.wordpress.com |
Kaki-kaki kurusnya setengah berlari, bersaing dengan desir angin sore di
kampung sampah. Tujuannya adalah
pinggiran kali. Di sana ia biasa bertemu
Mas Tok. Entah siapa lelaki itu, tapi
darinyalah Oteng banyak belajar. Tentang
hidup dan kehidupan.
Mas Tok duduk di bawah pohon flamboyan yang sedang berguguran. Di pangkuannya tergeletak buku sketsa. Tangannya sibuk menari-narikan pensil di atas selembar
kertas putih.
Oteng yang sudah hapal kebiasaan Mas tok diam saja. Tak berani mengganggu. Tiba-tiba Mas Tok menghempaskan buku
sketsanya begitu saja.
“Ada apa, Teng ?”
Sekilas Oteng melirik gambar di buku itu, sketsa seorang bapak berpeci dan
berbaju safari sedang membuang hajat ditepian kali, tapi kotorannya berupa
lembaran-lembaran uang seratus ribuan.
“Duit miliar iku wakeh ya, Mas
?”
“Kenapa kamu nanyain itu ?”
“Oteng denger orang-orang rame ngomongin”
jawabnya lugu.
“Ya wakeh Teng… banyak sekali…
banyak sekali…”
Suara Mas Tok seperti menguap ke udara.
Tatapannya jauh menerawang, entah apa yang dipandanginya. Tangannya sibuk mematah-matahkan ranting-ranting
kurus pohon flamboyan yang jatuh dihempas angin, pelampiasan rasa geram dalam
hatinya.
Tiba-tiba Mas Tok menoleh dan menjawil pundak Oteng sambil berkata,
“Lihat disana, Teng, truk sampah yang besar itu…”
Oteng menoleh kearah yang ditunjuk Mas Tok. Dilihatnya truk sampah sedang
menunggingkan bak dan ribuan kubik sampah tertuang ke lapisan sampah lama.
“Kamu bayangkan, Teng, kalau uang seribuan kamu ditaruh di bak itu… bakal
ada puluhan bahkan ratusan bak untuk menampung duit miliar kamu itu…”
Oteng terperangah. Wakeh temen… batinnya.
“Kampanye iku opo artine, Mas ?”
“Hhmm…itu cara orang-orang berduit supaya bisa jadi pemimpin” jawab Mas
Tok dengan suara malas.
“Bagi-bagi kaos, stiker, pidato-pidato di lapangan, ada juga, Teng, yang
bagi-bagi duit di amplop…” lanjut Mas Tok.
“Supaya mereka kepilih ya, Mas…”
“Ya iya lah.. Teng… mereka berebut pengen jadi pemimpin, jadi pemimpin
itu enak…”
Mas Tok tertawa, namun terdengar sumbang di telinga Oteng. Kemudian Mas Tok membereskan buku sketsanya
kedalam ransel. Setengah melompat dia
bangkit dari duduknya.
“Sudah mau maghrib, Teng. Mas Tok
pulang dulu ya…”
Kaki yang terbalut celana jean lusuh itu menjauh dari tempat Oteng
berdiri.
Tinggal Oteng termangu sendiri memandangi bola jingga yang perlahan-lahan
bergulir turun dibalik tingginya gedung-gedung.
Langkah gontainya meninggalkan pinggiran kali yang sebentar lagi bakal ramai
oleh tawa genit canda cewek-cewek berpupur tebal dan bergincu merah mencorong.
***
Malam ini terasa panas. Rupanya angin
malam sedang enggan meniupkan nafasnya. Udara
seakan mengepung, Oteng merasa sesak. Dengan
bertelanjang dada, Oteng berjongkok didepan gubuk segi empat yang disebutnya
rumah.
Oteng tenggelam dalam lamunan. Bayangan duit seribuan yang tertumpah ruah
dari bak truk pengangkut sampah itu kembali menari-nari di rongga matanya. Khayalnya mengatakan duit miliar itu akan
dipakainya untuk membeli mainan yang banyak dan bagus-bagus, makan-makan di
restoran, atau nonton bioskop sepuas-puasnya.
Tapi, kata Mas Tok lebih baik duit itu digunakan untuk membangun
sekolah-sekolah gratis sampai perguruan tinggi atau rumah-rumah sakit gratis untuk
orang-orang miskin, atau beli berkarung-karung beras dan bagikan pada
orang-orang yang kelaparan, atau bayar hutang negara. Yang terakhir ini Oteng tak mengerti apa
maksudnya.
***
Baru kali ini dia melihat acara kampanye.
Ramai, lebih ramai dari korsel
keliling yang sesekali datang di lapangan itu.
Panggungnya besar sekali, dilihatnya ada alat-alat orkes. Waahh…
pasti ada dangdutan nih, ucapnya dalam hati. Bendera-bendera dan umbul-umbul berkibaran
dimana-mana. Pedagang-pedagang juga
ramai menjajakan dagangannya.
Banyak sekali orang yang berkumpul, mungkin ribuan jumlahnya. Warga
kampung sampah dan kampung-kampung tetangganya kalau disatukan tak akan
sebanyak ini. Lalu Oteng melihat ada
truk-truk besar mengangkut manusia-manusia yang diturunkan di lapangan itu,
entah darimana asalnya.
