![]() |
foto : kolpri |
Judul Buku : Norman Edwin: Catatan Sahabat Sang Alam
Editor : Rudy Badil
Penyusun : Dias Salim, Christina M. Udiani, Pax Benedanto
Penerbit : KPG
Cetakan : I, 2010
Jumlah Halaman : xvi + 423 halaman
ISBN-13 : 978-979-91-0239-2
Buku ini sarat tuturan perihal perjalanan dan pengembaraan Norman Edwin di alam liar serta persahabatannya dengan berbagai manusia di dataran rendah, tinggi, dan pucuk serta kolong bumi. Norman memang rela dan sengaja bersahabat dan bergaul dengan mereka yang hidup di sela rimba pekat, di tepian sungai batu, dan di atas gelombang lautan serta pemukim di dataran batu berselimut butiran salju. Dia selalu berusaha menjadi sahabat sang lam yang maha besar dan maha bersih. (Rudy Badil, Sapaan Buat "Sahabat Sang Alam", xi)
Sebelum menuntaskan buku ini, saya lebih dulu membaca buku
Catatan Perjalanan Menyusuri Garis Bumi, Clement Steve, terbitan Grasindo. Di tengah-tengah, baru saya ingat pernah
membeli buku serupa di pameran buku di Bandung, sekitar tahun 2011.
Saya langsung cek rak buku. Benar saja buku ini masih ada
dan sudah agak menguning. Segera setelah
saya menamatkan buku Clement Steve, saya sambung membaca buku Norman Edwin.
Pemuda-pemudi yang berkecimpung di dunia pencinta alam era
tahun 80an sampai awal 90an tentu mengenal siapa Norman Edwin. Jebolan Mapala
UI ini sangat dikenal keberaniannya yang tanpa ampun selama bergaul dengan
alam liar. Sering terlibat dalam ekspedisi yang menantang maut. Sebut saja pendakian
puncak-puncak tertinggi di dunia, penelusuran goa-goa perawan di dasar bumi, menaklukan
jeram-jeram ganas di berbagai pelosok Indonesia, memanjat tebing terjal,
mengarungi samudera dengan menggunakan kapal layar tanpa motor, dan sempat
menjadi awak kapal Phinisi yang berlayar ke Madagaskar. Yang paling unik,
Norman pun terlibat dalam operasi pemindahan Gajah di Sumatera Selatan pada
tahun 1982. Bukan main.
Bagaimana saya tahu tentang Norman Edwin? Wah, banyak baca dong…
xixixi …
Kalau ada yang sampai tidak kenal masternya pencinta alam
Indonesia dengan segudang pengalaman, rugi deh.
Pengalaman yang tidak main-main pula. Bersama buku ini, saya menuntaskan
hasrat terpendam berpetualang di alam, yang tak kesampaian karena terbentur
izin ayahanda dan kekuatan fisik yang pas-pasan.
Buku Norman Edwin: Sahabat Sang Alam adalah semacam kliping
dari tulisan-tulisan Norman yang dimuat di berbagai media: Mutiara, Suara Alam,
Intisari, Suara Pembaharuan dan Kompas, di mana Norman pernah bekerja sebagai
wartawan. Enam puluh empat artikel berhasil
dikumpulkan. Kata pengantar untuk setiap bagian ditulis oleh Rudy Badil,
sahabat Norman, dengan bahasa yang lincah dan selipan istilah bahasa prokem,
khas anak 80an.
Buku ini dibagi dalam enam bagian. Setiap bagian berisi
artikel-artikel yang dikelompokkan sesuai dengan jenis ekspedisinya. Penasaran?
Mari… saya sharing isi bukunya.
Bagian 1, Ujung Pangkal Rintisan ke “Tujuh Puncak Dunia”
Dengan gaya bahasa yang tidak membosankan, Norman menuturkan
pengalamannya ketika menjalani ekspedisi ke puncak gunung bersalju seperti Jayakusuma,
Kilimanjaro, Elbrus di Rusia, McKinley di Alaska. Pembaca akan turut merasakan
keseruan dalam setiap menit pendakian itu. Juga turut merasa tegang ketika
Norman menceritakan kondisinya saat diserang badai salju, terkena penyakit
akibat ketinggian yang bisa fatal akibatnya jika tidak segera mengambil
keputusan yang tepat. Pada bagian ini,
Norman juga menulis secara mendetil mengenai pengelolaan ekspedisi perjalanan
untuk perintisan. Saya rasa ini sangat baik dijadikan pedoman bagi para
pencinta alam pemula atau yang sudah berpengalaman sekali pun.
