THE STORY OF BEAUTY AND THE BEANS

 


Deungkleung deungkleung dengdek 
Buah kopi raranggeuyan
Ingkeun anu dewek
Ulah pati diheureuyan

Tulisan di atas adalah petikan dari lagu pengantar tidur khas tatar Priangan.  Buah kopi itu cantik, tak heran jika warnanya yang merah segar menggugah seorang seniman untuk mengabadikan keindahannya dalam sebuah lagu. Orang tua jaman dulu selalu menyanyikan lagu itu saat menidurkan anak-anak mereka atau cucu mereka, termasuk nenek dan pengasuh saya.  

Itu artinya, saya sudah mendengar kata kopi sejak masih dalam buaian.  Dan sejak kanak-kanak, secara kasatmata  kopi menjadi dekat dengan kehidupan saya.  Setiap pagi, saya melihat Nenek menyediakan kopi untuk kakek dalam mug besar (orang Sunda bilang bekong).  Paman-paman saya juga penyuka kopi.  Walau seingat saya, almarhum Papi tidak suka minum kopi, tetapi Mami  suka sekali minum kopi dicampur susu. Setelah menikah, kopi menjadi "santapan" sehari-hari, karena suami dan ayah mertua juga penggemar kopi.  Entah mulai kapan tepatnya, akhirnya saya pun menjadi penikmat kopi.  


Kopi bukan tanaman asli nusantara.  Perkebunan kopi yang tersebar di Indonesia merupakan warisan dari culturesteel di jaman kolonial. Pada akhir abad ke-17, VOC membawa tanaman kopi dari India Selatan.  Dari hasi panen pertama, segenggam biji kopi dibawa ke Netherland untuk diteliti.  Hasil penelitian membuahkan rekomendasi agar kopi dari Jawa dibudidayakan karena menunjukkan kualitas sangat bagus.  Pada abad ke-18 VOC menguasai tiga perempat perdagangan kopi di dunia.  Di abad ke-19 separuh produksi kopi di dunia berasal dari Priangan.  Karena usianya yang sudah berabad-abad ada di Indonesia ini, kopi sudah dianggap sebagai bagian dari komoditas lokal yang berpotensi tinggi.


Menuju Perubahan Gaya Hidup

Kenapa tiba-tiba bahas kopi, sih?  

Belakangan ini isu sampah plastik mencuat.  Sampah plastik jika tidak didorong oleh kesadaran penduduk Bumi ini untuk menanggulanginya, suatu hari nanti bakal menimbulkan masalah yang sangat serius.  Setiap kali membaca berita tentang polusi lingkungan yang disebabkan oleh sampah plastik, saya jadi merenung,  diri ini termasuk pelaku juga kah?

Bisa jadi.  Sebagai perempuan yang menganut paham perawatan-kecantikan-adalah-manifestasi-rasa-syukur, tentu membutuhkan berbagai jenis produk kosmetik yang menunjang ritual saya sehari-hari berkaitan dengan perawatan kecantikan.  Saya termasuk tipe impulsif dalam membeli produk-produk perawatan.  Alasannya bisa karena tergiur rekomendasi teman, atau kadang-kadang melihat kemasannya yang lucu saja, saya beli tanpa mempertimbangkan butuh atau tidak.  Masalahnya, rata-rata kemasan produk perawatan kulit dan kecantikan terbuat dari plastik.  Ada memang yang terbuat dari kaca, tapi produk dari kemasan kaca itu hanya cocok untuk orang yang apik dan tertib.  Manusia ceroboh macam saya, tidak cocok sama sekali.  Pecah adalah risiko utamanya.

Walhasil, saya seperti pengepul berbagai barang kosmetik, yang akhirnya akan menjadi sampah! Ya, saya adalah bagian dari penyumbang polusi sampah plastik *feeling gulity*.

Kemudian, pandemi menyerang tanpa disangka-sangka, dan terus berkembang ke arah yang mengkhawatirkan.  Dampaknya tidak hanya berpengaruh pada sektor kesehatan saja, tetapi lebih dari itu.  Efeknya terhadap perekonomian pun sangat terasa.  Gelombang PHK terjadi di mana-mana.  Saya harus bersiaga terhadap segala kemungkinan, bahkan yang terpahit.  Satu-satunya cara adalah dengan berhemat.  Menekan pengeluaran ke titik terketat.  Maka, yang pertama dikeluarkan dari anggaran pribadi adalah kosmetik.

Dua alasan tersebut memaksa saya berpikir kreatif.  Saya ingin mengubah gaya hidup menjadi lebih ramah lingkungan, sekaligus bisa berhemat tanpa mengorbankan kecintaan saya pada perawatan kecantikan.  Percaya tidak percaya, bagi sebagian perempuan, perawatan kecantikan itu bukan hanya untuk kepentingan tampilan lahiriah, tetapi juga menjaga kesehatan mental.  Ada perempuan seperti saya, yang menjadikan perawatan tubuh sebagai healing, stress relief, relaksasi, semacam itulah.  Ketika melakukan perawatan, perasaan menjadi bahagia, hati senang, jiwa pun tenteram. 

Apalagi karena saya tinggal di Indonesia yang beriklim tropis, di mana intensitas sinar mataharinya sangat tinggi, maka perawatan kecantikan terutama untuk kulit wajah is a MUST.  Sebab, jika tidak pintar-pintar merawat, iklim tropis ini bisa membawa sejuta masalah pada kulit, di antaranya yang paling sering menjadi momok bagi perempuan adalah, kulit kusam dan kasar, kulit berminyak dan berjerawat, hiperpigmentasi alias flek hitam, kulit kering, penuaan dini, dan ini, sih, bonus buat perempuan nocturnal: mata panda.

