TO MAKE YOU FEEL MY LOVE



Jakarta
Hujan masih rapat membungkus malam.  Guruh sesekali menggeram di kejauhan.  Jam digital di meja menunjukkan angka 23:45. Menjelang tengah malam dan Kin belum sedetik pun terlelap.  Matanya masih enggan dipejamkan.  Perempuan itu sedang gelisah.  Kin bangkit meninggalkan kehangatan ranjangnya.  Ia duduk di ceruk jendela. Sinar matanya redup menatap galur-galur bening di kaca jendela.

Kin menekan tombol play di cd player.  Sayup-sayup suara khas Adele keluar dari speaker.
When the rain is blowing in your face
And the whole world is on your case
I could offer you a warm embrace
To make you feel my love
Dingin tiba-tiba menghampiri tubuh ringkih Kin.  Ia menekuk kedua kaki merapat ke dada.  Sebelah tangan memeluk kaki, tangan yang lain mengukir sebuah nama di kaca jendela yang mulai mengembun. Bim…
Kin disergap rindu yang sangat.  Ingatannya berlari ke masa lalu. 

Bandung awal tahun 90an
Belakangan ini mata Kin tak bisa lepas dari satu sosok yang sering tiba-tiba muncul dalam radius pandangannya.  Bim di kantin. Bim di lapangan basket. Bim di tempat parkir. Bim di perpustakaan. Bim lewat di depan kelasnya.  Di mana-mana. Seolah-olah setiap sudut sekolah dipenuhi oleh Bim saja.
Walaupun Kin tak ingin, matanya tak bisa diajak kompromi untuk tidak mencuri pandang ke arah sosok gagah dengan sorot mata teduh itu.  Mata Kin berkhianat untuk alasan yang menyenangkan.
Bim satu SMP dengan Kin. Tahu satu sama lain, namun tak pernah saling menyapa.  Sesekali mereka bertemu di tempat parkir sepeda.  Mata mereka sering beradu, tapi Kin selalu buru-buru menghindar.  Kin kecil malu-malu.  Di depan Bim, ia sering gugup tanpa alasan.
Sekarang Bim berubah.  Celana panjang abu-abunya memberi pengaruh yang luar biasa pada penampilannya.  Bim kecil yang cupu, bermetamorfosis dengan sukses menjadi dewa pujaan separuh gadis-gadis di sekolah mereka. 
Kin yang cuek, tomboi dan seadanya sering dibuat minder melihat Bim tak pernah lepas dari rubungan gadis-gadis manis.  Sapaan-sapaan manja dari gadis-gadis itu setiap kali Bim beredar di sudut-sudut sekolah, mampir di telinga Kin sebagai peringatan, bahwa Kin tak pantas untuk Bim. 
Kin menghindar karena malu memiliki perasaan yang tak mungkin berbalas.  Tapi, bunga yang mulai mekar itu, tak mampu mencegah hatinya untuk tidak mendamba Bim.  Hanya Bim yang mengisi lamunannya penuh-penuh.  Bim yang datang di mimpi-mimpi malamnya.  Cuma Bim yang mampu menguras segenap perasaan rindu dan ingin memiliki dari seorang Kin.  Kadang, ia merasa lelah menyimpan semua perasaan itu sendirian.  Menyesakkan.  Namun, sekaligus menikmatinya.
Hingga suatu hari, Kin sadar dadanya kian sesak menahan perasaan, yang semakin lama semakin sering membuat konsentrasinya buyar pada apa saja yang dilakukannya.  Kin memutuskan untuk mengakhiri itu.  Bagus atau tidak hasilnya, Kin tetap akan melakukannya.  Tekadnya sudah bulat.  Ia hanya ingin terbebas.
Siang itu, Kin menunggu di atas motornya yang terparkir di bawah pohon mangga, yang tumbuh di pelataran parkir sekolah.  Keringat sudah sedari tadi membanjir di tubuhnya.  Bukan hanya karena udara saat itu memang sedang panas, tetapi karena perasaan gugup yang sedang dicoba untuk dilawannya.  Kin gelisah.
Akhirnya, sosok yang ditunggu-tunggu Kin muncul juga.  Tunggu, dia tidak sendirian.  Ada orang lain di sampingnya. Seorang gadis, dan mereka tampak akrab sekali. Oh! 
Dua orang itu menghampiri motor yang diparkir dekat pintu gerbang.  Beberapa meter jaraknya dari tempat Kin menunggu.  Mereka tertawa-tawa riang.  Yang laki-laki mulai menghidupkan motornya sambil mengatakan sesuatu pada si gadis, yang kemudian menggebuk pelan punggung si laki-laki.  Mesra... di mata Kin.
Akhirnya pasangan itu pun pergi meninggalkan parkiran sekolah, tanpa menyadari ada sepasang mata yang mengawasi.  Pasangan itu adalah Bim dan teman sekelasnya.  Bim yang sudah ditunggunya sejak tadi demi sebaris kalimat.  Kalimat yang dipikirnya bisa membebaskan dirinya dari perasaan yang semakin menghimpit dadanya dan Kin tak ingin lagi menahannya sendirian.
Telaga bening di mata Kin retak.  Sesaat setelah menghela nafas dalam-dalam.  Kin menghidupkan motornya dan melaju pergi. Dalam kabur air mata, terucap niat dalam hati, ia akan melupakan semua.



