Rumah besar itu sedang ramai. Di setiap
sudutnya lampu-lampu menyala terang benderang. Aroma suka cita meruap ke udara. Senyum bertebaran di antara hangatnya obrolan, bocah-bocah yang
berlarian, sesekali derai tawa sayup di udara.
Suasana gembira di sebuah pesta.
Dekorasi rumah besar didominasi
warna-warna keemasan. Rangkaian bunga hidup hasil impor bertebaran di mana-mana.
Meja tempat hidangan utama ditata dengan apik,
mewakili selera tinggi si empunya hajat.
Pondok-pondok makanan lainnya berderet-deret menggugah selera. Barisan minuman pun beraneka warna dan rasa. Ukiran dari es bertuliskan angka 50 menjadi
titik pusat. Jelaslah sudah bahwa pesta
ini tentu bukan pesta orang biasa.
Perempuan itu memandang ke sekeliling. Bibir
tersenyum, namun gurat kelelahan tersirat di matanya yang kelabu. Sosoknya yang anggun terbalut kebaya dari kain brokat pilihan warna hijau tua berpadu
manis dengan kain batik pesisir bermotif bunga. Sesaat
ia menghela napas. Memohon diri sejenak kepada tamu-tamu yang sedari tadi
mengelilinginya untuk mengobrol.
Tiba-tiba saja ia ingin sendiri.
Saat mengambil gelas minuman, matanya
tertumbuk pada ukiran es. Serentak rasa
dingin merambati hatinya. Tak terasa
tubuhnya menggigil menahan perasaan yang ia simpan sejak lama. Lima puluh tahun… jiwanya pun terlepas
menembus masa lalu.
Usianya belum genap 19 tahun ketika Raden
Cakra Barata meminangnya. Pria tampan
keturunan bangsawan itu terpikat ketika tanpa sengaja mata mereka bertatatapan
di halaman belakang Bumi Ageung. Saat itu ia baru saja menjepit kain terakhir
di jemuran. Ya, baru seminggu ia menjadi buruh cuci di Bumi Ageung.
Walau firasat hati tak membisikkan
bahagia, demi cinta kepada kedua orang tua, ia jalani juga prosesi pernikahan
ala ningrat itu. Bahagia tersirat di
sepasang mata Ambu. Kebanggaan ada pada
kokoh jabat tangan Abah dengan
setiap tamu yang menyalaminya. Menyesakkan, tapi ia tak punya pilihan.
Ia pun melangkah memenuhi baktinya pada
dua orang tua yang sudah begitu kelelahan menjadi buruh tani sepanjang hidupnya. Meninggalkan sepotong cita-cita menjadi
sarjana. Meninggalkan secarik janji yang
telah tertulis pada sosok teduh yang menitipkan cinta untuk ditagih kembali
kelak.
Firasat hati jarang membohongi
naluri. Menjadi istri Cakra Barata sama
lelahnya dengan menjadi buruh cuci.
Sejak ia diboyong ke kota besar, tak tersisa lagi madu pengantin untuk
direguk. Sebagai suami, Cakra bisa
menjadi pembajak sawah yang mengendalikan kerbaunya dengan sesuka hati, atau
menjadi anak kecil yang merengek manja minta disuapi.
Dengan latar belakang keluarga kaya, tak
memakan waktu lama bagi Cakra untuk menjadi pejabat tinggi sekaligus pengusaha
sukses. Mereka dilimpahi materi
seolah-olah pohon uang tumbuh begitu saja di halaman rumah. Namun, hidup
bersama Cakra Barata tidak mudah. Ia seperti
sedang menaiki roller coaster. Kadang
tenang tapi kemudian menukik tajam tak terduga.
Memberi rasa tegang sekaligus memualkan.
Buah hati pun lahir beriringan. Walaupun
ruang hatinya hampir sesak terisi tiga permata, namun tetap saja menyisakan
sekotak ruang bernama hampa. Kadang ia bingung, harus menjadi apakah ia
dalam keluarga ini. Ibu kah? ayah kah?
Di mana Cakra?
Kemudian waktu berjalan melambat. Satu persatu awan mendung mulai berat
menggayuti hidupnya.
Awan kelam pertama datang seiring hujan
yang menderas sesorean. Munah memeluk kakinya, deras airmatanya sederas ribuan
maaf dan permohonan ampun yang meluncur dari bibir remajanya.