Berangkat dari niat hati ingin mengubah gaya hidup agar lingkungan terjaga dan hemat, saya mulai berkonsentrasi pada bahan-bahan alami yang selama ini saya hindari.  Sebab menggunakan bahan alami membutuhkan proses dan itu melelahkan, dibanding dengan menggunakan produk jadi yang tinggal colek dan oles.  Tetapi karena tampil cantik  butuh pengorbanan, maka saya mulai browsing, bahan alami apa yang mudah didapat, setiap hari ada di rumah, tidak perlu khusus berangkat ke pasar untuk membelinya, dan ternyata ... KOPI adalah jawabannya.


Beauty and The Beans

Seperti yang sudah yang bahas di atas, kopi dekat sekali dengan keseharian saya.  Suami adalah penikmat kopi dan anak sulung saya bekerja sebagai Barista.  Jadi tidak mengherankan kalau berbagai jenis biji kopi ada di rumah.  Padahal yang terpakai kan tidak banyak.  Tidak semua jenis kopi itu diminum setiap hari juga.  Daripada mubazir, saya manfaatkan biji-biji yang tidak terjamah untuk MASKER WAJAH dan SCRUB.

Memang bisa? Jangan salah, walau bentuk dan warnanya kurang indah, biji-biji kopi memiliki kandungan yang penting dan mumpuni bagi kesehatan kulit.

Menurut pakar kesehatan, kopi mengandung nutrisi yang tinggi.  Kopi banyak mengandung mineral seperti magnesium, potasium, niacin dan mangan.  Kopi juga mengandung serat dan vitamin, seperti vitamin B2 (riboflavin) dan vitamin B5 (asam pantotenat).  Beberapa penelitian membuktikan bahwa orang yang minum kopi (tanpa susu dan gula) sebanyak 2-3 cangkir per hari, justru memiliki risiko rendah mendapat penyakit serius.

Kaitannya dengan kesehatan kulit, kopi mengandung antioksidan yang dapat menangkal pengaruh buruk radikal bebas pada kulit.  Radikal bebas ini disebabkan oleh polusi udara, asap rokok, gaya hidup seperti sering begadang, stress, dan akibat dari konsumsi alkohol.

Dan luar biasanya si kopi ini, khasiatnya bisa mengatasi TOP SEVEN masalah gangguan pada kulit yang sering dialami oleh kaum perempuan.  Mau tahu resep-resepnya?  Silakan simak tujuh resep pilihan masker wajah dari kopi plus, bonus resep scrub dan masker untuk mengatasi mata panda.







Disclaimer:

Untuk yang berkulit sensitif, disarankan melakukan tes alergi terlebih dahulu.  Caranya, oleskan campuran bahan di daerah yang tidak terlihat, misalnya di leher.  Setelah dioleskan, diamkan selama kurang lebih 15 menit.  Amati reaksi yang timbul.  Jika ada reaksi seperti rasa gatal, warna kemerahan, atau malah bengkak, segera cuci dan jangan digunakan lagi.  Jika tidak ada reaksi seperti yang disebutkan, berarti masker kopi aman untuk digunakan.


Komoditas Berkelanjutan

Setelah mencoba produk perawatan kulit buatan sendiri menggunakan kopi (saya mencampurnya dengan madu atau minyak zaitun) saya merasa cocok.  Tapi jadi kepikiran, ada tidak brand kecantikan lokal yang sudah menggunakan kopi sebagai bahan dasar produknya.  Ketika browsing, saya hanya menemukan produk-produk yang menggunakan bahan dasar dari buah-buahan dan sedikit sayuran, seperti jeruk nipis, tomat, mentimun, rumput laut, teh hijau, alpukat, pepaya, dan yang masih langka adalah semangka. Juga banyak produk berbahan umbi-umbian seperti bengkuang, wortel, kentang, kunyit, temulawak, dan bahan jenis lain yang sangat populer adalah charchoal.

Produk berbahan dasar kopi dari brand lokal kok tidak saya temukan ya.  Apakah kopi, satu-satunya komoditas lokal yang belum dilirik untuk dikembangkan menjadi produk perawatan kulit alias kecantikan?  Mungkin sudah ada, tetapi masih berupa industri rumahan yang penjualannya belum berskala besar.

Saya pernah membaca blog seorang pengamat ekonomi.  Dalam salah satu tulisannya, beliau mengkhawatirkan perkopian di Indonesia. Seiring waktu, Indonesia semakin tertinggal dari Vietnam.  Dari peringkat dua pengekspor kopi terbesar di dunia, per tahun 2019 posisi Indonesia tergeser ke peringkat enam.  Beliau memprediksi, jika perkopian nasional ini tidak ditangani dengan serius, tidak menutup kemungkinan ekspor kopi akan jatuh ke angka nol.



Hmmm... membaca tulisan pakar ekonomi tersebut, jadi timbul gagasan dalam benak.  Jika semakin sulit menembus permintaan dunia, mengapa tidak dicoba mengembangkan kopi menjadi produk lain.  Butuh trigger untuk memberikan geliat baru bagi perkopian kita.  Misalnya, pengembangan kopi sebagai bahan dasar produk kosmetik, khususnya perawatan kulit.  

Dalam bayangan saya, produk berbahan kopi ini dikemas dalam wadah dari gerabah yang didesain unik.  Wah, pasti menarik.   Produk kosmetik ini akan menjadi produk unggulan yang ramah lingkungan dan ramah sosial, karena kemasannya aman tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan, harganya terjangkau oleh segala kalangan, sehingga manfaatnya dapat dinikmati secara luas.

Semoga dengan adanya pengembangan inovasi baru ini, produktivitas tanaman kopi juga turut meningkat.  Kopi menjadi komoditas berkelanjutan dan perkopian nasional panjang umur.


Love,



0 Comments