JALAN-JALAN KE KUALA LUMPUR BERKAH NGEBLOG PART 2 EPISODE MELAKA



Oke, masih cerita jalan-jalan gratis ke Kuala Lumpur, kali ini kheuseus petualangan di kawasan old town Malaka atau Melaka (baca: Melake) masih di hari pertama. Walau waktunya nggak terlalu lama juga, tapi buat saya petualangan singkat di kawasan kota tua Melaka cukup seru dan menyenangkan.


Kami sampai di Melaka menjelang jam sebelas waktu Malaysia, langsung di drop di area Dutch Street. Sebelum memasuki kawasan kota tua, kami melewati area pertokoan yang arsitektur bangunannya persis kawasan Pasar Baru Bandung jaman dulu. Jadi berasa Deja Vu. Atau kalau di Jakarta, seperti kawasan pertokoan di jalan-jalan yang menuju ke Harmoni itu lho.

Di Dutch Street atau Dutch Square, yang langsung menjadi pusat perhatian adalah air mancur kuno di tengah-tengah. Oiya, kawasan Dutch Street ini, dikenal juga dengan nama Red Square karena bangunan-bangunan tua disekelilingnya dicat dengan warna merah marun atau terakota (nb: warna favorit saya).

Queen Victoria's Fountain dibangun tahun 1901 dalam rangka memperingati diamon
jubilee pemerintahan Ratu Victoria. Air mancur ini masih berfungsi dengan baik
sampai saat saya berkunjung ^_^

Red Clock Tower atau dikenal juga dengan nama Tan Beng Swee Clock Tower,
dibangun pada tahun 1886. Bangunan ini ditujukan sebagai simbol kehormatan untuk
Tan Beng Swee, seorang tycoon chinese yang entah apa jasanya di masa pendudukan
Belanda itu ^_^. Btw ini tower aslinya berdiri tegak dengan gagah, yang miring yang
motretnya... hehehe... maafkan sedikit oleng saya 😂

Nah, karena pegel harus motretin gedung satu-satu, jadi ini aja ya sekalian narsis depan monumen khas Melaka. Kurang afdol
kalau nggak foto di monumen ini. Jadi, gedung di belakang itu adalah The Stadthuys, dibangun sekitar tahun 1640-1641,
dulunya adalah tempat tinggal Gubernur Belanda dan pegawainya. Sekarang difungsikan sebagai museum sejarah dan
ethnografi. Di samping eh apa di belakang gedung ini ya, ada bukit tempat memuat memorial pejuang-pejuang yang
gugur pada masa penjajahan. Tapi, saya sih nggak ikut naik... stamina udah drop... hehehe.
Arah sebelah kiri adalah bangunan Christ Church Melaka, dibangun tahun 1753 pada masa pendudukan
Belanda. Gereja ini merupakan gereja protestan tertua di Malaysia.
Melaka Art Galery ini letaknya di sebelah Christ Church Melaka, dulu bangunan ini
difungsikan sebagai sekolah, kemudian kantor pos sebelum akhirnya dijadikan
museum. Bangunan ini berdempetan dengan Malaysia Youth Museum.

Nah ini penampakan Muzium Belia Malaysia alias Youth Malaysia Museum, sayang waktunya nggak cukup jadi nggak sempat lihat-lihat isi museumnya. Apakah banyak anak muda Malaysia di dalamnya? hahaha... entah ya... 😋
Di Red Square itu ada juga sepeda hias yang bisa disewa. Harganya disesuaikan dengan rute, tapi saya lupa nanya detailnya
soalnya nggak berminat naik 😁 tapi temen saya bilang sih hati-hati, harus pinter nawar, dan kalau selfie deket sepeda aja
suka diminta bayar antara RM 5-10, wih mahal juga... saya sempet selfie tapi selamet nggak disuruh bayar :)))

Sebetulnya dibalik foto-foto menawan itu ada kisah pilu yang kualami 😅😅. Cluenya adalah "high-heels". Seperti yang udah diceritain di Part 1, tour ke Melaka itu terjadi karena ada perubahan rencana, dengan demikian saltum lah saya dan juga salah pake sepatu. Walau sepatu yang saya pakai itu modelnya wedges, tetep aja kalau haknya tebel bikin masalah juga kalau harus dipake berjam-jam. Dan derita itu udah saya rasa sejak di bandara, namun apalah artinya berbagi derita dengan teman seperjalanan, jadi saya simpan aja sendiri sakitnya jempol berdenyut itu. Walhasil, yang ada di pikiran saya sepanjang perjalanan menuju Melaka adalah cari sepatu yang nyaman, atau minimal sendal *iya, katakan saya kurang pengalaman dan ngeyel males waktu suami nyuruh bawa sepatu cadangan, soalnya koper udah penuh*

Begitu clek dari mobil di Red Square, mata langsung jelalatan nyari toko barangkali ada pertokoan yang jual sepatu. Dan yang ada hanya barisan kedai-kedai penjaja souvenir. Dengan sedikit akting supaya jalan nggak terlalu tampak terpincang pincang, saya mengikuti rombongan mengekor Bu Yusti yang lincah dan penuh semangat mencari spot foto terbaik dengan banner Stellavingze.

