Judul Film : Still Alice
Produksi : Killer Films
Sutradara : Richard Glatzer, Wash Westmoreland
Pemain : Juliane Moore, Alec Baldwin, Kate Bosworth, Parrish Hunter, Kirsten Stewart
Tahun Release : 2014
'the Art of Losing isn't hard to master: so many things seem filled with the intent to be lost that their loss is no disaster.' (Elizabeth Bishoponce)
Film dibuka adegan perayaan ulang
tahun Alice Howland (Juliane Moore) yang ke 50. Suasana perayaan yang
sederhana, namun kental rasa kekeluargaannya. Alice tampak bahagia dikelilingi
suami (Alec Baldwin), dan tiga anaknya, Anna (Kate Bosworth), Tom (Parrish
Hunter), dan Lidya (Kirsten Stewart).
Dr. Alice Howland adalah pakar
linguistik di sebuah universitas. Di
usianya yang masih terbilang muda (untuk mengalami gejala Alzhaimer) ia
menyadari ada yang tidak beres dalam dirinya. Kejanggalan pertama dirasakannya
ketika di tengah kuliah ia lupa kata “lexicon”.
Kata yang terbilang mudah.
Kemudian tanpa sepengetahuan
keluarganya, ia berkonsultasi dengan
dokter ahli syaraf. Alice mulai
mengalami penurunan ingatan. Ia lupa rute joging yang biasa ia lalui. Lupa resep
puding roti yang biasa ia hidangkan, bahkan lupa nama teman kencan anaknya
padahal baru beberapa menit lalu dikenalkan. Yang terparah ia lupa materi kuliah yang harus diajarkan.
Masalah tersebut menjadi
perhatian pihak universitas sampai akhirnya Alice diminta mengundurkan diri
dari kegiatan mengajarnya. Alice tak dapat menutupi lagi penyakitnya dari suami
dan anak-anaknya. Disaksikan suaminya, Alice didiagnosa menderita familial Alzheimer’s dini. Alzhaimer yang diturunkan secara genetik dan
terjadi pada usia yang masih produktif.
Hal ini mungkin terjadi justru pada orang-orang yang berpendidikan tinggi.
Alice dan suaminya meminta
anak-anaknya untuk melakukan tes atas penyakit ini. Diketahui bahwa Anna, anak
pertama mereka positif, Tom negatif, sedangkan Lidya memilih tidak melakukan
tes. Anna merasa perlu melakukan tes untuk calon bayi kembar yang sedang
dikandungnya. Beruntung hasilnya negatif.
Daya ingat Alice semakin
menurun. Habis menyaksikan pertunjukan
drama yang dibintangi Lidya, ia datang ke balik panggung dan mengucapkan
selamat pada Lidya. Ia berbicara pada Lydia seolah-olah sedang memuji artis
yang bermain cemerlang dalam sebuah drama. Alice harus diingatkan bahwa artis
itu adalah anak kandungnya.
Ketika sedang berlibur berdua
dengan suaminya di rumah pantai. Alice lupa di mana letak kamar mandi. Ia tak
dapat menemukan kamar mandi sampai akhirnya tak bisa lagi menahan kencingnya.
Ia mengompol. Alice tampak terpukul dan merasa malu di depan suaminya sendiri.
Namun, untuk menaikkan rasa percaya
diri Alice, dokter ahli syarafnya menyarankan Alice untuk memberikan pidato,
berbagi pengalamannya sebagai penderita Alzheimer dalam sebuah forum pertemuan.
Sangat mengharukan melihat Alice menandai baris-baris kalimat yang dibacanya
dengan stabilo supaya ia tidak lupa apa yang sudah dibacanya. Tom, putera
satu-satunya, tak dapat menahan rasa harunya ketika sang Ibu mendapat standing
applaus.
Alice menulis pertanyaan di
ponselnya. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti, kapan bulan kelahirannya, di mana alamat
tempat tinggalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang ia jawab setiap hari untuk
menguji daya ingatnya.
Kejutan diberikan nyaris di akhir
cerita. Di bagian awal film, ketika ingatan Alice dikisahkan masih normal, ia
membuat sebuah video. Semacam video tuntunan. Baru lah menjelang film berakhir,
saya dibuat terhenyak ketika video itu “dibahas” kembali.
Isi video itu sangat detail soal
apa yang harus dilakukan Alice, jika ia sudah tak bisa lagi menjawab
pertanyaan-pertanyaan rutin di ponselnya.
“Alice dalam video”, menuntun “Alice sekarang” untuk menuju ke kamar
tidurnya, membuka laci yang ada lampu berwarna biru. Kemudian ambil botol obat
yang berlabel: telan semuanya dengan air. Dan ternyata obat yang dimaksud
adalah obat tidur. What?! Alice dulu
sudah menyiapkan Alice sekarang untuk bunuh diri!
Untung saja Alice dikagetkan oleh
suara bantingan pintu ketika Elena (pembantu rumah tangga) datang. Botol pil
yang sedang dipegangnya jatuh, pil-pil dalam botol pun berhamburan. Sedetik
kemudian Alice sudah melupakan apa yang akan diperbuatnya tadi.
Suami Alice, Dr, John Howland,
memutuskan untuk menerima pekerjaan sebagai peneliti di Klinik Mayo,
Minnesota. Alice sempat meminta suaminya
untuk menunda tugasnya itu. Namun, suaminya berkeras. Entahlah… apakah ini
simbolik, menggambarkan suami yang (bukan egois, sih) tapi lebih tidak tahan
karena tidak tega melihat kondisi istrinya yang semakin menurun.
Akhirnya, Alice ditemani oleh
anak bungsunya, Lidya. Daya ingat Alice
sudah pada titik parah. Ia tidak mengenali lagi anak-anaknya dan Elena,
pembantu rumah tangga mereka. Namun, Lidya dengan sabar dan tabah mengurus
ibunya, dan mengesampingkan keinginannya untuk mengejar karir sebagai artis drama
tersohor.
Adegan penutup adalah Lidya
membacakan salah satu bagian dari drama berjudul “Angel in America”. Setelah
selesai, ia bertanya pada ibunya, tentang apa tadi bagian yang ia baca. Alice
meresponnya dengan satu kata: LOVE.
Film yang diadaptasi dari novel
berjudul sama karangan Lisa Genova ini, sangat menarik. Memberikan kesadaran
bagi saya betapa berharganya hidup, betapa tak ternilainya kenangan, dan cinta
orang-orang di sekeliling kita. Bagi saya di posisi sebagai anak, menyadarkan saya
untuk berlapang hati, menerima kekurangan, dan terus memberikan cinta untuk
orang tua yang sedang sakit. Apa pun penyakitnya. Karena dalam sakit yang parah
sekali pun, mereka tetap bisa merasakan arti cinta. Dicintai dan Mencintai.
1 Comments
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus