30 TAHUN BALADA SI ROY: MENGAPA HARUS DIRAYAKAN?


Begitu membaca flyer yang di-share relawan Rumah Dunia tentang 30 tahun Balada si Roy, niat langsung meletup: saya harus datang ke sana, walau setumpuk naskah jelang deadline mendesak untuk segera digarap dan diselesaikan, tapi feeling mengatakan, ini barangkali menjadi pengalaman sekali seumur hidup lo.  Gitu aja.

Saya mau ngaku dosa, sesungguhnya saya nggak baca BSR sampai tuntas (jangan rajam saya wahai pembaca BSR), bisa jadi karena nggak ada role modelnya, kakak-kakak saya cewek semua bacaannya majalah cewek, serial Enid Blyton, Alfred Hitchkock, Agatha Christie, Barbara Cartland, segala macam komik dan cergam.  Saya ini pembaca latah, membaca apa yang kakak-kakak saya baca.  Saya ketularan Kho Ping Kho dari Kang Ajat, pemilik taman bacaan langganan,  buku-buku Karl May dari Papih, Wiro Sableng... entah dari siapa saya lupa.

Jadi ketika BSR muncul tahun 1988 (saya masih kelas 2 SMA) saya nggak tahu.  Bacaan favorit saya waktu itu novel-novel karya NH Dini dan Pearl S.Buck yang saya pinjam dari perpus sekolah.  Saya juga nggak tahu ada seseorang bernama Gol A Gong (kalau di buku ditulisnya Gola Gong) di dunia ini.  Kudet.  Padahal sesekali saya juga baca Majalah Hai, saya tahu kok Keluarga Cemara, Imung, Anak-Anak Mama Alin, tapi kok BSR nggak familiar... *kok bisaaa ya*.


Barulah bertahun-tahun kemudian, setelah saya berkenalan dengan buku-buku karya penulis Forum Lingkar Pena (FLP) saya mengenal nama Gol A Gong dan saya membaca karya-karyanya, tapi bukan Balada si Roy 😂.  Kalau ini dikatakan Deja Vu, ketika saya melihat novel-novel tipis dari serial BSR ya saya mengenalinya, tapi dulu nggak tertarik menyentuhnya. 

Tahun 2010 Gong Publishing membuat bundel Balada si Roy.  Oh, saya pun semangat membelinya. Dua! komplit dengan tanda tangan penulisnya.  Ketika saya pamer di media sosial, sukses mengundang sirik teman-teman saya fans BSR dan Mas Gong.  Segitu dahsyatnya ya.  Tapi buku saya hilang satu... nggak ingat sama sekali, apakah saya hadiahkan atau ada yang pinjam tak mengembalikan.

Beruntung saya masih punya satu eks dan itu pun saya cari lagi karena ada acara ini *plak*  itu artinyaaaa... bukunya nggak pernah dibaca ya? *ampuni sayaaaaa Mas Gooong...*  yap, bertahun-tahun kemarin saya memang gatel membeli buku tapi nggak pernah dibaca, seperti saya membaca bundel BSR baru lima halaman pertama saya merasa lelah dan akhirnya berhenti.  Sepertinya daya sakaw pada buku lenyap akibat ganti addictive pada drama korea dan medsos yang  terkutuk!

Tapi, dua hari kemarin benar-benar pengalaman asyik bagi saya.  Menyaksikan orang-orang yang datang dari segala penjuru nusantara ini, dengan latar belakang yang berbeda, dengan warna kulit yang berbeda, dengan kepribadian yang berbeda tetapi DATANG! ke Rumah Dunia, karena ada yang mempersatukan niat mereka yaitu: Roy.

ODE TO ROY:  Pemujaan Selama 30 Tahun

Tantangan terbesar bagi seorang penulis adalah menciptakan karakter yang ageless dan unforgettable. Berkali-kali kalimat itu saya dengar di pelatihan-pelatihan menulis, yang kebanyakan pembicaranya pun nggak punya karakter dengan kriteria yang dia omongkan di dalam buku-bukunya sendiri.  Dodol! kenapa juga saya ikutan pelatihannya kalau gitu. 