Sekilas saya lihat di salah satu kedai suvenir ada sandal-sandal nangkring, oh wow thanks, God... dan saya gelisah pengen segera beli sendal, tapi dicegah karena mau foto bareng dulu. Baiklah...

Misi pertama tercapai! Foto dengan banner Stellavingze di spot old building Melaka. Fokus pada sepatu dan senyum
menahan nyeri betis dan jempol 😂
Setelah misi pertama selesai saya dan Herva, yang berniat mau beli kacamata hitam, segera memburu kios-kios suvenir di pelataran gedung Stadthuys, di kedai ke tiga barulah saya menemukan sendal yang modelnya nggak sekedar sendal jepit... hahaha... fashion tetep diperhitungkan.

Tapi... kok kok kok model sendalnya kayak pernah liat dimana gitu yaaa... hihihi...  ada sendal ala Bali, yang itu lhooo model kayak sendal jepit swallow warna-warni yang jepitannya dikasih manik-manik *lupa foto* dan yang ini... kok kayak sendal Tasik sih. Jaelaaa... jauh-jauh ke Melaka dapetnya sendal Tasik juga, wkwkwk... harganya dua kali lipat pula.

Sandal model anyaman dari bahan tikar ini bisa ditemukan di pusat kerajinan anyaman
di Rajapolah Tasikmalaya, di Melaka sana harganya RM 10 sekitar 30 ribu rupiah,
nggak bisa ditawar kakak... mentang-mentang di spot wisata ya,  ini terpaksa saya beli
soalnya nggak punya pilihan lain, saksinya Herva soalnya yang milihin juga Herva 😂

Nah, setelah ganti sendal saya pun bisa bernapas lega. Jalan-jalan mengitari Red Square jadi lebih semangat. Tapi, jalan-jalan di seputaran kota tua itu harus dihentikan dulu karena Bu Yusti ngajak makan siang... okeee siaaap, Bu... perut udah bunyi juga sih, sarapan nasi lemak sekotak ukuran bekal anak TK di pesawat emang kurang nendang, hihi...

MAKAN SIANG BARENG CEO INTERNATIONAL ENTERPRISE

Setelah Miss Mona tiba menjemput, rombongan pun diangkut menuju ke Restoran Nyonya Makko, yang konon merupakan salah satu ikon kota Melaka juga karena termasuk restoran legendaris yang sudah dirintis dari tahun 1960-an. Restoran ini menyajikan masakan chinese yang direkomendasikan halal.

Lokasi restoran terletak di kawasan Taman Melaka Raya

Sampai di restoran tujuan, kami disambut antrean, karena nggak ngerti kami pun mengekor Bu Yusti masuk ke dalam restoran yang penuh. Melihat ada satu meja kosong, kami pun langsung menghampiri dan langsung "dihardik" oleh pelayan 😂 "Tulis nama dulu! Tunggu di luar!" warning mereka dengan nada galak.

Oow rupanya mekanisme di restoran itu harus tulis nama dulu untuk reservasi kemudian tunggu di luar, karena masih ada antrean. Walhasil kami kebagian urutan keempat... glek... oh perut, sabar ya...
Jam operasional restoran ini memang unik. Buka pas jam makan siang mulai pukul 11.30-14.45 waktu Malaysia, setelah itu tutup dulu dan buka lagi menjelang waktu makan malam pukul 18.00-21.30.

Suasana di restoran Nyonya Makko saat jam makan siang. Semua meja untuk keluarga penuh... nuh... 
Byuuuh... setelah menunggu cukup lama, akhirnya giliran kami pun tiba. Kami pasrah pada menu yang dipilihkan Bu Yusti. Iyalah Bu... buat milih menu aja saya sih udah nggak punya tenaga. Untung selama masa nunggu pesanan itu, disediakan cemilan berupa krupuk... lumayan buat ganjel perut. Kalau perut kosong, otak suka rada lemot nangkep informasi, dan baru ketika makanan terhidang saya baru ngeh, kenapa Bu Yusti sengaja ngosongin satu kursi.

Ini dia menu makan siang kami. Ada Ikan Goreng Chili Garam, ayam entah bumbu apa (nggak sempat nyicip), omelet telur yang enak banget, sambal squid (cumi-cumi), tumisan kangkung, sama Lady's Finger semacam sayuran yang nggak tahu namanya, kalau nggak salah sih ercis, yang dikasih toping sambal goreng. Foto sebelah kanan itu Asam Ikan, ikan goreng tapi dikasih kuah yang enak banget, asem seger gitu... cocok emang dimakan siang hari.

