PUISI YANG BERCAHAYA

Cerpen ini dimuat dalam buku:


foto : koleksi pribadi


“Ayu, puisi itu harus sudah dikumpulkan tiga hari lagi. Gimana,
kamu siap? Sudah terkumpul berapa?” berondong Bu Sari, guru
pembimbing ekskul sastra dan jurnalistik di sekolahku.
“Emm...su...sudah ada empat, Bu,” jawabku sambil
menunduk. Aku meremas-remas tangan dengan gelisah.
Semoga Bu Sari tidak membaca kegelisahanku.

“Bagus kalau begitu. Ayu, kamu tahu kan betapa pentingnya
lomba itu untuk sekolah kita. Sekolah kita ini unggulan dalam
segala bidang. Akademik, olah raga, seni...semua kita kuasai.
Bidang sastra ini, baru kita ikuti. Kamu harus mempersiapkan
dengan baik, karena kami mengandalkankamu. Bapak Kepala
Sekolah sangat mengharapkan sekolah kita bisa menjuarai
lomba ini,” tegas Bu Sari.
“Iya, Bu....,” sahutku. Aku semakin dalam menunduk.
“Ya, sudah, kamu bisa kembali ke kelas,” cetus Bu Sari.
Aku pun permisi.
Sepanjang langkah ke kelas, kesadaranku entah ke mana.
Dalam lamunan aku teringat lagi kebohongan yang sudah
kuucapkan tadi di depan Bu Sari. Empat, kataku? Empat puisi
sudah kukerjakan? Yang sebenarnya adalah tak satu puisi pun
sempat kutulis. Blank. Aku belum memiliki ide.
Bug! Aw...aku meringis. Bahuku terasa sakit.
“Eh, Ayu...maaf ya, enggak lihat. Aku lagi buru-buru, nih.
Kamu juga sih, ngelamun.” Cengiran lebar khas Toro, ketua
tim basket yang jangkung itu menyadarkanku dari dunia
sendiriku tadi.
Aku tersenyum dan mengangguk. Memberinya isyarat
bahwa aku baik-baik saja.
Toro pun meninggalkanku dengan bergegas. Aku baru
sadar, ternyata aku ada di depan perpustakaan. Kulangkahkan
kaki masuk ke ruang perpustakaan. Gairahku untuk kembali ke
kelas pupus sudah. Aku menelusuri rak yang menyimpan bukubuku
sastra. Jariku merayapi buku-buku yang sebagian adalah
cetakan lama. Aku mencari buku kumpulan puisi. Siapa tahu
dengan membaca buku itu, imajinasi terpancing dan ide-ide
kreatif mulai bermunculan di kepala.

