UNTUNG ADA RUMAH DUNIA


foto : kolpri

Rumah budaya adalah proteksi  atau karantina terhadap kebisingan politik dan ekonomi. Benteng teduh dari segala hiruk-pikuk selebrasi kehidupan artifisial yang diobral media massa. (Radhar Panca Dahana, Kompas Minggu, 9 Agustus 2015)

Dalam artikel itu disebutkan juga beberapa rumah budaya yang didirikan oleh seniman-seniman ternama seperti Celah-Celah Langit milik Kang Iman Soleh di Bandung, Rumah Puisi Taufik Ismail di Aie Angek Sumatera Barat, Padepokan Lemah Putih Mbah Prapto di Solo, Kandang Jurang Doank di Ciputat, Rumah Seni Asnur di Depok.

Walau Rumah Dunia tidak disebutkan, saya merasa Rumah Dunia adalah rumah budaya yang saya kenal  di wilayah Banten. Pusat edukasi berkesenian dan penjaga kebudayaan di tengah kepedulian masyarakat (Serang dan sekitarnya) terhadap budaya yang kian memudar.




foto : kolpri

Saya ingat, tahun-tahun lalu Rumah Dunia menyelenggarakan perhelatan besar bertajuk “Ode Kampung”.  Sebuah acara dimana seniman-seniman dari penjuru Nusantara berdatangan.  Mereka berdiskusi mengenai berbagai tema yang berkaitan dengan seni dan dunia sastra sebagai bagian daripadanya. Salah satu gebrakannya adalah menerbitkan petisi berisi tiga pernyataan: menolak sastra yang mengeksploitasi sex, menolak bantuan dari pihak asing yang menggadaikan jati diri bangsa dan menolak dominasi satu komunitas atas komunitas lainnya. Acara yang dahsyat dan membanggakan. Wah! *Sejarah perjalanan sastra tercetak di Rumah Dunia*

Ode Kampung sudah tidak diselenggarakan lagi. Namun, Rumah Dunia tetap berdenyut dan bersikukuh menjadi penjaga kebudayaan di Banten.  Minggu lalu, di Rumah Dunia kembali diselenggarakan perhelatan cukup besar walau  berskala lokal.

Forum Seniman Banten (FSB) mengadakan acara Halal bi Halal. Tetapi, acara ini bukan sekedar halal bi  halal biasa yang  dimana seniman-seniman berkumpul, ngobrol, makan-makan, lalu selesai.  Acara ini diberi judul “Karnaval Seni”, diselenggarakan dalam 5 hari sejak pembukaan tanggal 1 Agustus 2015 sampai 5 Agustus 2015. Dan diisi dengan berbagai kegiatan diskusi dan pertunjukan seni yang menarik dan seru. WOW!

foto : kolpri

Acara pembukaan hari Sabtu, 1 Agustus 2015 dibuka oleh pertunjukan silat dan karate.  Dari penampilan yang ringan, perlahan penonton digiring ke acara yang lebih menegangkan. DEBUS, Saudara-saudara! Oh, Nooo… serem banget. Saya beberapa kali harus menutup mata sendiri dan De Key (anak bontot 6 tahunan) saking ngerinya.  Dan itu kata pemimpinnya belum seberapa.  What?!  Apa yang lebih serem dari lelaki yang ngiris-ngiris tangannya pake golok tajam di kedua sisinya?  Dikerubutin semut rangrang satu drum?

Orang Banten kalo bete loncat-loncat di atas beling**)

Orang Banten kalo punggung gatal guling-gulingan di atas ranting berduri**)


Ini Dek Murni, masih SMP tapi lidahnya udah menghasilkan banyak uang**) 

Mas Gong mau nubles dengan jurus Pendekar Menciduk Air**)

Busyet deh. Tapi memang itu lah kenyataannya.  Budaya purba dari tanah Banten ini. Maka tak heran jika Banten dikenal dengan kekerasan mistis semacam teluh, santet, pelet…  *ada yang mau cari dukun sakti? Ke Banten Selatan aja yuk… halah*

Tetapi dibalik label kekerasan itu, Banten juga memiliki budaya yang lebih lembut. Seni tari dan rampak bedug. Setelah berdebar-debar menyaksikan atraksi  “yang bikin ngilu” akhirnya kami pun dihibur oleh rampak bedug yang dinamis dari anak-anak manis anggota perkumpulan seni Ciwasiat, Pandeglang. Nah, adem deh hati…



foto : kolpri

Setelah itu kami digiring ke teater terbuka untuk mendengarkan pidato-pidato.  Pertama, Kang Firman Venayaksa selaku koordinator FSB diberi kesempatan menyampaikan sambutannya. Dilanjutkan orasi budaya oleh Mas Gola Gong.

