“Mama!”
Sosok mungil yang manis itu
tahu-tahu sudah berdiri di kamarku.
Aku sedikit terkejut tapi cepat kututupi dengan senyum cerah.
“Hai, Kea, sudah siap?”
“Semua sudah siap, Ma, kecuali
Mama. Lagi apa sih, Ma?” ucapannya
meluncur sambil membanting badan mungilnya ke atas kasur.
“Mama lagi merapikan dulu
alat-alat makeup bekas pakai tadi. Lima
menit aja,” pintaku dengan nada semanis mungkin melihat bibirnya yang sudah
membentuk kerucut.
“Oke deh, Kea tunggu di mobil ya. Papa sama Dik Arkan udah daritadi nunggu di
mobil,” cetusnya sambil bangkit dari tempat tidur.
Aku hanya mengangguk sambil
mengelap meja rias yang kotor karena bubuk bedak tabur yang
berhamburan.
“Kea bawain tas Mama deh,”
katanya lagi sambil menyambar tote bag merah maroon yang menggeletak di atas
tempat tidur.
Aku terkesiap. Dadaku berdebar. Tadinya aku akan mencegah Kea, tapi di sisi
lain ada yang menahanku. Aku takut Kea
malah curiga. Anak itu sudah terbiasa membawakan tas tanganku jika sedang bepergian, kalau tiba-tiba dilarang bakal aneh untuknya dan aku belum menyiapkan jawaban jika nanti dia menatapku dengan pandangan kenapa-Kea-nggak-boleh-bawain-tas-mama.
“Oh, iya… iya… makasih ya,
Sayang,” ucapku lemah sambil mengawasi Kea.
Gadis kecilku tak memberikan
respons. Dia tampak biasa saja. Bahkan keluar kamar sambil melompat-lompat dengan tas yang
disandangnya di bahu. Diam-diam aku
melepas napas lega. Tapi ini belum
berakhir.
Sesuai janjiku, lima menit
kemudian aku sudah membuka pintu mobil.
Mataku terbelalak dan nyaris menjerit saat melihat tas besarku ada di bawah dasboard berdesakan dengan goody bag yang berisi makanan ringan.
Untung saja masih bisa kutahan.
Duh… Kea…
Sambil berusaha tenang aku meraih
tas dan duduk di samping suamiku yang siap menyetir. Tanpa sadar kupeluk tas erat-erat sambil mengusap-usap bagian depan tas.
“Ehm….” Suamiku berdehem.
Aku meliriknya dan langsung
merasa sebal melihat senyum gelinya.
Tentu saja suamiku tahu rahasia yang kusimpan. Dia malah mengedipkan matanya. Mungkin maksudnya ingin menenangkan
diriku. Dengan hati masih terasa lemah,
aku memberikan isyarat untuk berangkat.
Perjalanan liburan ini harus
menyenangkan dan tanpa cela. Kea sudah
bermurah hati mengabulkan permintaanku agar liburan kali ini jangan pergi
ke tempat yang jauh. Aku mengusulkan Bandung sebagai destinasi liburan akhir tahun. Di Bandung pun
sekarang banyak tujuan wisata baru yang menarik. Sesungguhnya aku belum sepenuhnya lega saat Kea menyetujui
usulku. Masalahnya, aku sedang berada di
tengah kondisi pekerjaan yang tidak bisa diperkirakan kebutuhannya.
***
Aku melirik jam tangan. Setengah sembilan. Ketiga orang yang berharga di mataku ini
sudah pulas. Napas mereka turun naik
dengan teratur. Suara dengkur halus terdengar bersahutan. Rupanya mereka sangat kelelahan.
Kami tiba di Bandung sudah agak sore, jadi suamiku memutuskan untuk langsung menuju hotel. Setelah check in, malas juga mau jalan-jalan keluar hotel, akhirnya diputuskan kami akan menghabiskan waktu sore hari berenang dan bermain di kolam renang hotel saja.
Saat sedang santai sambil menikmati Iced Americano, aku melihat ada pesan masuk di aplikasi Whatsapp. Buru-buru kubuka sambil melirik ke arah kolam. Anak-anak masih anteng berlayar di atas balon air berbentuk unicorn yang sedang hits. Dengan cepat kubaca isi pesan terbaru dari nama yang sangat kukenal. Pesannya pun singkat saja, Mbak cek email ya. Fyuuuh... terjadi lagi deh.