Munah baru berumur 19 tahun. Belum genap setahun dia tinggal di rumah
besar itu. Datang ke kota diantar abahnya,
mereka masih famili jauh. Remaja mekar yang penuh harap bisa melanjutkan
sekolah sambil membantunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kini Munah harus kembali ke desa, dia tak bisa
melanjutkan sekolah lagi. Munah berbadan dua.
Juragan
Pameget, terucap dari bibir merah muda itu. Hatinya serasa dirajam, raga pun remuk
redam. Perempuan itu berusaha tegar, selepas
subuh ia mengantar Munah pulang ke desanya.
Membekalinya dengan sejumlah besar uang dan sebaris pesan. Munah dan orang tuanya mengiringi
kepergiannya dengan segumpal sesal dan deras air mata. Mata perempuan
itu sudah kering.
Episode selanjutnya adalah malam penutupan
tahun. Undangan pesta untuk Cakra Barata
sang pengusaha sukses dan pejabat tinggi datang tiada henti. Cakra telah memilih satu, tapi tak mengajak
dirinya untuk turut pergi. Ia tidak memrotes,
yang selalu dilakukannya melepas Cakra pergi dengan senyum.
Keesokan harinya telepon rumah berdering
dan ia pun pergi menjemput Cakra di sebuah penthouse
mewah sebuah hotel berbintang. Minuman keras telah menghilangkan
kesadarannya. Ia tak memedulikan tubuh
yang tergolek polos di samping Cakra.
Sebelum kehebohan datang, dibantu sopirnya
yang setia, ia memapah tubuh Cakra.
Membawanya pergi melalui pintu darurat.
Mereka meninggalkan gedung berlantai banyak itu seolah-olah tak terjadi
apa-apa. Di jok belakang, perempuan itu
duduk dengan air muka setenang danau dengan Cakra duduk merosot di sampingnya. Sopir tua yang setia itu berusaha keras
melihat jalan di hadapannya, sementara matanya dipenuhi butir-butir bening.
Berita itu tak urung bocor juga. Ada saja orang
lapar yang gemar memakan bangkai. Dengan
sisa ketegarannya, perempuan itu mendatangi kantor media untuk menemui
pemimpinnya. Ketika tas berisi uang yang ditentengnya tak berpengaruh, ia meruntuhkan segenap harga dirinya bersujud
di kaki si pemimpin, memohon agar berita itu tidak diturunkan. Lelaki yang dikenal keras hati itu terkesiap,
menata hatinya sejenak, dan sesaat kemudian dia pun mengangguk.
Cakra adalah Cakra. Lelaki gagah bergelimang harta. Cakra adalah lelaki beraga dewasa namun jiwa
tetap remaja. Ia sabar menunggu Cakra menjadi
dewasa, tapi harapan berlari jauh dari kenyataan. Cakra seperti
kuda remaja yang tak berkendali.
Kali ini Cakra jatuh pada pesona penyanyi
dangdut yang baru menetas dan tertatih merintis karir. Yang dibutuhkannya hanya sepotong sensasi. Foto-foto
berserakan di atas ranjangnya. Amplop
berisi foto-foto itu ditinggalkan di dalam
kotak surat rumah bersama
majalah wanita yang memuat profil dirinya.
Di antara foto-foto itu, sebuah halaman majalah terbuka memuat foto
keluarga yang manis. Ia, suami dan putri-putri cantik mereka, tersenyum
layaknya sebuah keluarga yang harmonis.
Di ruang tertutup sebuah kafe tak terkenal,
ia berhadapan muka dengan penyanyi tak berkelas itu. Mereka saling menandatangani perjanjian. Ia menerima surat perjanjiannya dan perempuan
itu mendapatkan cek bernilai fantastis, serta kontrak ekslusif dengan sebuah
perusahaan rekaman.
Ia kelelahan. Berharap waktu lebih cepat berjalan, namun
harapan semakin jauh berlari meninggalkan kenyataan.
Kebahagiaannya tiba ketika ia melepas
putri-putrinya menuju kehidupan baru.