Orasi budaya ini bukan soal kerupuk warna-warni yang dibawanya. Mas Gola Gong memang mengibaratkan seniman-seniman di Banten iniyang berasal berbagai latar-belakang kesenian, pemahaman,  keinginan, kepentingan, dan lain-lainseperti kerupuk yang berwarna-warni, namun tetap sama-sama digoreng dalam pasir, itu kesamaannya. Intinya Mas Gola Gong menyampaikan walau seniman-seniman Banten berbeda-beda, tetapi tetap harus digoreng dalam pasir… eh… bukan… maksudnya harus bersatu dalam satu tujuan. Betul juga, karena kalau berdiri sendiri-sendiri dan sampai ada pihak yang menekan apalagi menginjak-injak… PREEEK… hancur sudah… semudah hancurnya kerupuk-kerupuk itu ketika diinjak kaki Mas Gong.

foto : kolpri

Acara ini juga dihadiri oleh pejabat Disbudpar Provinsi Banten.  Ngebahas pemerintah mah gak asyik lah, paling isi pidatonya standar gitu. Tapi berprasangka baik aja ya, dengan kehadiran wakil mereka di acara ini, pemerintah Banten lebih “melek”  mata dan hati pada kegiatan kebudayaan yang sejati di Banten ini. Jadi kalau lain kali diundang lagi ke luar negeri harus lebih terasa misi kebudayaannya, jangan cuma piknik dan foto-foto doang ya, Pak.

Selama acara di teater terbuka berlangsung, untuk anak-anak disediakan acara khusus, yaitu demo melukis dengan cat air. Wah, seruuu… anak-anak yang disebut “anak-anak kampung” itu antusias sekali mengikuti setiap acara atau kegiatan yang diselenggarakan Rumah Dunia. Kasian deh "anak kota" yang nggak bisa menikmati keseruan sederhana namun berharga seperti ini.



Karya Masterpice Keyaan, 6th
"Gambar apa, Dek?"
"Ini pohon... terus ikan tabrakan sama belut"
Nah, silakan intepretasikan sendiri mana ikannya mana belutnya

Selain itu masih ada pameran foto dari komunitas “Fotogafer Mualaf”. Foto-foto yang sebagian besar bertema kebudayaan khas Banten itu dicetak dalam baliho-baliho yang  dipasang menyebar di tanah kosong samping gedung Surosowan, dan pameran instalasi bambu dari teman-teman Banten Creative Community pimpinan DAS Albantani.




foto : kolpri

Setelah seremoni hibah lukisan dari Sanggar Embun untuk Rumah Dunia, teater terbuka dikuasai oleh grup acapela, teman-teman dari  KOACI Banten. Suasana sore yang tenang menjadi lebih syahdu karena lantunan lagu “Indonesia Pusaka” yang menyentuh. Namun, suasana kembali ceria ketika lima pemuda bersuara merdu itu membawakan lagu lawas dari Benyamin S. 

“E ujan gerimis aje… ikan bawal diasinin… E, Eneng, jangan melamun aje… bulan syawal aye kawinin…” Hahaha…

foto : kolpri

Setelah itu acara vakum  sejenak karena sore telah beranjak senja. Adzan Maghrib pun tak lama berkumandang.

Selesai? Beluuum… hajatan ini masih panjang.  Malam minggu itu saja masih ada pertunjukan Sirkus Perkusi milik Edi Bonetski dari Tangerang. Ah, sayang sekali di tengah keseruan itu ada telepon dari rumah, “Mama, Kiki muntah-muntah.” Dan saya pun harus pulang… huhuhuhu. Menyesal sekali harus melewatkan acara-acara keren itu.

Mengapa acara ini sangat keren? Karena pada hari-hari berikutnya kegiatan diisi oleh rangkaian workshop yang asyik-asyik banget. Sebut saja workshop pembuatan film, menyelenggarakan pertunjukan seni, penulisan puisi, karikatur, melukis, teater for healing, dan lain-lain. Semua kegiatan itu GRATIS, Kawan. Nah, pemuda-pemudi di Banten yang tidak memanfaatkan acara ini rugi lah serugi-ruginya.