Keenan dan Kugi dari Perahu Kertas apa kabar sekarang? Semua tokoh-tokoh dalam novel Supernova Dewi Lestari sekarang saya udah lupa.  Tokoh-tokoh Laskar Pelangi yang saya ingat cuma Mahar. Bahkan Dilan pun sepertinya nggak akan lama juga umurnya *hehehe*.

Tapi beda dengan BSR, kenapa Roy bisa begitu melekat dalam diri pembacanya selama 30 tahun ini, coba... why?  Jawabannya saya temukan dalam dua hari perhelatan merayakan 30 tahun BSR ini.   

Hari pertama, Sabtu, 10 Maret 2018, saya diracuni virus traveling oleh Daniel Mahendra, penulis buku Perjalanan ke Atap Dunia dan novel Niskala.  Lelaki berbadan besar ini mengaku kalau dia ingin menulis karena terinspirasi oleh penulis novel BSR.  "Gila! gue pengen kayak dia nih".  Makanya akhirnya dia menuliskan perjalanannya menjadi buku dan novel.  Pada hari itu, Daniel memberikan materi "Travel Novel".  Menarik!

Dan ternyata nggak cuma Daniel yang terinspirasi novel BSR untuk menulis dan traveling, di hari kedua saya berkenalan dengan Mbak Indri Juwono (@miss_almayra) dan Mas Bolang Sutiknyo (@lostpacker) yang juga menjadi traveler setelah membaca novel BSR.  Wow! Siapa tak kenal Mbak Indri dan Mas Sutiknyo di kalangan traveler dan blogger.  Mereka heitz banget dan menyaksikan film-film pendeknya Mas Lostpacker ini kok yaaa... membuat bulu-bulu roma saya berdiri. Keren banget cara Mas Bolang ini mengungkapkan kecintaannya pada negeri ini lewat video-videonya.

Nanti deh ya, materi dari mereka bertiga saya ceritain terpisah.  Yang pasti mereka sukses membangkitkan sesuatu yang sudah lama saya kubur dalam-dalam dan sekuat tenaga saya lupakan...  ini bahayaaaaaa... ransel mana ransel.

Di sesi kedua, bedah buku Ode To Roy terbitan Epigraf, barulah mata batin saya benar-benar terbuka dan mengerti mengapa BSR ini begitu dahsyat efeknya bagi pembacanya dan layak ditasbihkan sebagai masterpiece Gol A Gong.

Ki-Ka: Kang Firman, Kang Iwan Rasta, Kang Ali Saddle
sumber: FB Komunitas Rumah Dunia

Saya nggak tertarik dengan ulasan Kang Firman yang sudah bergelar doktor ini, lieur saya mah dengan istilah-istilah dan definisi kesusastraan, jujur aja slide-slidenya Kang Firman itu nggak ada yang saya mengerti *ampuni saya Kang Firman*.  Mau dibilang novel sastra mau dibilang novel populer, gelar itu nggak ngefek ke saya selama sebuah bacaan menyenangkan hati dan membuat kesan mendalam buat saya. 

Sebagai kesimpulan Kang Firman merangkum isi novel BSR itu dari kesan yang ditulis pembaca setianya di buku Ode To Roy sebagai pemberontakan, petualangan, inspirasi dan identitas.

Yang menarik bagi saya adalah testimoni langsung dari pembaca BSR, baik yang diucapkan langsung atau dituliskan dalam buku.  Daniel Mahendra merasa dekat dengan karakter Roy karena reachable, nggak seperti tokoh-tokoh dalam bacaannya yg lain.  Sedangkan Ali Saddle yang terkenal di medsos dengan nama macandahan ini, berkata jujur gara-gara membaca BSR dia berani meninggalkan kampung halamannya di Kalimantan dan bersekolah di Pulau Jawa, walau ditentang orang tuanya.  Abangnya, penyair kahot Hasan Aspahani, mengatakan dia berani bermimpi dan yakin bisa mewujudkannya setelah membaca BSR.  

Dan setelah membaca buku Ode To Roy (kali ini sampai tuntas) saya mengerti semengerti-mengertinya, mengapa mereka, pembaca setia BSR ini begitu respek pada Mas Gong dan mencintai novel BSR.