Namun pelangi hanya singgah sebentar saja di hidupnya yang selalu dipenuhi
hujan. Satu persatu putri-putrinya
datang kembali mencari pangkuannya yang nyaman untuk menumpahkan perih yang
ditorehkan sembilu suami-suami mereka.
Ia tak percaya pada karma. Tetapi peristiwa demi peristiwa yang telah
diukir Cakra di masa lalu, memaksa
hatinya menjeritkan selamat datang pada karma.
Matanya seringkali mencari mata Cakra.
Ia ingin meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuatnya. Saat mata mereka bersirobok, Cakra lebih
memilih segera menghindar. Adakah Cakra
menyimpan sesal?
Entah apa yang dibicarakannya dengan
lelaki-lelaki menantunya. Dalam
pertemuan khusus, satu demi satu menangis dengan bahu terguncang menahan
sesal. Seucap janji mereka susupkan saat
mencium takzim tangannya. Istana-istana
mungil yang nyaris retak itu perlahan merekat lagi.
Dalam hidupnya ia belum merasakan
keindahan dicintai. Dan, sesungguhnya
keindahan itu sedang menantinya.
Keindahan itu ada pada sorot mata sosok teduh yang dulu tak sempat
menagih cintanya. Ia tak sengaja beradu
pandang pada kesempatan ketika ia menengok Cakra yang harus menginap di sel
kantor kejaksaan karena tuduhan bisnis ilegal.
Sosok teduh itu membantunya membuktikan
bahwa Cakra tak bersalah dan membebaskannya dari tuduhan. Kini sosok teduh itu menagih cintanya kembali
dan berjanji memberikan keindahan untuknya.
Namun ia patuh pada sumpah setianya di depan penghulu dan memilih tak
melanjutkan keindahan itu.
Hidup terus berjalan. Lambat dan semakin berat. Sarat cadas dan hempasan badai namun ia tetap
berusaha seteguh karang. Kenyataan tetap
bergeming. Yang bisa ia lakukan hanya
beristirahat sejenak di malam-malam panjang penuh do’a dan air mata. Ketika ia mengadu pada kekasih sejatinya, menumpahkan keluh dalam
segenap kepasrahan.
Lemah ia menutup pintu jati rumah
besar. Keluarga terakhir baru saja
berpamitan. Bibir masih menyisakan senyum,
teringat lambaian tangan gemuk cucu keenamnya.
Lampu-lampu pun meredup, para pembantu sibuk membereskan sampah-sampah
sisa makanan. Pesta telah usai.
Ia pun ingin tugasnya selesai. Menghapus noda-noda, membungkus aib, dan
menyapu remah-remah dosa dalam keluarga.
Merekat istana pasirnya dengan do’a. Menyelamatkan keluarga
besarnya, agar mereka tetap bisa hidup dengan menegakkan kepala dan menyungging
senyum. Tanpa ada arang di kening.
Ia membalikkan tubuhnya yang mulai terasa renta.
Di hadapannya Cakra Barata memandangnya layu.
Ia menghampiri lelaki itu, mengelus bahunya perlahan, mengecup puncak
kepalanya, dan berlalu.
Lelaki yang dulu gagah itu tertunduk
menahan perasaannya. Terduduk lemah di
kursi roda dengan badan separuh lumpuh, bibir kelu tak bisa lagi menyuarakan maaf
pada perempuan itu. Bahunya terguncang
oleh tangis sesal sekaligus terima kasih untuk perempuannya, yang telah
mendampinginya selama 50 tahun tanpa sekalipun bertanya cintakah ia padanya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
** Cerpen ini dimuat dalam buku antologi "Perempuan Itu Sesuatu", Penerbit Universal Nikko, Tahun 2012
2 Comments
Kisah yang menarik. Wow ternyata cerita ini masuk antologi tho...
BalasHapusEntahlah pasti ada yg salah dalam dalam diri cakra di masa kecil hingga dewasa menjadi sosok manja yg segala keinginannya dituruti. Sosok manja yg seenaknya sendir tanpa mempeulikan dan memikirkan perasanan orang lain, meski itu istrinya yg setia dan anak2 buah cinta mereka...
Hiks.
Bisa jadi seperti itu ya, terlalu dimanja, gak pernah salah, anak ningratnya selalu distabilo jd gak punya empati... Ini fiksi tapi mungkin ada di kehidupan nyata 😉
Hapus