Kabar itu datang
bagaikan siraman hujan di gurun tandus.
Bagaikan bunga-bunga yang ditaburkan dari langit. Seorang ibu akan datang ke rumah kami!
Bertahun-tahun sudah
kami dibesarkan di rumah ini, rumah yang sederhana namun sarat dengan cinta. Tanpa seorang ibu, hanya kakak-kakak pengasuh
yang penuh senyum. Sekarang, seorang ibu
akan datang ke rumah kami. Betapa
bahagianya.
Kami sangat bangga
karena akan memiliki seorang ibu, sama seperti anak-anak tetangga, teman bermain
kami, yang beribu bahkan berbapak lengkap.
Mendapatkan ibu saja sudah membuat hati kami senang. Tak apa lah jika kami tak bisa mendapatkan
seorang bapak sekaligus. Kedatangan seorang ibu sangatlah penting, maka
kakak-kakak pengasuh mengundang orang-orang kampung untuk berkenalan dengan
Ibu.
Hari yang dinantikan
pun tiba. Seisi rumah sibuk
bersiap-siap. Kakak-kakak pengasuh sibuk
bekerja dan sesekali memberi komando pada anak-anak yang lebih kecil. Kami semua ingin jika Ibu tiba nanti, beliau
akan merasa nyaman dan betah tinggal bersama kami.
Aku memperhatikan
seorang laki-laki yang tiba-tiba saja hadir di antara kami. Penampilannya seperti pegawai desa yang
sesekali datang berkunjung ke rumah kami, hanya saja pakaiannya kelihatan lebih
rapi dan tentu saja dari bahan yang lebih mahal. Ia berjalan mondar-mandir sambil tak
henti-hentinya berbicara melalui alat yang aku tidak tahu namanya, entah dengan
siapa. Siapa orang itu? Pertanyaan itu kusimpan saja dalam hati.
Kemudian laki-laki
asing itu berbicara pada Teh Umi, kakak pengasuh kami yang paling senior. Laki-laki itu berbicara dengan suara
pelan. Tampak Teh Umi
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Salma, bisa bantu Teh
Umi membersihkan pendopo kecil kita?”
Aku mengangguk saja. Bergegas aku mengambil sapu dan ember berisi air dan lap untuk mengepel lantai.
Aku mengangguk saja. Bergegas aku mengambil sapu dan ember berisi air dan lap untuk mengepel lantai.
Teh Umi bilang, Ibu
perlu tempat untuk beristirahat sejenak sebelum bertemu dengan tamu-tamu yang
lain. Ibu datang dari tempat yang jauh
dari kampung kami. Aku pun maklum.
Pendopo kecil ini
tempat bermain kami, anak-anak di rumah ini.
Termasuk belajar, menggambar, bernyanyi bersama, mendengarkan dongeng
dari Teh Intan yang pandai bercerita dalam bahasa Inggris. Pokoknya semua kegiatan kami lakukan di
pendopo kecil ini.
Sambil menyapu lantai
pendopo, aku sesekali mencuri pandang pada laki-laki asing itu. Rasa penasaran selalu saja memancingku untuk memperhatikan
tingkah-polahnya. Kali ini ia mendekati
Teh Irma. Seperti tadi, ia tampak
berbisik dan kepala Teh Irma kemudian mengangguk-angguk.
“Udi… Udi… tolong Teh
Irma membersihkan kamar mandi yang di dalam ya.”
Suara Teh Irma
terdengar gugup. Udi pun bergegas
menghampiri Teh Irma. Keduanya kemudian
menghilang ke dalam rumah.
Laki-laki asing itu
kembali berjalan mondar-mandir. Sepertinya
sedang memeriksa suasana. Langkahnya
mendekati pendopo tempat aku sedang bersibuk ria. Buru-buru aku meraih lap, dan mengepel lantai
dengan penuh semangat.
Setelah puas dengan
hasil kerjaku. Aku duduk di lantai
pendopo. Mengaso. Tanpa sengaja aku mendengar laki-laki asing
itu berbicara pada seseorang melalui alat aneh itu lagi, entah pada siapa.