***

Malam sudah sangat tua. Sebentar lagi tengah malam. Kedua
mataku belum juga mau terpejam. Aku melirik buku yang tadi
kupinjam dari perpustakaan. Isinya tak juga membangkitkan
imajinasi dan gairahku untuk segera menulis. Prediksiku
meleset. Aku mati ide. Gawat.
“Perang Sastra Pelajar Jawa Barat” adalah tajuk lomba yang
diselenggarakan oleh Kantor Dinas Kebudayaan daerah. Semua
cabang sastra dilombakan. Mengarang prosa, puisi, drama,
pantun, sampai lukisan kaligrafi pun turut dilombakan. Bu
Sari menunjuk aku, Elfira, dan Tomy untuk mewakili sekolah di
cabang puisi.
Elfira sudah sejak minggu lalu berkoar memamerkan puisi-puisinya,
dan mengundang decak kagum dari teman-teman.
Tomy diam-diam saja, tapi aku tahu dia pun sudah siap dengan
puisi-puisinya. Seminggu yang lalu kami sempat mengobrol.
“Yu, gimana, udah siap?” tanya Tomy tiba-tiba sambil
mensejajari langkahku. Aku sedang menuju ke kantin.
“Apanya?” tanyaku pura-pura. Aku hanya ingin mengulur
waktu saja.
“Ya, puisi-puisimu itu, dong. Apa lagi? Eh, boleh aku baca
enggak? Kita tukeran, yuk,” sergah Tomy tanpa kuduga.
“Aku...eng...puisi-puisiku belum sempurna. Masih perlu diotak-atik
sedikit. Nanti saja, ya, Tom.” Aku berusaha menghindar.
Tomy menghentikan langkahnya, seperti kaget. Aku buru-buru
meninggalkannya tanpa basa-basi lagi.
Peserta lomba tulis dan baca puisi harus menyerahkan lima
buah puisi karyanya sendiri. Bukan saduran apalagi plagiasi.
Jika ada peserta yang terbukti melakukan dua hal tersebut,
panitia akan menggugurkan peserta tersebut dari ajang lomba.
Terbayang kembali wajah Bu Sari yang tegas dan
bersungguh-sungguh. “Ayu, kamu adalah andalan kami,
melebihi Elfira dan Tomy. Ibu tahu kamu mampu, berusahalah
demi nama sekolah kita.”
Tentu saja aku yang diandalkan. Penyumbang tetap piala
dan medali di setiap ajang lomba menulis dan baca puisi. Bukan
saja di tingkat provinsi, kejuaraan tingkat nasional pun sudah
pernah aku raih.
Puisi sudah menjadi aliran darahku. Entah dari siapa bakat
ini kuwarisi. Aku menyukai puisi sejak duduk di kelas sekolah
dasar. Bisa jadi minatku pada puisi karena rasa kagum pada
Bu Tita, guru Bahasa Indonesia, yang bersuara merdu saat
membacakan sajak.
Lalu bagaimana sekarang? Aku tak tahu apa yang sedang
terjadi pada diriku. Biasanya menulis puisi bukan hal yang
susah bagiku, bahkan sahabat-sahabatku mengatakan kalau
aku menulis puisi sudah seperti meludah saja. Aku pun pernah
mendapat apresiasi yang baik dari seorang penyair terkenal di
sebuah grup yang kuikuti di Facebook.
Aku merasa baik-baik saja. Aku sehat dan tidak sedang
menghadapi masalah yang berat. Aneh, setiap kali aku
memusatkan pikiran untuk menulis, benakku seolah-olah
kosong. Tak ada yang berkelebat seperti biasanya.
Sudah kuperiksa ulang folder-folder yang berisi koleksi
naskah puisiku di laptop. Tak ada satu pun puisiku yang cocok
dengan tema yang ditentukan.
Malam ini harus bisa! Segera kuraih kertas dan bolpoin.
Kupejamkan mataku kuat-kuat. Mencoba memusatkan pikiran,
menggali kenangan, mencari bayangan ide... tapi...ah...tak
berhasil. Kuembuskan napas. Kesal.
Tiga hari lagi...tiga hari lagi..., duh...apa yang harus
kulakukan? Aku bangkit dari tempat tidur. Berjalan mondar-mandir.
Gelisah.
Sebenarnya ada jalan cepat yang bisa kulakukan...tapi...aku
menggelengkan kepala kuat-kuat...tidak...jangan...ah...tapi....
Aku melompat kembali ke atas kasur, kuraih laptop dalam
sekali entakan. Mataku nanar menatap layar. Mencari dan
menelusuri apa yang kuperlukan.

