foto : www.iwantcovers.com |
Tanggal 2 Juli yang baru lalu adalah hari “Degdegan se-Kota Serang dan Cilegon”. Apa sebab? Karena pada hari itu hasil test masuk SMA Negeri diumumkan.
Saya berani cantik (bertaruh kan dilarang agama) bukan hanya
anak-anak baru lulus SMP itu aja yang degdegan, tapi ibu-ibunya juga bahkan
(mungkin) bapak-bapaknya juga. Saya
termasuk ke dalam golongan ibu-ibu yang deg-degan. Dobel degdegan malah,
soalnya yang mau masuk SMA dua orang *ya beginilah balada punya anak kembar*
Sebab tahun ini (nggak tahu ding
mulai kapan) lulusan SMP itu hanya boleh memilih satu saja SMA negeri yang
diminati. Huwaah… gimana nasibnya kalau
nggak lolos tes masuk? Ya, wassalam… sekolah-sekolah swasta menanti.
Nah! Pada hari Kamis kemarin itu,
saya dilanda galau luar biasa. Setelah melalui masa kebawelan nyuruh-nyuruh belajar
, terutama sama si Kembar 1, karena mulai dari kelas 8 nilai akademisnya mulai
turun perlahan walau masih termasuk 10 besar di kelas. Padahal, biasanya nilai
akademisnya tidak begitu jauh dengan si Kembar 2. Diiringi masa berdoa tiada
putusnya meminta kelancaran urusan anak-anak, tiba lah hari dimana saya harus bersabar diri
menunggu anak-anak pulang membawa hasil pengumuman.
Saking capeknya menahan diri, saya
sampai ketiduran di sofa. Ketika tidur
itu saya bermimpi kalau anak-anak diterima di sekolah yang mereka inginkan. Saya terbangun tiba-tiba dan teringat pada mimpi yang tadi, dalam hati
segera mengucap doa semoga mimpi itu adalah firasat baik.
Tapi, mengapa hati masih tidak
tenang. Ada perasaan yang nggak nyaman. Insting mulai berkata ada yang nggak
beres. Saya lihat jam dinding, lho sedang waktu zuhur, saya segera mengambil
wudu dan mengerjakan shalat.
Saya masih terpekur di atas
sajadah, ketika si Kembar 1 datang menghambur dengan mata bengkak. Hati langsung terasa diremas. Dia terisak di
pelukan. Patah hati. Dia tidak diterima. Rasanya sebelah hati saya ikut hancur. Tapi
saya harus tetap “waras”.
Tak ingin menyalahkannya sedikit pun, walau
saya tahu sejak UN dan persiapan tes masuk SMA, tablet jarang lepas dari
tangannya. Sebisa mungkin dengan nada “udah-nggak-apa-apa”
saya obati luka hatinya.
Kembar 2 datang. Wajah biasa tapi
berseri. Saya tahu, dia diterima. Tapi saya tahan kegembiraan di depan si Patah
Hati. Selama nyaris 20 menit saya bermonolog.
Membesarkan hatinya, menunjukkan solusi, kemungkinan-kemungkinan di masa depan.
Menekankan padanya “kamu-bukan-gagal”. Ini persiapan menuju hal lain yang
terbaik. Sounds like motivator sedang
seminar. Saya merasa takjub sendiri, kok bisa bertransformasi dari ibu-ibu
tukang ngomel, menjadi ibu-ibu bijak bestari *panjangin jilbab*.
Walhasil, si Kembar 1 lebih tenang.
Walau dengan mata bengkak, dia bilang kalau dia keterima di SMA negeri di Kabupaten
(masih nunggu hasil saringan pakai nilai rapot) dia mau masuk situ aja. Saya mengangguk. Dia pun pergi ke kamarnya untuk beristirahat.
Tiba-tiba telpon rumah berdering.
Seorang teman yang bersimpati dengan nasib si Kembar 1, memberitahu kalau ada
SMA negeri lain yang menyediakan kemungkinan “lewat jalan belakang.” Cuma bayar uang pager, beres lah pokoknya. WHAT?!
tahulah yang dimaksud kan?
Eh... wait... biasanya kan istilahnya uang bangku. Beli bangku gitu. Nah, ini kalau uang pager? terus entar anak saya sekolah duduknya di pager gitu? *pura-pura bodoh* hahaha...
Eh... wait... biasanya kan istilahnya uang bangku. Beli bangku gitu. Nah, ini kalau uang pager? terus entar anak saya sekolah duduknya di pager gitu? *pura-pura bodoh* hahaha...
Awalnya saya ceritakan tawaran
tadi pada si Kembar 1. Mau? Dia langsung mengangguk, tanpa berpikir panjang.
Mungkin karena panik merasa belum dapet sekolah.
Tapi saya menggeleng. Bukan
sedang memberikan harapan palsu. Jumlah yang diminta tidak terlalu besar, tapi setiap
manusia yang ingin hidupnya berharga pasti punya prinsip. Begitu juga saya.
Demi anak? No. Saya bilang sama si Kembar 1, “mau selama sekolah di situ, kamu
terkenal dengan sebutan ‘si jalan belakang’?” Dia melamun. Kemudian menggeleng.
Dia bilang, “tadi juga
temen-temen nyuruh nyogok aja nyogok aja, gitu…” Parah.
Bocah ingusan gitu udah tahu soal suap- menyuap. Udah tahu kalau itu
jalan termudah mendapatkan keinginan . BIG NO.
Bersekolah juga harus punya harga
diri. Setelah panjang lebar menjelaskan, syukurlah si Kembar 1 mengerti. Dia berbesar
hati jika nanti diterima di SMA negeri kabupaten itu, bakal menjalani tahun
pertamanya di situ.
“Kalau nggak betah, boleh pindah
kan, Ma?”, syaratnya. Saya sih mengangguk saja, sambil senyum. Dia anak yang
mudah bergaul. Begitu punya sahabat, dia pasti betah di situ. Belum lagi kalau lihat kembarannya nanti "babak-belur" dihajar standar kurikulum ala ala sekolah favorit, dia bakal senyum-senyum kece, dan diam-diam bersyukur nggak keterima di situ.
Jangan putus asa, Nak. Tidak diterima di sekolah favorit bukan akhir dari segalanya. Persiapkan diri menuju sesuatu yang lebih besar dan terbaik. Mama yakin, ini hanya kerusakan kecil bagimu. Dan kamu bakal segera memperbaikinya dengan mudah.
foto : www.phinueisal.wordpress.com |
*sekarang saya sedang mikir-mikir untuk mengirimnya ke sekolah swasta di Bandung. Supaya saya bisa lebih sering ke Bandung, dengan alasan: nengok si Kembar…* moduuuus… hahaha…
2 Comments
Enaknya punya anak yang mudah mengerti dan paham dengan cepat apa yang orangtuanya jelaskan.
BalasHapusSejak kecil banyak diajak ngobrol mas... hehe
Hapus