“Iya… sudah
disiapkan. Tempatnya agak terbuka sih…
tapi lumayan. Cuma nggak tahu nih, kamar mandinya….”
Suara laki-laki itu tinggal
samar-samar saja dan terus menghilang ditelan lamunanku sendiri. Di mataku bermain-main berbagai harapan
tentang Ibu.
* * *
Ibu sudah datang. Ia
cantik sekali. Ramah dan banyak
tertawa. Tawanya enak sekali
didengar. Renyah dan tulus. Tak segan-segan ia merangkul anak-anak yang
berebutan ingin mencium tangannya.
Benar saja, Ibu ingin
beristirahat dulu sebentar sebelum bertemu dengan tamu-tamu yang lain. Kami berkumpul di pendopo kecil. Tanpa canggung Ibu menggelesot begitu saja di
lantai pendopo.
Kemudian sambil berselonjor kaki, Ibu sibuk mendengarkan anak-anak yang riuh bercerita. Diam-diam aku merasa senang, tak sia-sia kerja kerasku tadi mengepel lantai ini sampai mengkilat.
Kemudian sambil berselonjor kaki, Ibu sibuk mendengarkan anak-anak yang riuh bercerita. Diam-diam aku merasa senang, tak sia-sia kerja kerasku tadi mengepel lantai ini sampai mengkilat.
Ibu tampak senang dalam
suasana seperti ini. Tak henti-hentinya
Ibu tertawa demi mendengar cerita kami.
Ibu pun tak segan menikmati kue-kue kampung buatan kami sendiri. Ibu bahkan memuji kami dan bilang kalau
kue-kue itu adalah kue-kue terlezat yang pernah dimakannya. Tentu saja Ibu bohong, tapi hati kami
terlanjur senang karena pujian Ibu.
Aku mendapat kesempatan
menceritakan buku yang sedang aku baca pada Ibu. Tentang gadis kecil di Jepang yang bersekolah
di gerbong kereta api. Aku bilang pada
Ibu, kalau dia diperbolehkan oleh gurunya untuk menggambar apa saja di lantai
aula sekolahnya yang luas. Bebas. Aku
ingin seperti gadis kecil itu. Dalam tawanya yang
renyah Ibu berkata padaku dan seisi pendopo.
“Anak-anakku tersayang,
Ibu akan membuat sebuah taman bermain yang sangat luas dan bagus untuk
kalian. Ibu senang sekali dengan
cerita-cerita kalian. Mengenal kalian yang
begitu berbakat. Sangat disayangkan sekali jika Ibu menyia-nyiakan bakat yang
dikaruniakan Tuhan pada kalian. Ya, Ibu
akan membangun taman bermain itu secepatnya.”
Ibu spontan dan tanggap. Aku kagum pada Ibu karena Ibu sangat
memperhatikan kebutuhan kami.
“Kita bisa bernyanyi
disana, Bu?”
Celetuk sebuah suara.
“Kita bisa main drama,
Bu?”
Sebuah suara yang lain
menyahut. Dan suara-suara pun terus
bersahut-sahutan. Lagi-lagi Ibu tertawa.
“Ya… ya… tentu saja, di
sana anak-anakku bisa bernyanyi, menari, bermain drama, bermain musik, melukis,
apa saja… sepuas hati kalian. Dan Ibu
akan menambahkan tempat yang megah di mana anak-anakku dapat menikmati
buku-buku berisi dongeng-dongeng yang indah.
Kalian harus menjadi anak-anak yang pintar.”
“Hore! Horeee! Horeee!”
Serentak kami bertepuk
tangan dan bersorak. Aku tersenyum dan tak puas-puasnya memandangi wajah Ibu
yang berseri-seri. Ibu semakin cantik di mataku.
Aku masih saja tersenyum-senyum,
ketika suara-suara riuh itu sekarang menjadi nyata di telingaku.
“Ibu datang! Ibu datang!”