Bandung
Asap rokok masih setia menemani Bim.  Sudah hampir tengah malam, Bim masih terpaku di depan jendela besar rumahnya.  Kaca jendela basah oleh tamparan hujan.  Dingin menggigit, tapi Bim merasa hangat ketika benaknya mengingat sebuah nama. Kin...
Rindu mulai merayapi jiwanya. Senyum tipis melengkung samar di bibir Bim. Lamat-lamat terdengar suara Billy Joel mewakili isi hatinya.  Lamunan Bim berenang dalam genang kenangan.

Bandung awal tahun 90an

Sejak SMP Bim kenal gadis itu.  Tahu tepatnya, karena mereka tidak pernah saling menyapa.  Tapi mereka sering bertemu di parkiran sepeda.  Sejak awal bertemu, gadis itu sudah menarik perhatian Bim.  Dia tidak seperti teman-teman perempuannya yang lain.  Dia berbeda. Sederhana, namun istimewa di mata Bim. Terutama rambut sebahunya yang hitam.  Bim sangat mengaguminya.
Beberapa kali Bim berusaha melempar senyum ketika mereka beradu pandang.  Tetapi Kin, begitulah gadis itu dipanggil, selalu menundukkan muka.  Kemudian, Kin pun berlalu meninggalkan Bim sendirian.  Rambut hitamnya berayun seirama langkah.  Kadang tanpa sadar tangan Bim terjulur begitu saja, seolah-olah ingin menyentuh rambut Kin yang menggemaskan.  Begitu menyadari kebodohannya, Bim segera menarik tangannya kembali.
Bim nyaris melonjak gembira ketika tahu Kin bersekolah di SMA yang sama dengannya.  Tapi sikap Kin tidak berubah. Di matanya, Kin cuek, tak peduli dan selalu menghindar ketika Bim berusaha mencari matanya untuk ditatap.
Bim hanya bisa melihat Kin dari jauh dan diam-diam.  Kin yang sedang terbahak bersama sahabat-sahabatnya di kantin. Kin yang basah berkeringat menggiring bola basket di lapangan. Kin yang berlari-lari karena kesiangan.  Semua tak luput dari perhatian Bim.  Dan Bim suka semua itu. 
Kin yang tomboi dan seadanya.  Memperhatikan tingkah Kin membuat dirinya bahagia.  Melihat Kin mengibaskan rambut saja, sudah membuat Bim serasa melayang.  Hanya saja Bim tak pernah mendapatkan senyum Kin.  Bim merasa tak mendapat angin untuk menyatakan perasaannya.  Bim terlalu malu untuk menghampiri Kin dan mengungkapkan isi hatinya.  Keberanian Bim untuk mendekati Kin lumpuh.
Bim baik hati.  Pemuda yang ramah pada siapa saja, siap membantu teman-temannya tanpa pamrih.  Tentu saja, kebanyakan gadis-gadis yang mencari kesempatan untuk mendapatkan perhatiannya.  Tetapi Bim tak pernah memberikan hatinya untuk yang lain.  Ia hanya mau Kin, karena gadis itu saja yang sanggup membungakan rindu dalam hatinya.