Tadinya saya pikir oh, Bu Yusti ngundang temannya ikut makan siang. Dan ternyata... saya baru nyadar kalau si teman itu adalah Datuk DR. Alan Wong, uhwooow... beliau adalah owner sekaligus CEO Melilea International Enterprise. Perusahaan besar yang mempunyai cabang di (((sembilan))) negara. Glek... degdegan... *lirik sendal jepit* rasanya pengen nangis dan nyesel kenapa nggak ganti sepatu lagi... tapi akhirnya memilih pasrah dan touch up aja deh benerin muka. Kali aja kalau muka rada bener, Datuk Alan nggak sempat lirik sendal jepit guwe... 😅

Kurang lebih tiga jam pasang ekspresi "jangan keliatan ngantuk" hahaha... karena Datuk Alan semangat terus jadi main key note speaker di seminar gratis siang itu
Ekspresi serius mendengarkan sharing pengalaman hidup Datuk Alan dan Datuk Stella 
Jadi kenapa kok bisa makan siang sama Datuk Alan dan apa hubungannya ladies tour kami dengan Melilea Enterprise ini. Begini, tour kami ini kan disponsori oleh Stellavingze, pihak penyelenggara lomba review buku "Kebahagiaan Yang Kutahu", yang mana buku itu adalah kisah perjalanan meraih kebahagiaan dan sukses-nya Datuk Stella Chin, dan beliau ini adalah istri dari Datuk Alan Wong.

Stellavingze sendiri adalah semacam yayasan atau lembaga pengembangan diri yang didirikan oleh Datuk Stella Chin dan didedikasikan untuk para wanita di seluruh Asia. Pasangan suami istri ini adalah owner dan pemimpin Melilea International Enterprise, perusahaan yang bergerak di bidang penjualan produk organik untuk healthy food, skin care, body care dan home care.

Karena Datuk Stella masih banyak urusan di luar Malaysia dan belum ada jadwal kembali ke Malaysia, jadi sang suami berbaik hati mewakili istrinya untuk menemui kami, yang sejatinya adalah tamu-tamu yang diundang Datuk Stella Chin. Gaya kan kamiiii... boleh bangga kan saudara-saudara? wekekeke...

Obrolan makan siang kami dengan Datuk Alan sampai (((tiga jam))) lho, beliau dengan sabar berbagi cerita mengenai perjalanannya bersama istri tercinta membangun bisnis dari nol sampai sekarang bisa berkembang di 9 negara *wow*. Sempat juga mengalami pahit jatuhnya bisnis di awal-awal usia pernikahan mereka. Kemudian bangkit lagi, hanya dengan tenaga berdua saja tanpa bergantung pada orang lain. Diceritakan juga awal mula membangun bisnis di bidang organik ini setelah bertemu ilmuwan yang mengembangkan pertanian sayuran organik.

Datuk juga berbagi tentang kehidupan keluarganya, kunci meraih sukses, kebahagiaan dan financial yang secure, juga soal kesehatan. Prinsip-prinsip hidupnya selama kondisi dia masih di bawah sampai sekarang dengan aset yang tersebar di mana-mana pun dia uraikan dengan gamblang. Lengkapnya sih baca aja di buku "Kebahagiaan Yang Kutahu" itu semua tertuang juga di situ. Tapi yang membuat saya terkesan adalah prinsip kesederhanaannya, "kalau belum mampu ya jangan memaksakan membeli sesuatu". Jleb... lirik kartu kredit... hahahaha... walhasil, selama di Malaysia saya disiplin nggak pake kartu kredit 😀

Selama sharing section itu hati dan benak saya penuh. Demi apaaa... coba orang selevel beliau itu mau capek-capek datang nemuin dan makan siang bareng kami ini yang apalah atulah gitu. Dengan jujur beliau juga bilang kalau dia baru pulang dari luar negeri dan tiba di KL jam satu malam. Wah... apresiasi saya untuk beliau nambah lagi. Jadi kesan saya ngeliat Datuk Alan itu orangnya humble banget, simpel, pinter udah pasti, tapi kocak juga.

Nggak terasa tiga jam sudah waktu berlalu menyimak obrolan Datuk Alan, restoran sepi, meja-meja udah kosong kecuali meja kami, dan pelayan udah mulai nyapu-nyapu 😅. Rupanya restoran memang udah tutup untuk persiapan rit kedua menjelang makan malam nanti.