“Melalui bagian ini, Norman berbagi saran dan pengalaman kepada rekannya yang berniat membuat ekspedisi. Meski terbitan itu tertanggal 1 Juli 1986, tapi masih bisa menjadi pegangan sampai sekarang. Kiranya bagian 1 dapat menjadi bacaan bermutu serta memuat saran bagus soal beraktivitas yang benar, bukan sekadar hura-hura dan “ekspedisi-ekspedisian”. (Rudy Badil)
Bagian 2, Pengembara Berbekal Otot dan Otaknya
Pada bagian ini, dengan gaya berceritanya yang enak dibaca,
Norman menuliskan pengalamannya menaklukan jeram-jeram berbahaya di Sungai
Kapuas, kemudian Sungai Alas di Aceh Tenggara di mana ia kehilangan sahabatnya,
Sungai Progo yang nyaris mengambil nyawanya, dan Sungai Serayu yang juga harus
dilalui dengan berat karena lagi-lagi menelan korban jiwa.
Namun ada satu jeram di Sungai Kayan yang tak berani
ditembusnhaya. Jeram yang penuh misteri dan mistis tersebut ia lewatkan. Balasannya, ia bersama teman-teman dari Mapala
UI disebut-sebut sebagai tim pertama
yang berhasil menaklukan Krueng Tripa, yang disebut sebagai Sungai Sang Raja,
yang mengalir dari Aceh Tenggara sampai membelah Aceh Barat. Menurut Norman, olah raga arung jeram bukan barang baru di
Indonesia (pada saat itu), bahkan bisa jadi olah raga ekstrim ini adalah olah
raga tradisional di Indonesia. Lihat saja pemuda-pemuda di pedalaman
Kalimantan. Bagaimana piawainya mereka menjalankan perahu di sela-sela batubatu
cadas dan jeram-jeram ganas.
Bagian ini juga membahas ekspedisi Norman ke dasar bumi.
Tempat-tempat gelap yang nyaris tak masuk akal untuk dijelajahi seperti Luweng
Ombo (sekitar Madiun), lubang raksasa yang misterius, juga Luweng Musuk walau tak selebar dan
sedalam Luweng Ombo.
Norman juga berbagi pengalamannya mengunjungi El Capitan, dinding batu curam berketinggian
900 meter, yang terletak di Taman Nasional Yosemite, California, Amerika
Serikat, yang disebut-sebut sebagai "Mekah-nya" pemanjat tebing curam. Walau
Norman tidak melakukan pemanjantan melainkan penelusuran lewat punggung El
Capitan, ia sudah cukup puas.
Bagian 3, Mabuk dan Muntah-muntah Modal Tulisannya.
Hahaha… judul yang unik. Tentu saja, Norman tidak akan puas
menjelajah alam hanya dengan mendaki, memanjat, dan turun ke dasar bumi. Alam
bahari pun harus ia taklukan. Maka
Norman bergabung dengan tim kapal layar yang sedang berlomba dengan rute dari Darwin
ke Ambon. Lelaki setangguh Norman pun
takluk oleh mabuk laut. Tapi hal itu tak membuatnya kapok. Ia kemudian menjadi awak kapal pasangan
Inggris pemilik kapal pinisi Ammana Gappa. Mereka berlayar dari Makasar ke
Madagaskar. Dihadang badai yang mengakibatkan gelombang setinggi 7 meter, bayangkan… seperti adegan dalam
sebuah film. Untung mereka semua selamat sampai di tujuan, dan Norman
menuliskan pengalamannya itu dalam sebuah artikel yang dimuat di Kompas, Sabtu
28 Desember 1991.
Bagian 4, Pencinta Alam Versi Sahabat Sang Alam
Di bagian ini, memuat tulisan-tulisan Norman yang menuangkan
pengalamannya bergabung dengan Tim SAR dalam pencarian pendaki-pendaki yang
mengalami kecelakaan di gunung. Gunung
yang paling banyak menelan korban disinyalir adalah Gede-Pangrango, dan Gunung
Lawu. Terlepas dari cerita mistis, faktor cuaca buruk, dll.
Norman memberikan analisisnya soal musibah yang sering emnimpa pendaki-pendaki berusia belia tersebut (SMP-SMA).
Rata-rata dari mereka adalah pendaki
pemula berusia belia (SMP-SMA), tujuan mereka mendaki gunung sekadar hura-hura,
seringkali menyepelekan perlengkapan seperti pakaian yang layak dan asupan
makanan yang sekadarnya. Norman mengungkapkan pendakian bukan masalah sepele,
ada limit jumlah kalori yang harus dipenuhi agar tubuh tetap bugar dan fit
selama pendakian. Yang terakhir harus diperhatikan dan diperhitungkan adalah
bahaya hipotermia. Nah, camkan itu!