Tak lama kemudian acara dimulai.
Ditengah teriknya bola api yang
membakar udara, seorang lelaki berpidato penuh semangat, buih-buih liurnya
bercipratan mengumpul dicorong mikrofon.
Tangannya diacung-acungkan ke udara.
Ribuan massa yang berkumpul di depan panggung besar itu bersorak sorai
dengan gegap gempita menyambut setiap teriakan lelaki itu. Oteng merasa bosan. Dia tidak mengerti apa yang diomongkan lelaki
itu.
Kemudian pentas pidato usai, digantikan oleh pentas hiburan. Mungkin sebenarnya inilah yang
ditunggu-tunggu oleh orang-orang itu. Mereka
yang tadi bersemangat menyambut pidato-pidato, kini semakin menggila larut
dalam irama gendang dangdut yang bertalu-talu, serta lengkingan suling yang
mengilik-ngilik kuping menjadi geli.
Belum lagi para penyanyinya, dandanan seronok dan suara penuh goda. Suasana yang terik semakin panas oleh
goyangan maut yang meliuk-liuk. Oteng
merasa perutnya mual.
Acara kampanye itu sangat meriah.
Pesta yang sangat pora. Sesudah
pentas hiburan, panitia membagi-bagikan kaos.
Oteng melihat orang-orang berbadan kekar membagi-bagikan amplop dibalik
truk-truk yang membawa rombongan orang-orang itu. Duit miliar…
Ketika matahari sore mulai merayap turun, lapangan itu kembali lengang. Panggung besar itu masih berdiri tegar
ditemani kesenyapan. Angin sesekali
menerbangkan sampah-sampah yang bertebaran di lapangan kosong itu. Ganti sekarang para pemulung yang berpesta
pora, memunguti sampah kertas-kertas leaflet
dan botol-botol plastik bekas air mineral.
Mereka juga menemukan beberapa botol kaca bekas minuman keras. Benar-benar sebuah pesta.
Oteng melihat Mas Tok. “Mas… “
“Kamu sudah lihat sendiri kan
Teng…”
“Itulah kampanye Teng… busuk…”
“Setelah mereka puas berpesta pora, menghambur-hamburkan uangnya… lalu
apa?”
Oteng bengong. Mas Tok beranjak pergi.
Oteng termangu. Dalam benaknya duit-duit miliar itu berhamburan tak tentu
arah. Habis untuk membiayai pesta-pesta
seperti yang barusan dilihatnya.
Bayangan orang-orang yang bersorak-sorai sambil meloncat-loncat dan mengacung-ngacungkan
tangannya, dilihatnya tangan-tangan teracung itu menggenggam lembaran-lembaran
rupiah. Gerak lambat yang memuakkan itu
terus menari-nari didalam benak mungilnya.
Oteng membalikkan badannya dan berjalan gontai menuju matahari terbenam. Di bahunya tersampir selembar kaos tipis
bergambar calon pemimpin. Kepalanya tertunduk, menandakan kekecewaan hatinya.
***
Malam telah menyelubungkan selimutnya yang paling hitam. Bulan tak berani menampakkan diri, begitu
juga dengan para bintang. Gelegar guruh terdengar jauh. Oteng berjongkok didepan gubuk yang dia sebut
rumah. Pandangannya kuyu, kerlip
kunang-kunang disemak-semak tak lagi bisa memberi warna pada kelabu hatinya.
Ditatapnya selembar kaos berbahan tipis ditangannya, warna oranyenya
sudah pudar. Diremasnya kaos yang sedang
dipakainya, warna putihnya pun sudah menjadi keruh. Gambar-gambar foto para calon pemimpin dibagian
depan kaos-kaos itu pun turut memudar. Seiring
pudarnya gaung penuh semangat janji-janji yang mereka teriakan diatas
panggung-panggung besar kampanye.
Duit miliar… pesta pora… namum kini semuanya menjadi senyap. Tak ada
sekolah gratis untuk dirinya, tak ada rumah-rumah sederhana untuk emak dan
tetangga-tetangganya yang miskin. Tak ada rumah sakit gratis. Benar kata Mas Tok, setelah mereka berpesta
pora… lalu apa? Tak ada yang tersisa
untuk rakyat miskin seperti mereka.
Ah, siapa bilang. Masih ada yang tersisa, empat lembar kaos yang sudah
pudar warnanya. Ya itulah yang tersisa
untuk rakyat miskin seperti dirinya… empat lembar kaos. Lumayan untuk menambah koleksi baju-baju
lusuhnya. Tiba-tiba ia ingin tertawa.
Oteng terkekeh-kekeh tertawa… kemudian kekehan tawanya perlahan berubah
menjadi isakan… kapankah kemiskinan ini akan terenggut dari hidupnya. Di manakah pemimpin yang terpilih itu… sedang
apakah dia?
Mbuh…
- dimuat di Radar Banten (tahun lupa)
![]() |
foto: www.assajidin.com |
0 Comments