Demi Tugas Sekolah, Nyawa Melayang

Inna lillahi wa inna illaihi rojiun ...

Pagi tadi, dada terasa sesak saat mendengar kabar salah seorang teman anak meninggal dunia. Usia 14 tahun, raga yang ranum ... jiwa belia ... telah pergi.

Setiap pagi saya menelepon anak-anak, ngecek kegiatan mereka, karena kebetulan saat ini saya tinggal long distance dengan mereka. Setelah mengobrol ini itu, tiba-tiba Ama (nama anak yang mengobrol dengan saya di telepon) nyeletuk. "Ma, temen Ama ada yang meninggal."

"Siapa?" sembari merasa shock. Saya selalu shock setiap kali mendengar usia-usia belia sebaya anak-anak harus mendapat musibah hingga tercabut nyawanya.

"Eza. Ketua Pramuka."
"Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Kenapa?"
"Kecelakaan."
Deg lagi ... pasti motor ... *duh, Allah ... Engkau memang Mahapemilik, Mahakuasa, dan Mahaberkehendak"
"Kok, bisa?"

Dan meluncurlah kronologis yang membuat hati rasa teriris, saya jadi ikut merasakan luka hati orangtua anak laki-laki itu.





(menurut cerita Ama):
Eza habis menyelesaikan tugas dari Pak B (guru Bahasa Indonesia), karena waktu hari Kamis lalu dia nggak ikut ulangan harian. Hari itu Eza ikut lomba kepramukaan bareng anak saya juga. Nah, untuk mengganti nilai ulangan harian itu, Eza harus membuat tugas (entah apa bentuknya) sebanyak 400 lembar (Hah???) dan dia termasuk murid-murid yang nggak punya komputer/laptop dan printer di rumah, sehingga terpaksa mengerjakan tugas dan mengeprint di warnet.

Menjelang maghrib, Eza mau pulang diantar oleh temannya, Novia. Mereka berboncengan naik motor. Novia yang memegang stir motor. Di daerah Toyo(merto) tiba-tiba Novia diklakson dari arah belakang oleh mobil besar (entah truk atau bus saya lupa), Novia kaget dan spontan ngegas, tapi trus tiba-tiba ngerem mendadak. Nggak tahu karena ngerem ngedadak trus ditabrak oleh mobil besar itu dari belakang (saya rasa sih begitu) karena kemudian Eza terpental dan kepalanya membentur badan mobil besar. Eza mengalami luka di bagian belakang kepala, dan langsung meninggal di tempat.

Ya Allah ... hancur rasanya hati. Saya tidak akan menyorot masalah ini dari sisi: anak dibawah umur mengendari motor tanpa pengaman. Itu memang poin yang besar, tetapi ada poin yang lain yang juga penting untuk dijadikan perhatian.

Saya kesal habis-habisan sama guru Bahasa Indonesia bernama Pak B itu, yang menurut pengalaman saya memperhatikan anak-anak selama diajar oleh guru tersebut, mereka sering dibuat pontang-panting mengerjakan tugas Bahasa Indonesia berlembar-lembar dalam bentuk apa saja, bahkan terpaksa ngeprint malam-malam ke luar rumah *karena printer di rumah rusak* sebab besoknya tugas harus sudah dikumpulkan dan tak boleh ditawar lagi waktu pengumpulannya. Kalau telat, otomatis tidak dapat nilai.

Sudah sejak lama, saya perhatikan Pak B ini sejenis guru yang alih-alih memberi tugas yang bermanfaat untuk murid-muridnya, malah nggak jelas dan menyusahkan (menurut saya). Kadang, menurut pengakuan Ama, dia sering disuruh memeriksa tugas teman-temannya, kemudian di lain waktu memasukkan nilai teman-temannya ke buku nilai. Hal tersebut menyebabkan anak saya sering pulang terlambat. Saya sering dibuat naik pitam kalau dia pulang terlambat dengan alasan itu lagi itu lagi. Menurut anak saya, kalau dia tidak mau, diancam nilainya akan dibuat jelek. Lhooo?!

Ketika marak berita pelecehan seksual anak-anak sekolah. Saya mewanti-wanti anak-anak perempuan saya, supaya tidak berada di area sekolah setelah jam bubar sekolah sendirian. Jika terpaksa disuruh guru harus ada yang menemani. Awas aja kalau si Pak B ini atau siapa pun di sekolah berani mencolek-colek anak-anak saya, saya akan datangi dan saya lempari kotoran sapi dan saya tonjok "sesuatu"-nya. Naudzubillah ...

Nah, jika harus meregang nyawa hanya demi memenuhi tugas sekolah. Piye urusannya?
Saya penasaran, bagaimana rasa hati Pak B saat ini. Apakah ada secuil feeling guilty di hatinya, atau lempeng saja karena dia merasa tak ada hubungannya antara tugas lebay yang dia bebankan ke muridnya dengan musibah yang akhirnya merenggut nyawa si murid.

Kepada guru Bahasa Indonesia atau penentu kebijakan kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia yang kebetulan membaca tulisan ini, saya menghimbau daripada memberikan tugas membuat kliping tentang drama, puisi, atau apalah yang membosankan itu (dan saya jamin si Guru pun belum tentu mengerti). Belum lagi jika si Murid tidak memiliki fasilitas sendiri di rumah. Berapa biaya yang harus dibayar untuk sewa warnet selama sekian jam, berapa puluh ribu yang harus dikeluarkan untuk membayar sekian halaman kertas yang diprint.

Lebih baik jika guru-guru Bahasa Indonesia memberikan murid-muridnya tugas membaca sebuah buku, baik yang ditentukan judulnya atau pilihan si murid sendiri. kemudian minta murid-murid mengulas isi buku dari sudut pandang mereka dengan gaya bahasa mereka. Baik dengan cara bercerita di depan kelas atau menuliskannya. Satu semester dua buku, itu sudah keren sekali. Jadi selama setahun anak-anak belajar Bahasa Indonesia, mereka sudah membaca empat buku.

Saya rasa itu lebih menarik. Bisa jadi sebagian besar murid bosan dan tidak menyukai tugas tersebut, tetapi tugas itu aman dan tidak menyusahkan. Buku bisa didapat di perpustakaan. Mereka berdiam di rumah membaca. Laporan/ulasan tidak perlu diketik, tapi ditulis tangan. Baik untuk mendorong kerja otak kanan mereka. Bandingkan jika mereka hanya mengcopy-paste bahan kliping dari internet.
Bisa jadi juga sekian persen murid-murid malah ketagihan membaca buku. Ini result yang baik bukan?

Bagaimana menurut Anda?





0 Comments