MENANTI IBU

iuemag.com

Kabar itu datang bagaikan siraman hujan di gurun tandus.  Bagaikan bunga-bunga yang ditaburkan dari langit.  Seorang ibu akan datang ke rumah kami!

Bertahun-tahun sudah kami dibesarkan di rumah ini, rumah yang sederhana namun sarat dengan cinta.  Tanpa seorang ibu, hanya kakak-kakak pengasuh yang penuh senyum.  Sekarang, seorang ibu akan datang ke rumah kami.  Betapa bahagianya.
Kami sangat bangga karena akan memiliki seorang ibu, sama seperti anak-anak tetangga, teman bermain kami, yang beribu bahkan berbapak lengkap.  Mendapatkan ibu saja sudah membuat hati kami senang.  Tak apa lah jika kami tak bisa mendapatkan seorang bapak sekaligus. Kedatangan seorang ibu sangatlah penting, maka kakak-kakak pengasuh mengundang orang-orang kampung untuk berkenalan dengan Ibu.


Hari yang dinantikan pun tiba.  Seisi rumah sibuk bersiap-siap.  Kakak-kakak pengasuh sibuk bekerja dan sesekali memberi komando pada anak-anak yang lebih kecil.  Kami semua ingin jika Ibu tiba nanti, beliau akan merasa nyaman dan betah tinggal bersama kami.

Aku memperhatikan seorang laki-laki yang tiba-tiba saja hadir di antara kami.  Penampilannya seperti pegawai desa yang sesekali datang berkunjung ke rumah kami, hanya saja pakaiannya kelihatan lebih rapi dan tentu saja dari bahan yang lebih mahal.  Ia berjalan mondar-mandir sambil tak henti-hentinya berbicara melalui alat yang aku tidak tahu namanya, entah dengan siapa.  Siapa orang itu?  Pertanyaan itu kusimpan saja dalam hati.

Kemudian laki-laki asing itu berbicara pada Teh Umi, kakak pengasuh kami yang paling senior.  Laki-laki itu berbicara dengan suara pelan.  Tampak Teh Umi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Salma, bisa bantu Teh Umi membersihkan pendopo kecil kita?” 
Aku mengangguk saja. Bergegas aku mengambil sapu dan ember berisi air dan lap untuk mengepel lantai.

Teh Umi bilang, Ibu perlu tempat untuk beristirahat sejenak sebelum bertemu dengan tamu-tamu yang lain.  Ibu datang dari tempat yang jauh dari kampung kami.  Aku pun maklum.

Pendopo kecil ini tempat bermain kami, anak-anak di rumah ini.  Termasuk belajar, menggambar, bernyanyi bersama, mendengarkan dongeng dari Teh Intan yang pandai bercerita dalam bahasa Inggris.  Pokoknya semua kegiatan kami lakukan di pendopo kecil ini. 

Sambil menyapu lantai pendopo, aku sesekali mencuri pandang pada laki-laki asing itu.  Rasa penasaran  selalu saja memancingku untuk memperhatikan tingkah-polahnya.  Kali ini ia mendekati Teh Irma.  Seperti tadi, ia tampak berbisik dan kepala Teh Irma kemudian mengangguk-angguk.

“Udi… Udi… tolong Teh Irma membersihkan kamar mandi yang di dalam ya.”

Suara Teh Irma terdengar gugup.  Udi pun bergegas menghampiri Teh Irma.  Keduanya kemudian menghilang ke dalam rumah.

Laki-laki asing itu kembali berjalan mondar-mandir.  Sepertinya sedang memeriksa suasana.  Langkahnya mendekati pendopo tempat aku sedang bersibuk ria.  Buru-buru aku meraih lap, dan mengepel lantai dengan penuh semangat.

Setelah puas dengan hasil kerjaku.  Aku duduk di lantai pendopo.  Mengaso.  Tanpa sengaja aku mendengar laki-laki asing itu berbicara pada seseorang melalui alat aneh itu lagi, entah pada siapa. 
“Iya… sudah disiapkan.  Tempatnya agak terbuka sih… tapi lumayan. Cuma nggak tahu nih, kamar mandinya….”

Suara laki-laki itu tinggal samar-samar saja dan terus menghilang ditelan lamunanku sendiri.  Di mataku bermain-main berbagai harapan tentang Ibu.
* * *
Ibu sudah datang. Ia cantik sekali.  Ramah dan banyak tertawa.  Tawanya enak sekali didengar.  Renyah dan tulus.  Tak segan-segan ia merangkul anak-anak yang berebutan ingin mencium tangannya.

Benar saja, Ibu ingin beristirahat dulu sebentar sebelum bertemu dengan tamu-tamu yang lain.  Kami berkumpul di pendopo kecil.  Tanpa canggung Ibu menggelesot begitu saja di lantai pendopo.  
Kemudian sambil berselonjor kaki, Ibu sibuk mendengarkan anak-anak yang riuh bercerita.  Diam-diam aku merasa senang, tak sia-sia kerja kerasku tadi mengepel lantai ini sampai mengkilat.

Ibu tampak senang dalam suasana seperti ini.  Tak henti-hentinya Ibu tertawa demi mendengar cerita kami.  Ibu pun tak segan menikmati kue-kue kampung buatan kami sendiri.  Ibu bahkan memuji kami dan bilang kalau kue-kue itu adalah kue-kue terlezat yang pernah dimakannya.  Tentu saja Ibu bohong, tapi hati kami terlanjur senang karena pujian Ibu.