Ada tiga poin yang bisa saya tangkap setelah menghayati kesan-kesan para pecinta novel BSR ini, yang pertama setelah membaca novel BSR mereka menemukan dirinya ada pada sosok Roy, karakter utama di novel itu.  Roy itu gue banget deh. Kedua, mereka seperti mendapat teman atau menjadi teman untuk si Roy ini dan ketiga, mereka ingin menjadi Roy.

sumber: Instagram Rumah Dunia

Kalau mengacu pada ulasan Kang Firman, dalam novel BSR ada pemberontakan, yes setelah membaca novel BSR mereka menemukan keberanian untuk keluar dari keadaan yang mengungkungnya.  Melakukan avonturir, traveling kalau bahasa sekarang yah.  Hal itu dirasakan juga oleh pembaca-pembaca perempuan seperti Mbak Rohyati dari Garut, Mbak Denik yang waktu itu masih tinggal di Jawa Tengah, Umi Laila Sari, Jazim Naira Chand, mereka mengatakan hal senada bahwa sosok Roy membuat mereka lebih berani melakukan hal-hal yang belum pernah mereka lakukan, sehingga hidup mereka lebih berwarna.

Masalah krisis identitas yang terjadi pada pembaca-pembaca generasi kedua terselesaikan setelah membaca novel BSR.  Aldi Perdana dari Bandung mengaku hijrah dari yang tadinya anak badung menjadi lebih badung lagi... eh... nggak... hahaha becanda, jadi lebih baik lah ya.  Chintia Frastika menemukan jati dirinya tanpa ada kesan digurui, bahkan Zico dari Medan mengatakan lelaki yang penuh konflik semacam Roy, adalah role model untuk menjadi lelaki baru... kereeeen.

Novel BSR ini inspiratif.  Yes banget, karena Anggit Wicaksono dari Solo bisa bangkit lagi setelah mengalami musibah berkat sosok Roy.  Ramadhian F terinspirasi untuk menulis dan bergerak di bidang kemanusiaan karena sosok Roy yang empatinya tinggi, begitu juga yang dirasakan Agusri Junaidi: empati.  Jack Alawi terinspirasi untuk menjadi travel writer.  Rahmat Hadi, pemuda kampung asal Watampone, Bone berani mengikuti kata hati dan mengejarkan mimpinya juga karena membaca novel BSR.

Tapi ada satu kesaksian yang paling menggetarkan hati saya yaitu J. Hendry Noerman dari Lhokseumawe, yang menulis begini:
Membaca adalah hal yang membuat kami tetap hidup.  Dalam kesendirian, dalam kegelapan dan konflik.  Aku membaca dan berkhayal - Imajinasi lewat kisah BSR membuat aku mengerti arti manusia.  Menjadi kuat pada kondisi-kondisi kritis kenegaraan.  Membuang jauh-jauh kesedihan dan kekacauan sensitif konflik.  Trauma nan mencekam.  BSR adalah kekuatan untuk tetap hidup.
Epik.

Tapi ada juga yang punya pengalaman lucu, bang Suhari Pane dituduh meniru gaya berpakaian Jokowi gara-gara pakai baju kotak-kotak *bwahahahah*. Saking kesalnya dituduh seperti itu terus, Bang Suhari sampai menyuruh orang yang komentar itu melihat foto-fotonya di masa lalu. Kudet ya, Bang, mereka nggak tahu betapa kerennya sosok Roy pakai flanel kotak-kotak, kalau pakde yang pakai baju kotak-kotak... ah sudahlah...

Sahabat si Roy dari pembaca generasi pertama
Tak hanya lewat tulisan, pemujaan pada BSR ini juga dituangkan lewat lagu.  Salah satunya adalah Andi Malewa dan teman-temannya.  Waktu mereka tampil live, et dah merinding diskooo... sampe lupa ngevideoin.  Terpukau. Keren. Takut kamu penasaran, saya share video youtube-nya aja ya, mangga...




Ada yang usul kalo ini dijadiin theme song-nya film BSR nanti. Kalau saya sih yes, nggak tahu kalau Bunda Maia *lame joke... hehehe*.  Ah, pokoknya salut sama orang-orang ini. Cheers!