***

Aku bergegas menuju ruang guru. Bu Sari sudah menungguku.
Setelah mengucap salam, aku memasuki ruang guru. Di depan
meja Bu Sari sudah ada Elfira dan Tomy. Bu Sari sepertinya
sedang memberikan wejangan.
“Selamat siang, Bu. Maaf saya terlambat. Saya menjilid dulu
naskah saya, Bu,” ucapku pelan sambil memberikan naskah
puisiku yang sudah dijilid rapi.
Elfira mendengus. Dia pasti kesal. Sejak dulu, Elfira memang
selalu menganggapku sebagai saingan berat. Tomy tersenyum
lega. Wajah Elfira semakin kusut. Semua anak di sekolah tahu,
kalau Elfira menganggapku saingan bukan hanya dalam bidang
puisi, tapi juga mendapatkan Tomy. Elfira memang suka sama
Tomy.
“Ah, syukurlah kamu datang tepat waktu, Ayu. Ibu pikir kamu
batal ikut lomba ini,” sambut Bu Sari. Ia tersenyum lega.
“Enggak, Bu. Masa saya akan melakukan itu. Saya juga ingin
ikut mengharumkan nama sekolah ini, kan, Bu.”
“Baiklah, naskah kalian akan Ibu serahkan pada panitia hari
ini juga. Kalian mulai berlatih yang baik, siap-siap jika kalian
lolos seleksi awal. Ibu yakin kalian bertiga pasti lolos.”
Aku, Elfira, dan Tomy meninggalkan ruang guru. Aku
sengaja mempercepat langkah, membiarkan Elfira berjalan
bersama Tomy.
“Yu, tunggu!” seru Tomy.
Aku menghentikan langkah. “Ada apa, Tom?”
Tomy setengah berlari menghampiriku. “Aku lega kamu
akhirnya bisa ikut lomba itu. Aku yakin puisimu keren dan
pasti lolos.”
Aku melirik Elfira. Dia melengos, membuang wajah dengan
raut kesal.

***

Wajah Bu Sari murung. Dadaku berdebar. Hati membisikkan
peringatan. Ada yang tak beres.
“Ayu, Ibu sama sekali tak menyangka kamu bisa melakukan
hal seperti ini. Bacalah surat ini.” Bu Sari tidak marah, tapi aku tahu ia
sangat kecewa.
Tanganku gemetar meraih selembar surat yang disodorkan
guru pembimbingku itu. Tanpa membaca pun aku bisa mengira
apa isinya.
Air mata membuat huruf-huruf yang tercetak di kertas
itu seolah-olah berlarian. Aku meletakkan kertas itu
kembali ke atas meja. Panitia “Perang Sastra Pelajar” telah
mendiskualifikasi diriku.
“Sa...saya minta maaf, Bu.” Suaraku tercekat.
“Ayu, Ibu sama sekali tak mengharapkan ini. Kamu sudah
mengecewakan pihak sekolah.”
Aku tak sanggup berkata-kata. Sesal menyesaki dada. Aku
tersedu-sedu.
“Sudah, sudah, Ayu...jadikan kejadian ini peristiwa yang
berharga untukmu. Jangan kamu ulangi lagi.”
Kabar itu cepat sekali tersebar. Elfira memandangku sinis
dengan senyum mengejek tersungging di bibirnya. Dia sedang
merasa menang. Hatiku ngilu saat orang-orang di sekolahku
berbisik-bisik saat aku lewat.
Namun, ada yang lebih dari itu. Hati terasa dicubit saat Tomy
menanyakan kabar yang sedang santer berembus di sekolah.
“Ayu, benar seperti itu? Benar yang dikatakan mereka?”
tanya Tomy saat berhasil mencegatku di depan aula.
Aku tak sanggup menjawabnya. Yang bisa kulakukan
hanyalah buru-buru meninggalkan Tommy sambil mencegah air
mata turun kembali dari kelopak mataku yang mulai panas.