Pelan-pelan aku turun dari tempat
tidur. Mematikan televisi dan
lampu. Aku duduk di depan meja tulis. Dadaku berdebar, menahan perasaan tegang. Kutarik
napas kemudian mengembuskan lewat mulut.
Dengan hati-hati kutarik sesuatu yang kurahasiakan dari dalam tas.
Laptop! Walau ada perasaan bersalah saat kulirik Kea yang sedang tidur nyenyak, tapi mau bagaimana lagi. Sebagai penulis yang naskahnya sedang dalam proses naik cetak, harus siap kapan saja dihubungi oleh editor jika ada revisi atau proses proof layout, ilustrasi, dan cover. Dan pekerjaan-pekerjaan itu harus segera diselesaikan, kalau tertunda otomatis mempengaruhi jadwal cetak.
Kejadian seperti ini pernah terjadi saat liburan tahun lalu. Seharian aku sibuk di kamar hotel karena ada permintaan revisi dari editor. Aku jadi tidak bisa menemani anak-anak ke satu tempat wisata. Kea sempat ngambek dan bilang tidak mau kejadian seperti itu terulang lagi. Makanya liburan kali ini dia mengajukan syarat, aku tidak boleh membawa laptop dan bekerja selama liburan. Tapi, bagaimana mungkin?
Aku sempat curhat pada Mila, sahabatku, waktu kami ngopi bareng sebelum keberangkatanku. Aku menceritakan dilemaku pada Mila. Awalnya dia menertawakan. Tapi, melihat wajah memelasku sepertinya dia kasihan juga.
“Tenang, Not, gue punya solusinya,” katanya dengan nada geli, pasti karena ekspresi wajahku yang memperihatinkan.
“Apa?” balasku sebelum menyeruput latte yang tinggal setengah cangkir.
“Ini….”
Mila mengeluarkan laptop dari dalam tas yang dibawanya. Mataku langsung membesar. Ah, kok cakep banget sih laptopnya.
“Ini, Not, bakal senjata rahasia, lo, ASUS ZenBook S UX391UA,” ujarnya dengan bangga.
“Tapi, masa gue kudu tiba-tiba beli laptop gitu? Model gini kan pasti harganya lumayan.” Tiba-tiba aku merasa lemas.
Laptop yang tipis itu tergeletak menantang di atas meja. Warna deep blue yang stylish menggodaku untuk meliriknya beberapa kali.
“Iya, sih… dua puluh enam jeti, Not,” balas Mila sambil ngakak.
“Tuh, kan, duh nggak ada bujet kali, mana mau liburan lagi,” keluhku pasrah.
“Tenang, Not, nggak usah panik, gue pinjemin laptop ini deh,” ujar Mila santai.
“BENERAN? Ehm….”
Buru-buru aku mengecilkan suara karena beberapa pengunjung kafe melirik ke arahku. Mila terkekeh. Puas banget melihat aku menahan malu. Tapi dia mengangguk juga.
“Serius, lo, Mil?”
“Iyaaa… Nyonya… kalem aja, laptop gue kan banyak,” cetusnya tanpa tedeng aling-aling.
Sombong sih, tapi memang kenyataannya begitu. Mila kan blogger handal, influencer papan atas, selebriti media sosial, kalau urusan barang sponsor sudah pasti bertaburan. Belum lagi prestasinya di ajang lomba blog, tidak heran kalau hadiah lomba juga bertaburan. Yang bikin kubangga sebagai sahabatnya, sebagian barang-barang itu dia berikan pada yang membutuhkan, entah kerabatnya atau siapa saja pokoknya yang dia nilai pantas untuk menerima. Pantas rejekinya mengalir terus.
“Mil, gue pengen nyium elo, Mil. Buat gue aja apa, Mil, permanently. Ada yang warna merah nggak?”
“Mulaiiii deh, ngelunjak….” Mila ngakak lagi.
“Nggak nyangka gue, lo bawa-bawa laptop tadi. Tas lo aja tipis gitu.” Aku meraih laptop di atas meja sambil menunjuk tas kulit model postman berukuran sedang dengan dagu.
“Hari gini, Not, masih bawa-bawa laptop pake backpack. Nggak baek, Not, buat kesehatan punggung. Sekarang udah jamannya yang tipis-tipis model ZenBook ini. Kalau lo bawa ini, cukup taro aja di tas lo, nggak perlu pake tas khusus buat laptop, jadi Kea nggak bakal nyadar kalau lo bawa laptop juga.”