Setelah 30 Tahun, Siap Beralih ke Film

Adalah Fajar Nugros dan Susanti Dewi dari Demi isteri Production yang mengajukan proposal untuk mengalihkan BSR dari bentuk teks menjadi bentuk audio visual. Alasannya? karena Fajar Nugros itu salah satu sahabat si Roy juga. Dia juga pernah merasa terwakili sekaligus terinspirasi oleh sosok Roy ini.

Pada pertemuannya langsung dengan sahabat-sahabat si Roy dari seluruh penjuru nusantara kemarin,  Fajar Nugros menampung semua harapan dan usulan dari mereka tentang harus bagaimana sih Roy dan filmnya nanti itu.  Bahkan sampai ada usulan mengenai karakteristik pemeran si Roy segala.  Aldi bilang, "Pemeran Roy itu nggak perlu ganteng yang penting keren."  Dih idiiih Aldi... ya harus ganteng lah.  Bayangan saya kan Roy itu bad boy, tapi ganteng dan nggak dekil walau dia petualang.



Di Forum saya mengaku kalau saya tipe pembaca novel yang susah dipuaskan ketika si novel diadaptasi ke film (((dipuaskaaan))).  Tapi itu terjadi belakangan ini aja, dulu semasa remaja saya juga rajin nonton film-fim yang diadaptasi dari novel tapi asyik-asyik aja.  Barangkali karena pemilihan pemainnya yang tepat jadi mendukung imajinasi karakter yang sudah terbangun sejak membaca novelnya.  Belum lagi saya emang demen membandingkan dengan film-film adaptasi versi barat yang kebanyakan sukses.  Jadi ekspektasi saya ya tinggi lah.

Tetapi Bang Hasan Aspahani menengahi.  Menurut beliau yang tahu mengenai proses pembuatan film, sebaiknya percayakan saja pada movie makernya.  Berkaca pada pengalaman film Lupus, ketika dibintangi almarhum Ryan Hidayat, sampai ke sekuel-sekuelnya sukses meraup banyak penonton.  Namun konflik terjadi karena penulisnya merasa nggak puas, sampai akhirnya memproduksi dan membintangi sendiri film Lupus, tapi hasilnya jeblok. 

Yaiyalah Bang, perbandingan Ryan ke Hilman kan secara visual aja udah... ya gitu deh, saya aja yang waktu itu masih kuliah, pas nonton sekuel Lupus yang dibintangi Hilman, gelisah... pengen cepet-cepet pulang.  Nggak enjoy banget... xixixi... *jauhkan tulisan ini dari Hilman*

Ada pemuda pemberani yang datang jauh-jauh dari Lubuk Linggau, mau "melamar" jadi pemeran Roy... moga terkabul ya, Dik.
Ibu Afifah ini datang dari Mojokerto.  Beliau menemani suaminya ke Serang demi menghadiri perayaan 30 Tahun Balada si Roy.  Bukti cinta ya, Bu.
Nah itu, PR Fajar Nugros selain menghidupkan karakter Roy dengan baik dan benar sesuai imajinasi pecinta novel BSR, juga gimana caranya menarik perhatian generasi Z yang notabene belum pernah berkenalan dengan Roy, mengingat film ini diangkat dari novel yang sudah cukup berumur.  Bahkan yang lebih dahsyat lagi, membuat orang-orang yang belum membaca novel BSR, setelah menonton filmnya, mencari dan ingin membaca novel itu.  Kalau berhasil, Fajar Nugros gokiiiil.

Tapi kalau melihat style-nya Fajar Nugros dan film-filmnya yang sukses, saya sih reugreug.  Semoga film BSR... booming dan sukses menuai jutaan penonton. Minta aminnya boleeeh...

Capek!

Hahay... nulis gini dua jam aja capek, tapi semangat masih tinggi. "Roy moment" kalau kata Bang Hasan Aspahani sih.  Ini gimana kalau nulis novel selama 15 tahun.  Yang jelas, setelah mengamati dan menyaksikan bagaimana pembaca novel BSR itu bersetia pada buku dan penulisnya, saya berani mengatakan kalau Balada si Roy ini bukan sekedar novel hiburan apalagi novel remaja yang tak layak dibanggakan seperti yang dibilang oleh... ah sudahlah...

Balada si Roy adalah guidance... 


Love,

0 Comments