***

Pagi masih basah oleh sisa hujan semalam.  Tetes-tetes bening embun mungil bertengger di dedaunan dan kelopak bunga.  Lembar-lembar kabut tipis memeluk barisan gunung di kejauhan.  Pucuk-pucuk pinus bergoyang perlahan dielus angin pagi.  Pemandangan yang membuat siapapun pasti merasa betah untuk berlama-lama menatapnya.  Begitu pula dengan Kin.
Sudah lama Kin berdiri di depan jendela besar itu.   Matanya tak bisa lepas dari pemandangan yang terhampar indah di hadapannya. Sesekali Kin merapatkan mantel kamar yang membungkus tubuhnya.  Dingin. 
Sepasang tangan kukuh melingkar di tubuh langsing Kin begitu saja.  Seketika aroma tubuh yang selalu membuat Kin rindu menyergap hidungnya.  Kin selalu tak mampu menolak rasa bahagia yang timbul, setiap kali tangan kukuh itu merengkuhnya hangat.  Juga ketika hidung bangir itu dibenamkan di legam rambutnya.  Seperti sekarang ini.
“Cantik, melamun lagi.  Ada apa?”  Suara bariton itu menyentuh gendang telinga Kin.
Kin tertunduk dan menggeleng.  Hatinya memang sedang gundah. Kin membalikkan badannya.  Sekarang, ia berhadap-hadapan dengan lelaki itu.  Perlahan dilepaskannya kedua tangan yang melilit di tubuhnya. Dipandanginya wajah tampan yang sekian tahun dirindukannya diam-diam.  Kin sangat sadar kalau wajah di hadapannya, tak pernah dan tak akan pernah bisa lepas dari benaknya.
Bim, adalah cinta pertamanya.  Mungkin cinta sejatinya. Sejak mereka lulus dari SMA, tak pernah lagi saling bertemu.  Tidak ada kabar berita tentang Bim yang didengarnya.  Bim juga tak dijumpainya di mana-mana.  Bim mungkin menghilang secara fisik, tetapi ingatan Kin terhadap Bim tak pernah pudar.
Hari itu adalah pertemuan mereka yang kesekian kalinya, sejak sang waktu berbaik hati mempertemukan mereka kembali di acara reuni sekolah. 
Di pesta reuni itu, mereka sama-sama terpana saat pandang beraduBim melihat Kin tak banyak berubah.  Rambut hitam legam itu masih dimilikinya.  Rambut yang membuat tangannya sering terulur tak sengaja, didorong keinginan terpendam untuk menyentuhnya. Bim yang sekarang, bukan lagi seorang pemuda pemalu.  Dihampirinya Kin.  Ia ingin tahu sesuatu.  Sesuatu yang membuatnya penasaran di masa lalu.
Sepasang mata Kin terkunci pada sosok gagah Bim. Tampak berisi, tapi tak berlebihan. Bim begitu ideal sebagai laki-laki dewasa. Aura kematangan dan kemapanannya memancarkan pesona. Kin merasa dadanya menghangat dan debar halus hadir tak tercegah. Ia merasa perlu meraih segelas minuman, ketika Bim mulai melangkah ke arahnya. Tegukan singkat cukup membuat degup jantungnya terasa redam.
Bim dan Kin harus berterima kasih pada sang waktu, yang akhirnya membeberkan semua rahasia.  Selama hampir dua puluh tahun rahasia itu tersimpan. Mereka berpandangan dalam haru ketika rahasia lama itu terungkap. Bim dan Kin menemukan kunci rahasia itu, bahwa dalam keterpisahan, mereka masih sering saling mengingat dan merindukan.  Perasaan di masa lalu itu tak pernah hilang dari hati masing-masing.
Sejak itu, pertemuan demi pertemuan mereka lakukan untuk membalas dendam pada masa lalu.  Setiap pertemuan selalu indah.  Bim adalah sosok pria yang ada di mimpi Kin.  Dan Kin adalah sosok yang didamba Bim. Kin dan Bim pasangan paket lengkap. Saling mencintai dan ingin memiliki.
Hanya saja, belakangan hati Kin sering mempertanyakan, “Bukankah ini salah?.  Bim pun diam-diam merasa demikian.  Kin dan Bim berusaha mengingkari kenyataan dan menipu takdir. Penyangkalan dan pembenaran silih berganti tersisip dalam setiap diskusi. Mereka tak ingin kehilangan lagi, walau perasaan bersalah menggempur nurani tanpa ampun.
“Bim, aku ingin berhenti dari semua ini.”  Kin akhirnya memberanikan diri.  Suaranya bergetar menahan perasaan.
“Kin, kita akan terpisah lagi seperti dulu.”  Bim mencoba menghalangi.
“Tapi ini pun nggak benar. Iya kan, Bim?”  Kumpulan embun di mata Kin pecah.  Bim merengkuh wajah ayu Kin.
“Aku mencintaimu, Kinari… tak akan pernah berubah, Bim menyebut namanya lengkap.  Jarang sekali dilakukannya.
“Cinta ini hanya indah untuk kita berdua. Tetapi cinta ini menjadi pisau untuk mereka yang sudah memiliki kita.”  Kin gemetar.
Bim mengunci tubuh Kin dalam pelukannya.  Erat.  Tak ingin melepaskan, walau ia membenarkan apa yang dikatakan Kin.
Sekian lama sudah mereka mencoba membohongi diri. Menyangkal takdir yang tak menuliskan nama. Namun, berbohong itu melelahkan. Bahagia sekaligus kesakitan, ternyata tak cukup berharga untuk dipertahankan. Akhirnya, mereka tunduk pada kuasa takdir.
Sore itu Bim mengantar Kin pulang.  Dalam hati Bim berharap, jalan tol yang panjang ini tak berujung.  Ia masih ingin berada dekat Kin.  Jika mungkin untuk selamanya.
Sore yang basah. Air mata langit turun dengan deras. Alam yang muram, seakan mewakili perasaan hati dua anak manusia yang tak bisa lagi bersama. Mereka larut dalam diam. 
Bim menghidupkan cd player.  Sayup-sayup terdengar suara Adele berpadu dengan Billy Joel.
When the evening shadows and the stars appear
And there is no one to dry your tears
I could hold you for a million years
To make you feel my love
Tangan Bim yang bebas dari kemudi, menggenggam erat tangan Kin.  Kin hanya mampu menunduk menyembunyikan air mata yang mulai meluncur membasahi pipi. Melihatnya seperti itu, Bim remuk redam. 
“Jangan menangis Kin, I love you…” Suara Bim bergetar dan serak.
Isak Kin pecah.