Malam harinya, acara diisi oleh hiburan seni seperti konser musik perkusi, teman-teman dari KPJ Rangkas, pembacaan puisi oleh penyair-penyair Banten, musikalisasi puisi, stand-up komedi, tari-tarian, dan malam puncak penutupan diisi oleh pagelaran wayang golek oleh dalang muda dari STISI Bandung.

Acara-acara yang bernuansa pendidikan dan hiburan seni itu, sempat diselingi juga oleh diskusi budaya berjudul "Pentingkah Dewan Kesenian Banten?". Menghadirkan Plt Gubernur Banten Rano Karno dan wakil dari Forum Seniman Banten: Toto ST Radik, Wowok Hesti Prabowo, Rois Rinaldi sebagai pembicara.

foto : bantenraya.com

Kabar baiknya, Rano Karnoyang berlatar belakang seniman-- sangat mendukung dibentuknya dewan kesenian di Banten ini, bahkan menyatakan kalau dewan kesenian di Banten itu penting! dan menantang para seniman itu melalui wakilnya untuk segera membentuk panitia seleksi pembentukan DKB.  

Nah, kaaan… untung ada Rumah Dunia. Saya pun jadi lebih melek budaya dan lautan niat untuk terus berkesenian melalui karya tulis yang selama ini nyaris menjadi riak-riak kecil saja, sekarang mulai menggelegak kembali. Dan cinta saya pun pada Banten mulai bersemi di hati yang selama ini gersang.  “Oh masih adakah… cinta yang abadi...” *lho kok jadi lagu itu yang keinget. Hahaha…*


“Mereka bekerja independen, tulus, tidak ada keterpaksaan. Rakyat itu penjaga kebudayaan yang terbaik.” (Radhar Panca Dahana, Kompas Minggu, 9 Agustus 2015)

foto : kolpri


catatan:
**) jangan diseriusin ya... cuma becanda kok

8 Comments

  1. mantap reportasenya... duuuh, kapan ya saya berani ke rumah dunia....:(

    seru sekali sepertinya dunia di sana :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. kok gak berani Un... berani nyetirnya maksudnya?

      Hapus
  2. seru deh kayaknya kalau bisa langsung kesana

    BalasHapus
    Balasan
    1. yuk... blogger bandung goes to Rumah Dunia... piknik :D

      Hapus
  3. Bagus sekali. Hanya, koreksi dari saya ya. Saat Ode Kampung 2 (Temu Sastrawan se-Nusantara), tidak ada penyebutan nama komunitas apalagi penolakan terhadap Komunitas Utan Kayu. Saat itu peserta merekomendasikan 3 hal ; tolak sastra sex, tolak bantuan asing yang menggadaikan jati diri bangsa, dan menolak dominasi satu komunitas atas komunitas lain. Terjadi perdebatan ketika hendak merilis rekomendasi penting ini. Saya selaku Ketua SC waktu itu (saya, Toto ST Radik, Wan Anwar, Wowok Hesti Prabowo, dan Rby Ach. Baedhowi) mengingatkan kepada para peserta Ode Kampung 2 (20-22 Juli 2007), bahwa rekomendasi ini ditujukan kepada semua komunitas di Indonesia. Termasuk juga Rumah Dunia, yang saat itu mulai membesar di Banten. Saya sendiri merasa takut jika nanti Rumah Dunia membesar dan ada indikasi mendominasi di Banten. Kami di rumah Dunia hanya menginginkan bahwa Rumah Dunia jadi tempat berpesta kebudayaan atas segala macam jenis warna kesenian di Banten. Hanya kemudian masing-masing sastrawan setelah pulang ke tempat asalnya masing-masing, menafsirkan macam-macam. Padahal di rekomendasi Ode Kampung 2 itu sama sekali tidak menyebutkan nama dan komunitas. Tetap semangat menulis ya, Ina Inong. Nuhun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. udah diralat Mas Gong, hehehe... soalnya kan waktu itu issue-issue mengarah ke sana, saya juga yang ada di TKP mendengar bisik2 tetangga itu.

      Hapus
  4. terimakasih banyak, sangat menarik sekali...

    BalasHapus
  5. rumah dunia mesti dikunjungi kalo ke banten, supaya lebih mengenal budaya

    BalasHapus