Pada bagian ke-5 dan 6, catatan perjalanan Norman di medan-medan
yang lebih “ringan”. Ia berjalan menelusuri
tempat-tempat yang mengundang rasa penasarannya, seperti bekas wilayah Danau
Bandung yang tersohor dari legenda Sangkuriang, yang diberi nama Situ Aksan
yang sudah tinggal nama saja. Sukabumi, Lampung, Gunung Galunggung di
Tasikmalaya , Operasi pemindahan gajah di Sumatera Selatan, kunjungan ke Baduy
Dalam sampai Arca Domas, tempat yang dikeramatkan oleh suku Baduy, dll.
Di bagian akhir, Rudy Badil menuliskan bagaimana Norman
sebagai suami dari isterinya Karina Arifin, dan sebagai ayah dari anak
perempuan bernama Melati. Jiwa petualangnya yang terbiasa bergaul dengan
kerasnya alam, tak melunturkan sisi lembutnya sebagai seorang ayah.
Diceritakan, Norman kerap membawa rekaman suara Melati ke mana saja ia dituggaskan
atau sedang berpetualang. Ia juga tak
pernah lupa menelepon Melati, karena menurutnya anak perempuannya suka sakit
kalau nggak ditelepon. So sweet…
Norman Edwin, Sahabat Sang Alam, menyerahkan raga dan
menyatukan jiwanya juga pada alam. Bersama sahabatnya Didiek Syamsu, ia takluk
pada keganasan puncak Aconcagua di Argentina. Petualangannya berakhir. Norman
Edwin dan Didiek Syamsu terkubur dalam timbunan es di salah satu puncak yang
termasuk sebagai “Seven Summits”, puncak tertinggi di dunia, pada bulan Maret 1992.
Pemakamannya di Tanah Kusir dihadiri ribuan pelayat dari
berbagai kalangan. Mulai dari Menteri-menteri sampai pemuda-pemudi anggota
pencinta alam dari berbagai organisasi. Ini membuktikan bahwa Norman Edwin
diakui eksistensinya di dunia petualangan. Di Indonesia ini masih langka, orang
seperti Norman Edwin. Pantas lah jika saat kematiannya, banyak sekali orang
yang merasa kehilangan.
Melalui kisah buku ini dan foto-foto di dalamnya, saya
merasa turut menikmati setiap langkah yang ditempuh Norman Edwin, walau mungkin
sekarang kondisi tempat-tempat yang sempat dikunjungi oleh Norman Edwin tidak
seasri dan sealami ketika ia pergi ke tempat-tempat tersebut. Entah karena
perubahan cuaca, perubahan alam itu sendiri, atau karena ulah manusia.
Dalam kata pengantarnya, Rudy Badil menulis:
Melalui buku ini “sahabat sang alam” bisa mengenal, meniru, meniru kebiasaan para pendahulunya: tak pernah lupa menulis dan memberitakan kepada khalayak umum pengalaman, pengamatan, dan perasaan hatinya tentang alam dan manusianya. Tentu saja, juga Sang Penciptanya. Amin.”
![]() |
www.stapala.com |
Langit mendada runduk kelabu
Di sini kita tak sempat lagi bicara tentang sepi
Dan membenahi jejak mimpi selama ini’”Hidup tak perlu
ditangisi!”, katamu
Untuk melintasi sungi
Untuk memulai hidup ini dibutuhkan keberanian
Namun tak usah berlebihan
Karena gerimis luruh pun menyimpan kemungkinan
Sungai yang angkuh tengadah dipermainkan musim
Mengubah kit a dengan nasib yang tak terduga
“Hidup harus lebih dari sekedarnya”
(Budi Belek alm.)
3 Comments
Menjadi seorang pencinta alam tak sekadar punya urat berani yang tebal dan mengekarkan sehingga alam serasa takluk pada manusia. Yang harus diingat adalah kerendahan hati agar nalar dan logika punya ruang sua. Petualang sekelas Norman Edwin saja pastinya masih bermain hitung berhitung sebelum memulai perjalanan agar tak menemui konyol. Para calon sahabat alam muda harus belajar daripadanya.
BalasHapussetuju. Dalam buku ini juga disentil masalah anak-anak remaja yang sering menyepelekan kesiapan mendaki gunung, karena mereka menganggap mendaki gunung itu sekedar "jalan2" biasa, hura-hura. Itu sebabnya terjadi kecelakaan. Selain itu diutarakan juga keprihatinan para petualang alam yang justru tidak memperhatikan kelestarian alam itu sendiri.
Hapusini postinga lama Mas, udah lima tahun lalu. Dulu pun saya dapetnya dari bazar buku. Mungkin masih ada di box buku diskon kalau ada Book Fair
BalasHapus