***

Bandung, 00:05…
Bim mengepulkan asap rokoknya perlahan.  Sebelah tangannya masih bertumpu pada sisi jendela.  Kepalanya tertunduk.  Hujan menampar lembut kaca jendela.  Billy Joel samar-samar melantunkan bait-bait terakhir lagunya. 
I could make you happy, make your dreams come true
Nothing that I wouldn’t do
Go to the ends of the earth for you
To make you feel my love…
Bim beranjak ke meja kerja.  Tangannya menggeser kursor laptop.  Dibukanya akun email. Sedetik kemudian tangannya lincah mengetik sebuah pesan.

***                                  

Jakarta, 00:10…
Kin masih mencangkung di ceruk jendela.  Belum lama Adele menamatkan nyanyiannya, ketika bunyi berdenting dari Blackberry membuyarkan lamunannya.  Ada email masuk.  Dibacanya baris-baris pesan yang ditulis seseorang untuknya.
Kin, pernah dengar ini?
Cerita yang ditulis Tuhan selalu happy ending. Jika tidak, berarti cerita itu belum selesai.[1]
Aku berpedoman pada kalimat itu.  Mari berdoa, Kin, semoga suatu hari nanti waktu dan takdir memihak dan mengizinkan kita bersama, selamanya.
Love,
Bim

Tubuh Kin terguncang. Ia membekap mulutnya berusaha meredam suara isaknya.  Kin patah, namun ia sudah pasrah. 


[1] Dikutip dari status facecbook Swistien Kustantyana (alm).



Cerpen ini dimuat di buku antologi "Dongeng Patah Hati", Gagas Media, 2012



4 Comments

  1. Baca ini di kantor pas banget emang lagi hujan lalu buka youtube denger lagu Adel - Make You Feel My Love sambil baca cerita ini. Nyess banget :')

    BalasHapus
  2. wah, bisa pas gitu ya... emang lagu itu agak bikin baper, makanya ketulis deh cerpen ini :D

    BalasHapus
  3. Duh, sedih atuh ih. Manis-manis getir gimana gitu cerpennya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada pelakunya di dunia nyata loh hahaha

      Hapus