Saran Mila itu agak menyesatkan sih, tapi buat aku yang lagi berada di tengah kondisi darurat, apa boleh buat dengan terpaksa kuterima saran Mila.
“Ringan banget ini, Mil. Ini bukannya ultrabook ya, Mil?” Aku menimang-nimang laptop dengan sebelah tangan.
“Sebenernya ini type ZenBook terbaru. Tapi karena tebalnya aja cuma 12,9 mm terus beratnya juga sekiloan gitu ya sah sah aja kalau mau dibilang ultrabook juga,” jelas Mila.
“Serius, lo, Mil, mau minjemin ultrabook ini ke gue?”
“Jyaaah… udah ah nggak jadi aja deh kalo lo cerewet,” balas Mila sambil tergelak.
Buru-buru aku memasukkan ultrabook Mila ke dalam tas, yang untungnya pas. Sambil terkekeh Mila menyerahkan adapter ultrabook padaku. Aku menghabiskan latte dengan perasaan senang.
Untung ada Mila. Ultrabook pinjaman ini ringkas dan ringan. Pantas saja Kea tidak curiga saat membawakan
tasku. Aku memang senang
menggunakan tas berukuran besar dan tidak
ringan, karena selau banyak item yang
kumasukkan ke dalam tas setiap bepergian.
Dengan penerangan seadanya dari
lampu meja, aku memeriksa sekujur bodi ultrabook ini mengingat cara Kea meletakkan
tasku di mobil, dan aku juga beberapa kali sempat lupa kalau ada ultrabook di tasku, jadi menaruh tas juga kurang hati-hati.
Mulus. Ah, lega... tapi belum full. Kubuka layarnya dan sempat kaget ketika
bagian keyboard secara otomatis membentuk sudut. Wah, inovasi baru nih, biasanya kan laptop
datar-datar saja posisinya. Kemudian kutekan
tombol power sambil berdoa semoga tidak memakan waktu lama. Dan, wow! proses boot-nya cepat sekali dan dalam satu kedipan windows sudah terbuka di
depan mata. Aku melirik sebentar ke arah tempat tidur. Tidak ada yang bereaksi.
Sekarang rasa lega sudah 100%,
sebab ultrabook bisa menyala dengan baik
artinya memang perangkat ini terbukti tangguh.
Jadi ingat keterangan Mila saat
kuutarakan rasa khawatirku, karena aku orangnya nggak terlalu apik,
gradak-gruduk gitu, agak berisiko kalau dipinjami barang mahal. Tapi
Mila meyakinkanu, ASUS ZenBook S UX391UA ini sudah lolos pengujian ekstrim dengan
standar militer. Drop test, vibration test, altitude test,
hingga penggunaan dalam suhu tinggi dan terendah, jadi body-nya itu sudah tersertifikasi military grade. Wih, ultrabook level Rambo ini mah.
Aku menyesuaikan terangnya layar. Aku bisa mengetik dengan nyaman dalam
gelap karena keyboard sudah menyediakan fitur backlight. Segera aku menghubungkan laptop dengan wifi
hotel. Koneksi internet dengan fitur
WIFI dual band 802.11ac ini bikin tenteram karena dijamin koneksi internet
lancar nggak terputus-putus gitu.
Kok bisa tahu sih sampai fitur
koneksinya segala bukannya itu laptop pinjaman ya? Barusan cek dulu apa sih keunggulan ultrabook ini,
habis penasaran sih.
Oke, sekarang cek email dari Mbak Ika, editorku. Mata sudah terlatih membaca cepat,
jadi cukup beberapa detik saja sudah tahu apa yang diminta. Tapi, revisinya kok lumayan banyak, dan aku
nggak bawa buku-buku referensi! Jangan panik, fokuuus… googling *hehe*. Walau kepepet, googling lah dengan penuh
tanggung jawab, cari sumber yang terpercaya dong. Itu prinsip aku kalau riset bahan tulisan.
Tapi sebelum meneruskan kerja,
aktifkan dulu fitur quite fan. Mila
bilang, fitur ini membuat kipas dalam ultrabook ini bekerja dengan lebih senyap, nggak
berisik seperti… laptop pribadiku *uhuk*. Eh, beneran lho sesudah mengaktifkan quite
fan, perangkat ini senyap banget, anteng nggak mengeluarkan bunyi. Fyuuuh… bisa bekerja dengan tenang tanpa khawatir mengganggu yang lagi tidur.