Hah? Aku tersentak. Kudapati
pendopo mungil ini masih kosong.
Buru-buru kubereskan peralatan bersih-bersihku, dan kusiapkan diriku
untuk menyambut Ibu.
Rombongan itu tiba di
gerbang rumah kami yang sederhana, bertiang ranting kayu beratap rumpun
ilalang.
Seorang perempuan
cantik berdiri anggun. Di sekelilingnya
bergerombol orang-orang membentuk perisai bagi dirinya. Entah melindungi ia dari apa.
“Ssstt… Salma itu Ibu,”
bisik Teh Irma. Aku tertegun.
Ibu lebih cantik dari
yang aku bayangkan. Seperti putri-putri
dalam buku cerita yang sering dibacakan Teh Intan atau… seperti boneka ya. Aku bingung untuk memutuskan. Ibu tampak selalu tersenyum. Tapi aku merasa aneh.
Ibu terus berjalan
diiringi perisai-perisainya. Dalam
bayanganku, Ibu seperti Ratu Laut Selatan, yang berjalan diiringi
dayang-dayangnya. Seperti dalam film horor zaman dulu, yang kutonton di rumah
Ani tempo hari. Anggun tapi tak terasa
akrab.
Sekilas aku mendengar
laki-laki asing yang sedari tadi mondar-mandir di rumah kami berbicara pada Teh
Irma, kalau Ibu tidak jadi beristirahat di pendopo kami. Ibu memutuskan beristirahat di rumah temannya tadi, karena
lebih nyaman bisik laki-laki itu.
Aku berusaha menelan
rasa kecewaku. Artinya Ibu tidak akan
mengobrol bersama kami. Ah, mungkin
nanti…
Tapi kenyataannya aku
harus menelan kekecewaanku lebih dalam lagi.
Ibu tidak menghampiri kami, anak-anak penghuni rumah dan juga anak-anak
kampung. Mengajak kami bernyanyi atau
mengobrol apa saja. Ibu tidak
tertawa-tawa sambil bertepuk tangan ketika menyaksikan atraksi hiburan yang
kami suguhkan. Ibu juga tidak meluapkan pujian ketika mengunyah kue-kue kampung
buatan kami. Bagaimana mungkin, Ibu bahkan
sama sekali tidak menyentuh makanan yang telah susah payah kami sajikan.
Ibu melangkah menuju
panggung. Ia berdiri saja disana,
berbicara entah pada siapa. Bicaranya
yang perlu-perlu saja. Menyapa pun ala
kadarnya. Mengenai taman bermain disinggungya sekilas diiringi sebaris janji. Tapi entah mengapa aku tak mempercayai
janjinya. Acara menjadi seremoni resmi. Aku tak suka suasana begini.
Seakan ingin membasuh
rasa kecewa yang kurasakan, alam pun menurunkan hujan. Serentak para perisai Ibu sibuk menyiapkan
payung. Ah… rupanya Ibu pun tidak senang
bermain hujan. Ibu tidak asyik.
Tak terasa air mata
meleleh seiring hatiku yang lebur dihantam kecewa.
Ibuku bukan pertiwi
karena ia tak menjejak bumi. Ibuku tak bisa mencinta, karena ia pun terlihat tak
nyata.
: : dimuat di Radar Banten berabad-abad yang lalu : :
9 Comments
Duh sudah dimuat berabad yg lalu ya... ga kebayang...usia penulisnya berapa ya..hihi..
BalasHapushahah... awet muda berkat susuk keramat :D
Hapusiya teh Ida ini "mainan" lama
Wah, ada yang punya rumah baru nih. Diantos sukuranna ah... :D
BalasHapus*kirim nasi kuning via transpotter... hihi
HapusKeren, Mba cerpennya.
BalasHapusmakasih ya
Hapusasyiik cerpennya
BalasHapushatur nuhun...
Hapusteh Yayu mau saya follow blognya kok gak bisa ya, diklik-klik tak bereaksi :(
Hapus