foto: www.123RF.com |
Jadi pemimpin itu bukan cuma mainan bapak-bapak aja kan?
Ibu-ibu yang jadi pemimpin udah gak keitung lagi jumlahnya. Thanks to Ibu Kartini? (kok tanda tanya…
hehe). Tapi, ada juga ibu-ibu yang otomatis jadi pemimpin karena suaminya adalah
pemimpin. No… saya nggak akan ngomongin Ibu Iriana… saya sudah move on *halah*
Ini kisah nyata yang terjadi di suatu negeri bernama RT Sekian.
Singkat cerita Negeri RT Sekian akan mengadakan acara munggahan.
Munggahan ini memang salah satu tradisi di negeri ini sebagai salah satu ajang
silaturahmi seluruh warga, selain hajatan, agustusan, dan halal bi halal.
Oke… lalu, pada suatu hari Minggu, ibu pemimpin karena
suaminya (disingkat IPKS) mengumpulkan ibu-ibu warga RT Sekian untuk
merundingkan acara ini. Apa lagi kalau bukan membicarakan menu jamuan. Ketika
sampai pada pertanyaan: masak-masaknya
di rumah siapa? Ibu-ibu langsung menjadi pendiam tapi sibuk. Sibuk nyendok
seblak dan rujak yang pada saat itu menjadi konsumsi.
Tiba-tiba… seorang ibu yang baik hati mengacungkan tangan. “Di rumah saya aja, deh.” Saya yakin ibu-ibu
yang sibuk mengunyah itu diam-diam menarik napas lega. Dan yang menawarkan diri
ternyata ibu non-muslim (disingkat INM).
Salah? Nggak dong… barangkali hal ini adalah bentuk toleransi beragama
dalam persepsinya. Bagus. IPKS menyambut gembira dan penuh semangat menunjuk (bahasa halus dari mendesak) INM sebagai koordinator.
Tetapi kemudian, pada hari H… IPKS tidak unjuk tenaga.
Belanja subuh ditugaskan kepada ibu O, ibu H, dan INM sendiri. Urusan
potong-memotong, racik-meracik, goreng-menggoreng… dilakukan oleh hampir
sebagian ibu-ibu RT Sekian dikomandoi oleh INM. Kemana IPKS? Nggak hadir.
Apa pasal? Ternyata, pada hari H itu jadwal IPKS bentrok
dengan jadwal acara organisasi muslimah berskala provinsi (yang kalau beliau nggak hadir siapa yang aware, anggotanya kan ratusan). Ooh… sounds like not fair ah.
Sementara kalau ada jadwal acara di tempat lain kenapa memaksakan acara
munggahan di daerah kekuasaannya harus di hari yang sama. Kok kayaknya jual ikan
(selfish) ya, nggak mau ngorbanin acara di onoh, tapi nggak toleran juga sama
acara di marih.
Pada saat jelang acara tiba, IPKS yang sudah rapi, cantik, wangi (dan tentu saja syar'i) memperhatikan gak ya kalau ibu-ibu RT Sekian
yang bekerja ini masih berpenampilan seperti karyawan katering yang dikejar-kejar
deadline hajatan? Jangan tanya gimana penampilan INM deh. Bayangkan, dari jam
setengah enam pagi sampai lewat waktu Isya beliau masih pakai baju yang sama,
wajah berminyak, rambut awut-awutan… pengorbanan ya, Mbak.
Nggak adil ah “ngabelengkeseken”
orang lain seperti itu. Adakah dalam hatinya beliau merasa jengah dengan
suasana sepert itu? Kalau bukan karena acara munggahan ini juga bertujuan tasyakuran selesainya renovasi mushola (yang ternyata request dari sang
pemimpin asli dan gak bisa ditawar waktunya), saya bilang sih, ngapain
munggahan dengan capek-capek bikin jamuan yang kabarnya 150 porsi itu. What?! Pantesan ibu-ibu juru masak dan INM tingkat kelecekannya bersaing ketat sama lap dapur. Peace ya, Mom… hihi…
Sudah menjadi rahasia umum di masyarakat kita pemimpin itu (nggak
semua sih) kadang mau enaknya aja. Ciri-cirinya kalau ada anggota/anak buahnya yang
usul apalah apalah… respons klisenya: ya udah kamu aja yang ngerjain. Kesel nggak, sih?
Kalau saya digituin, saya suka jawab: “Ngapain ada ketua-nya
kalau kayak gitu. Anggota tiba-tiba disuruh jadi ketua. Dari kemaren-kemaren
aja keles, gue nyalonin diri jadi ketua.”
Padahal, ada yang punya ide nih buat ngisi Ramadhan ini, yaitu ngadain garage sale. Jual
barang-barang bekas di rumah-rumah dengan harga murah banget. Target pasarnya
warga di luar komplek. Lumayan juga efeknya,
rumah bersih dari barang yang udah nggak berguna lagi buat kita (mungkin masih
buat orang lain), pendapatannya bisa masuk kas RT Sekian atau kas sosial ibu-ibunya. Good idea.
Tapi dipikir-pikir lagi… males banget nggak sih kalau jawabannya, “ya
udah Bu Usul aja yang ngurus.” Bukannya yang usul nggak mau kerja, tapi aturan mainnya jangan mainstream gitu dong. Ada lah
aturan main yang lebih asyik. Ketua tetep aja ketua, kerja juga… ya pikiran ya
tenaga, sebadan-badan... jangan telunjuknya doang. Kita anggota ngebantu susuai pembagian tugasnya masing-masing , gitu
nggak sih idealnya?
picture: www.123RF.com |
9 Comments
Mengurusi kelompok atau organisasi, besar atau kecil, memang membutuhkan kesabaran. Namun harusnya ada kesadaran bagi anggota maupun pengurusnya.
BalasHapusAlangkah baiknya, jika pekerjaan itu tak berhubungan dengan jabatan di kepengurusan, semisal pekerjaan bakti sosial, bisa dikerjakan bersama ya mba
yg gak sreg kalau ketuanya main "ya udah kamu aja deh." terus ditinggal aja... hehehe
HapusDi kampungku mah ada yang gituan. Banyak ...
BalasHapusudah jadi habit gitu? wallahu alam...:D
HapusKayaknya dimana-mana hampir sama saja ya mbakk :) plz follow twitterku juga ya mbak @cputriarty :)
BalasHapusiya, jangan-jangan jadi habit... bahaya ya
Hapusudah... bentar belum ke twitter
Semuanya punya peran masing-masing
BalasHapusidealnya gitu, belum tentu yg usul itu bisa mimpin... ngajuin ide kan boleh2 aja, tapi gak mesti jadi eksekutornya kan. Eksekusi ya barengan, tapi monitor tetep ketua aja.
Hapusidealnya gitu, belum tentu yg usul itu bisa mimpin... ngajuin ide kan boleh2 aja, tapi gak mesti jadi eksekutornya kan. Eksekusi ya barengan, tapi monitor tetep ketua aja.
Hapus