***

“Virus Plagiasi Mulai Menyerang Tunas-Tunas Penyair”
Aku mematung di depan papan majalah dinding. Artikel
yang digunting dari koran itu menamparku telak. Siapa yang
menempelnya di situ?
“Heh, ternyata cuma segitu, ya? Bakat...bakat apa? Jangan-jangan
selama ini juga....”
Aku menoleh. Mataku menangkap senyum sinis Elfira. Geng
pendukung Elfira cekikikan di samping kiri dan kanan Elfira.
Déja vu. Adegan sinetron berjudul apa, ya, yang menampilkan
adegan seperti ini? Rasanya aku pernah melihatnya.
Selanjutnya, yang kulakukan persis seperti yang dilakukan
pemeran yang sering teraniaya. Berlari meninggalkan si
pemeran antagonis sambil berurai air mata.
Aku menyendiri di area sepi di bagian belakang sekolah.
Duduk di teras deretan kelas praktikum dan laboratorium. Tak
ada kelas yang sedang memakai ruang-ruang itu. Aku aman
menumpahkan perasaan yang menghimpit dada ini.
Malu, sesal, marah, tak berdaya, semua tumpah ruah dalam
tangis. Aku merasa rendah. Aku bahkan tak bisa memaafkan
diriku sendiri.
“Ayu....” tegur seseorang. Aku menoleh mendengar suara
yang kukenal itu.
Buru-buru aku menyusut mata. Tindakan yang aku tahu
tak ada gunanya. Tomy pasti tahu aku sedang menangis habis-habisan.
Entah bagaimana dia bisa menemukanku di sini. Dia
duduk di sebelahku.
“Penulis artikel itu salah satu juri lomba. Sepertinya dia
silent reader di beberapa grup. Mungkin juga dia berteman
dengan beberapa anak penyuka puisi di Facebook. Tak susah
buat dia melacak puisi-puisi yang kamu kirim itu, Yu.”
Penjelasan Tomy menohok hati. Cerobohnya aku. Bodohnya
aku. Kembali deraan perasaan negatif itu menampar dada. Aku
menggeleng.
“Aku menyesal, Tom. Aku malu sekali....,” ucapku dengan
suara serak.
“Entah apa yang kamu alami sebelumnya. Aku bisa
mengerti apa yang kamu lakukan itu, Yu. Kamu sedang
terdesak,” hibur Tomy.
Aku terisak.
“Sudah, Yu. Segera lupakan masalah ini. Aku tahu itu tak
mudah. Kamu harus bangkit kembali. Jangan terpuruk terlalu
lama, jika kamu tak ingin orang-orang menganggap kamu
memang seperti yang mereka pikirkan,” ujar Tomy.
Aku menatap Tomy setengah tak percaya. Masih ada yang
mau duduk bersamaku, dan memberiku semangat untuk
bangkit. Padahal, Tomy adalah kompetitorku dalam lomba itu.
Mantan kompetitor, maksudku. Seharusnya dia senang dengan
kekalahanku, seperti halnya Elfira.
“Aku lebih senang jika bisa maju bersamamu di lomba itu,
Yu.” Tomy seolah-olah bisa membaca pikiranku.
“Maafkan aku, Tom. Aku sudah mengecewakan,” cetusku
pasrah.
“Tidak, Yu. Yang harus memaafkan itu sebenarnya dirimu
sendiri. Lawan rasa rendah dirimu. Hanya dengan cara itu
kamu bisa bangkit kembali.” Lagi-lagi Tomy bisa membaca
diriku sejelas-jelasnya.
“Apakah aku bisa, Tom?” tanyaku ragu.
“Tentu bisa. Aku akan membantumu,” tegas Tomy.
Aku menatap mata Tomy. Ada kesungguhan di sana. Di
tengah mendung yang mulai merayap dan nyaris menggelap,
ternyata masih ada titik cahaya yang dapat kujadikan penerang
untuk kembali melangkah.
Aku merasa beruntung masih ada orang yang
memperhatikanku saat cahaya dalam diriku sedang meredup.
Aku tak boleh padam. Akan kupompa kembali sumber energi
dalam diriku dan kubiarkan cahaya itu kembali terang.
Kusungging senyum di bibir dan mengangguk. Tomy
tersenyum lega. Aku, tunas muda yang akan kembali mekar.

- tamat -



3 Comments

  1. Untung ada sang pahlawan di tengah kebimbangan yang sedang melanda sang gadis.

    BalasHapus