Aku mendapat kesempatan menceritakan buku yang sedang aku baca pada Ibu.  Tentang gadis kecil di Jepang yang bersekolah di gerbong kereta api.  Aku bilang pada Ibu, kalau dia diperbolehkan oleh gurunya untuk menggambar apa saja di lantai aula sekolahnya yang luas. Bebas.  Aku ingin seperti gadis kecil itu. Dalam tawanya yang renyah Ibu berkata padaku dan seisi pendopo.

“Anak-anakku tersayang, Ibu akan membuat sebuah taman bermain yang sangat luas dan bagus untuk kalian.  Ibu senang sekali dengan cerita-cerita kalian.  Mengenal kalian yang begitu berbakat. Sangat disayangkan sekali jika Ibu menyia-nyiakan bakat yang dikaruniakan Tuhan pada kalian.  Ya, Ibu akan membangun taman bermain itu secepatnya.”

Ibu spontan dan tanggap.  Aku kagum pada Ibu karena Ibu sangat memperhatikan kebutuhan kami.
“Kita bisa bernyanyi disana, Bu?”
Celetuk sebuah suara.
“Kita bisa main drama, Bu?”
Sebuah suara yang lain menyahut.  Dan suara-suara pun terus bersahut-sahutan. Lagi-lagi Ibu tertawa. 
“Ya… ya… tentu saja, di sana anak-anakku bisa bernyanyi, menari, bermain drama, bermain musik, melukis, apa saja… sepuas hati kalian.  Dan Ibu akan menambahkan tempat yang megah di mana anak-anakku dapat menikmati buku-buku berisi dongeng-dongeng yang indah.  Kalian harus menjadi anak-anak yang pintar.”


“Hore! Horeee! Horeee!”
Serentak kami bertepuk tangan dan bersorak. Aku tersenyum dan tak puas-puasnya memandangi wajah Ibu yang berseri-seri. Ibu semakin cantik di mataku.

Aku masih saja tersenyum-senyum, ketika suara-suara riuh itu sekarang menjadi nyata di telingaku.
“Ibu datang! Ibu datang!”

Hah? Aku tersentak. Kudapati pendopo mungil ini masih kosong.  Buru-buru kubereskan peralatan bersih-bersihku, dan kusiapkan diriku untuk menyambut Ibu.

Rombongan itu tiba di gerbang rumah kami yang sederhana, bertiang ranting kayu beratap rumpun ilalang.

Seorang perempuan cantik berdiri anggun.  Di sekelilingnya bergerombol orang-orang membentuk perisai bagi dirinya.  Entah melindungi ia dari apa.

“Ssstt… Salma itu Ibu,” bisik Teh Irma.  Aku tertegun.

Ibu lebih cantik dari yang aku bayangkan.  Seperti putri-putri dalam buku cerita yang sering dibacakan Teh Intan atau… seperti boneka ya.  Aku bingung untuk memutuskan.  Ibu tampak selalu tersenyum.  Tapi aku merasa aneh.

Ibu terus berjalan diiringi perisai-perisainya.  Dalam bayanganku, Ibu seperti Ratu Laut Selatan, yang berjalan diiringi dayang-dayangnya. Seperti dalam film horor zaman dulu, yang kutonton di rumah Ani tempo hari.  Anggun tapi tak terasa akrab.

Sekilas aku mendengar laki-laki asing yang sedari tadi mondar-mandir di rumah kami berbicara pada Teh Irma, kalau Ibu tidak jadi beristirahat di pendopo kami.  Ibu memutuskan  beristirahat di rumah temannya tadi, karena lebih nyaman bisik laki-laki itu.

Aku berusaha menelan rasa kecewaku.  Artinya Ibu tidak akan mengobrol bersama kami.  Ah, mungkin nanti…

Tapi kenyataannya aku harus menelan kekecewaanku lebih dalam lagi.  Ibu tidak menghampiri kami, anak-anak penghuni rumah dan juga anak-anak kampung.  Mengajak kami bernyanyi atau mengobrol apa saja.  Ibu tidak tertawa-tawa sambil bertepuk tangan ketika menyaksikan atraksi hiburan yang kami suguhkan. Ibu juga tidak meluapkan pujian ketika mengunyah kue-kue kampung buatan kami.  Bagaimana mungkin, Ibu bahkan sama sekali tidak menyentuh makanan yang telah susah payah kami sajikan.

Ibu melangkah menuju panggung.  Ia berdiri saja disana, berbicara entah pada siapa.  Bicaranya yang perlu-perlu saja.  Menyapa pun ala kadarnya. Mengenai taman bermain disinggungya sekilas diiringi sebaris janji.  Tapi entah mengapa aku tak mempercayai janjinya.  Acara menjadi seremoni resmi.  Aku tak suka suasana begini.

Seakan ingin membasuh rasa kecewa yang kurasakan, alam pun menurunkan hujan.  Serentak para perisai Ibu sibuk menyiapkan payung.  Ah… rupanya Ibu pun tidak senang bermain hujan.  Ibu tidak asyik.

Tak terasa air mata meleleh seiring hatiku yang lebur dihantam kecewa. 
Ibuku bukan pertiwi karena ia tak menjejak bumi. Ibuku tak bisa mencinta, karena ia pun terlihat tak nyata.  


: : dimuat di Radar Banten berabad-abad yang lalu : :

9 Comments

  1. Duh sudah dimuat berabad yg lalu ya... ga kebayang...usia penulisnya berapa ya..hihi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahah... awet muda berkat susuk keramat :D
      iya teh Ida ini "mainan" lama

      Hapus
  2. Wah, ada yang punya rumah baru nih. Diantos sukuranna ah... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. *kirim nasi kuning via transpotter... hihi

      Hapus
  3. Balasan
    1. teh Yayu mau saya follow blognya kok gak bisa ya, diklik-klik tak bereaksi :(

      Hapus