Baiklah, sekarang cari
referensi. Butuh searching, browsing, dan buka banyak website, kuat nanjak nggak nih ultrabook. Tapi, masa nggak sih, tadi ngintip
spesifikasinya perangkat ini performanya didukung oleh processor intel core i7-8550U
dengan kecepatan pemrosesan sampai 40 GHz.
Dan benar saja, aku klak-klik sana sini, buka ini-itu, sampai akses
Youtube juga, nggak kerasa ada sepuluhan laman yang kubuka dan laptop ini masih
anteng-anteng saja, kalem, loading nggak pake lama apalagi menunjukkan tanda-tanda hang. Aman.
Setelah mendapatkan bahan yang
cukup, kumulai proses revisi. Aku
memindahkan file naskah dari flash disk ke ultrabook Mila. Perangkat ini dilengkapi tiga port USB Type-C,
menurut keterangan di spesifikasinya, dua di antaranya adalah port Thunderbolt 3 dengan kecepatan
transfer data yang tinggi. Oke, aku nggak paham artinya, nanti tanya Mila deh kalau sudah balik ke Jakarta. Selain itu port USB tadi bisa digunakan sebagai
display output juga, jadi ultrabook ini bisa dihubungkan ke monitor ekstra atau
projector jika diperlukan.
Dan selama bekerja aku jadi
menyadari fungsi bagian keyboard yang membentuk sudut ini, apa ya istilahnya,
kalau nggak salah Mila bilangnya
Ergolift Design deh, mengetik jadi tidak cepat capek, karena posisi keyboard yang ergonomis, mengetik bisa dilakukan dengan punggung tegak. Dan karena bodi ultrabook
ini terangkat sedikit gitu, sirkulasi udara dalamperangkat juga jadi lebih
baik.
Kulirik lagi jam di tangan, angka
digital menunjukkan pukul 09:55, itu tandanya tidak sampai dua jam pekerjaanku
sudah selesai. Tapi, sebentar, masih ada
permintaan Mbak Ika untuk mengecek cover dan ilustrasi. Wah, ini kadang bikin salah paham soal warna,
soalnya aku sering minta warna lebih ditajamkan lagi padahal kata Mbak Ika itu sudah maksimal. Apa karena resolusi layar
laptopku berbeda ya dengan penerbit.
Tapi begitu buka file cover calon buku di
ultrabook ini, jreng! Aku langsung takjub.
Warnanya bagus banget dengan ketajaman yang pas. Penasaran kuintip lagi spesifikasi
layarnya. Ow, pantas saja layar ultrabook
ini sudah dirancang full HD (1920x1080 pixel), dan ini aku sebenernya baru
dengar sih, layar ASUS ZenBook S UX391UA memiliki color gamut Adobe sRGB 100% dengan kerapatan pixel 331 ppi jadi
reproduksi gambar lebih tinggi dari segi detail dan akurasinya.
Email balasan sudah terkirim ke Mbak Ika, dan sekarang saatnya istirahat. Aku lakukan
prosedur shutdown dengan tertib, padahal biasanya langsung tutup layar saja. Maklum kan barang pinjaman.
Sejenak kubelai ultrabook cantik ini dengan
mesra. Ah, aku berutang banyak nih sama
Mila. Kira-kira… kalau
dibujuk dengan memelas, Mila mau tidak ya melepas ultrabook ini. Duh, kok jadi ngebet banget pengen memiliki
ultrabook ini. Semoga berjodoh, ya Allah!
Setelah menyimpan kembali
ultrabook ke dalam tas dengan hati-hati, aku menyelinap ke bawah selimut. Berbaring sambil menatap wajah Kea yang tenang. Rasa bersalah kembali menyergap.
Ah, Mama sudah tidak jujur pada Kea. Maaf ya...
Besok akan kukatakan yang sebenarnya pada Kea. Lagipula pekerjaanku sudah tuntas. Kupejamkan mata sambil tersenyum, merasa lega karena besok bisa menemani anak-anak liburan tanpa rahasia.
Love,
7 Comments
tes
BalasHapusDari penampilannya saja, laptop ini sudah keren ya, Mbak Ina. Pas baca performanya, wih... jadi mupeng juga. Pastinya sangat membantu aktivitas menulis. Nuhun ceritanya, Mbak Ina.
BalasHapusiya, paket komplit ya hehe
HapusAhhhh..laptop idaman tapi tertohok dengan harganya itu, semoga ada rezekinya yaaa aamiin..
BalasHapusAamiin... semoga jodohnya deket 😀
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusThanks for sharing, semoga sukses terus..
BalasHapus