Pose terakhir sebelum berpisah dengan Datuk Alan Wong sambil berdoa dalam hati semoga beliau nggak sempat ngelirik sandal jepit gue... *teteeeeep*

Oke, kami pun harus berpisah dengan Datuk Alan. Tapi... ada hal tak terduga yang membuat saya makin salut. Driver-nya Datuk Alan menghilang entah kemana, rupanya ada miskomunikasi. Waktu nelepon keliatan sih Datuk Alan agak kesal juga, tapi nggak sampai marah-marah sadis gitu. Wah, kalau bos saya dulu, dapet kejadian kayak gitu udah abis sopirnya dimaki-maki atau saya, sekretarisnya yang diomelin *nasiiiiip*.

Tapi Datuk Alan santai banget, akhirnya beliau nanya ke Bu Yusti tujuan kita selanjutnya. Bu Yusti bilang kita bakal kembali ke kawasan kota tua lagi, soalnya tadi kan belum puas ngubek-ngubek seputaran Red Square-nya. Eladalaaah... Om Datuk ini dengan santainya ikut aja gitu naik mobil travel kita, gabung sama kita yang udah bau-bau keringet gak jelas ini... hahaha... dan di dalam mobil, dia dengan akrabnya ngobrol lagi sambil ngeliatin foto-foto anaknya waktu liburan ke Alaska.

Duh, di Melaka nggak ada taxi semacam silver bird gitu ya... jadi si bos-bos ini nggak numpang mobil travel sesak dengan driver Miss Mona yang wajahnya bingung kenapa ada penumpang gelap ikut di mobilnya 😂. Nggak tahu apa dia kalau yang numpang mobilnya itu bos perusahaan besar, coba kalau tahu kali minta foto bareng buat endorse 😆

Nggak sampe setengah jam kita udah sampai lagi di kawasan Red Square. Datuk Alan juga ikut turun dan akhirnya nunggu drivernya di situ ditemani Bu Yusti. Rombongan terpisah jadi dua karena saya, Herva, Alida, dan Hana berniat sholat Ashar dulu. Supaya efisien akhirnya diputuskan kami berpencar, Belinda dan Gloria jalan berdua, tapi janjian jam 05.30 udah kumpul lagi di area taman air mancur itu.

Aaaah... masih ada nih section berikutnya jalan-jalan seru abis sholat itu. Ada cerita menyusuri riverside, foto-foto di spot lucu, Jonker Street... aaaah tapi aku lelaaah *manja* hehehe...

Gimana kalau nanti disambung lagi ya ceritanya. Saya mau ngintip Goblin dulu nih... yak yak yak.... oke bye dulu sampai di sini... nanti disambung lagi 😘

BACK TO PART 1

Love,


14 Comments

  1. Aku jg takjub itu org nomor 1 nya ga dikenalin jg pas lg makan gt ya? Bener2 humble bgt ya mbak.. Aku ngiler liat makanannyaa.. Trutama lady's fingernyaaa.. Itu makanan favku pas msh kuliah di malay.. Udh enak trs murah :p. Maklum masih kuliah uang msh dijatah mbak :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. senengnya bisa kuliah di malay, iya enak2 ya makanannya tapi di KL gak sempet kulineran soalnya waktunya padat. Eth tapi lady fingers itu nama sayurannya apa sih ya bener gitu ercis? kayaknya di Indonesia jarang liat.

      Hapus
  2. Aah hana niru mba ina aja ah misah2in cerita pengalamannya.. Keren banget mba masih inget dan lengkap :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kalau disatuin satu postingan kayaknya jadi nggak detail, aku kan orangnya banyak cerita :D

      Hapus
  3. Wah, keren, bisa jalan2 karena blogging :)

    BalasHapus
  4. Mbaaaak asyik banget jalan2nya. Pas baca part 1 di KLIA iya jd inget oppa suh do woo hahaha. Emang ya mbak itu ceo makin menguning padi makin merunduk. Dia salah satunya

    BalasHapus
    Balasan
    1. eish... fansnya Suh Do Woo juga ya :D iya harus diteladani, kaya dari hasil kerja keras, udah berhasil tetep sederhana dan humble

      Hapus
  5. Hahaha ampun dah si sendal 😁 Datuk Alan waktu sharing di hotel emang asyik sih, lucu juga jadi ga bosen.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yakan seru orangnya... ngobrol tiga jam aja sampe nggak berasa :D

      Hapus
  6. Baca tulisannya bikin mupeng Mbak Ina. Pingin banget bisa sampai sana :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. insya Allah ada jalannya ya mbak Wahyu... semoga bisa kesampaian

      Hapus
  7. asyikk... bisa jalan gretong..., klo tau bawa sendal banyak dari tasik ya mba..trus gelar lapak disana hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. naaah itu diaaa... ide bagus tuh, bisa diaplikasikan buat next trip :D

      Hapus